AMBON, Siwalimanews – Pengamat ekonomi dan perbankan, Julius Latu­mae­rissa mengingatkan manajemen Bank Maluku-Malut, untuk tidak gegabah bermain data dan menye­butkan pencapaian laba sebesar Rp 59,08 miliar atau 117,07 persen dari target yang ditetapkan untuk triwulan I tahun 2025.

Karena menurutnya, un­tuk mengukur kinerja suatu lembaga perbankan, terda­pat beberapa indikator yang mesti diperhatikan agar tidak terjebak dalam pernyataan yang bisa menyesatkan perbankan termasuk Bank Maluku-Malut.

Menurut Julius, siklus dan dinamika sebuah bank itu biasanya ada naik dan turun, jadi harus berhati-hati kalau mengklaim sehat. “Mungkin bulan ini naik, tapi bulan depan bisa saja mengalami kondisi menurun, sehingga harus hat-hati dalam mengatakan sebuah bank itu sehat,” ujar Julius.

Penilaian kinerja perbankan, kata Julius, seharusnya mengacu pada indikator yang lebih komprehensif seperti return on asset (ROA), return on investment (ROI), net interest margin (NIM), biaya operasional dan pendapatan operasional (BOPO), non performing loan (NPL), serta capaian laba itu sendiri.

Dijelaskan, ketika berbicara mengenai kinerja keuangan, maka yang harus menjadi perhatian adalah NIM, karena ini mengukur seberapa efisien bank menghasil­kan keuntungan dari aktivitas pemberian pinjaman, dibanding­kan dengan biaya funding dan dengan total aset yang meng­hasilkan bunga.

Baca Juga: Terombang Ambing di Laut, 3 Nelayan Ini Diselamatkan

“Sebagai contoh Bank Maluku-Malut ingin memberikan kredit 10 miliar dengan bunga 10 persen berarti keuntungan yang diharap­kan dari pemberian kredit itu 1 miliar, sementara disisi lain ketika ada deposito yang ditaruh di Bank Maluku-Malut itu bunga 5 persen, artinya bunga yang harus bank bayar kepada deposan berarti kalau bunga diterima 10 persen sedangkan yang harus dibayar ke deposan itu 5 persen maka ada selisi 5 persen. Itu kinerja keuangan itu tidak bisa diganggu gugat,” rincinya.

Selain NIM, untuk mengukur kinerja bank harus dilihat ROI artinya ada atau tidak investasi yang dilakukan oleh Bank Maluku-Malut sebab dengan ROI akan diketahui berapa hasil yang akan diterima dari sebuah investasi yang dilakukan oleh Bank Maluku-Malut.

Salah satu indikator untuk mengukur kinerja bank menurut Julius yang harus dilihat juga berkaitan dengan ROA, artinya berapa hasil yang bank terima dari total aset produktif atau aset likuid yang dimiliki bukan tanah atau gedung. “Dari tiga hal ini misalnya ROA, ROI dan NIM, itu saja publik tidak pernah tahu selama ini,” ucap Julius.

Selanjutnya, dari sisi kinerja efisensi yang harus diperhatikan adalah BOPO artinya, biaya operasional harus lebih kecil dari pendapatan operasional, jangan sampai pendapatan lebih kecil dari biaya operasional.

Ketika kita berbicara berkaitan dengan BOPO, maka ini menjadi pertanyaan serius, sebab kita bisa menduga saja bahwa dengan informasi adanya biaya perjalanan direksi yang mencapai 1 miliar maka pertanyaanya ini biaya perjalan kemana. Lalu kalau direktur masuk 72 hari dalam satu tahun maka ini menjadi masalah. Sekarang kalau katakanlah ada direksi yang seperti itu lalu apakah komisaris menjalankan tugas atau tidak. Komisaris itu mestinya mempertanyakan dalam fungsi pengawasan, artinya fungsi penga­wasan tidak jalan baik dari komisaris pengendali selaku pengawas maupun komisaris yang lain,” kesal Julius.

Dengan adanya fakta biaya operasioal yang begitu besar tersebut, imbuhnya, tentu ini akan berdampak pada bank secara internal dimana akan menimbulkan kecemburuan dari karyawan yang bekerja keras setiap harinya terhadap direksi dan komisaris maka jangan juga salahkan publik jika memberikan asumsi bahwa komisaris dan direksi sama saja melakukan kongkalikong.

“Biaya operasional yang besar itu tentu akan berdampak pada kepercayaan artinya masyarakat kurang percaya pastikan bahwa dana pihak ketiga itu akan semakin hari semakin berkurang dari bank Maluku-Malut. Dari internal karyawan-karyawan kalau sudah kehilangan kepercayaan maka dia akan bekerja asal-asalan. Sebagai direksi dan komisaris, apakah mereka berpikir atau tidak sebab ini sangat berdampak,” bebernya.

Selain kinerja efisensi, untuk mengukur kinerja perbankan maka yang harus dilihat juga berkaitan dengan kinerja resiko, sebab ketika bicara tentang risiko manajemen dalam perbankan yang harus diperhatikan adalah risiko kredit atau NPL.

Julius mengaku memang ber­dasarkan ketentuan batas maksi­mum NPL lembaga perbankan itu 5 persen tetapi yang lebih ideal NPL itu harus berada pada kisaran 1 sampai dengan 2 persen dan jika sudah lebih dari 2 persen, maka sesungguhnya hal itu menjadi ancaman bagi lembaga perbankan berkaitan dengan risiko pengelo­laan kreditnya yang tidak aman.

“Saya percaya NPL Bank Maluku-Malut itu tidak mungkin satu atau dua, pasti lebih bisa tiga dengan kondisi bank Maluku hari ini dan itu sebenarnya berbahaya bagi risiko pengelolan kredit di Bank Maluku-Malut,” tegasnya.

Julius juga menyinggung soal resiko kepercayaan dimana Bank Maluku-Malut harus dapat memba­ngun kepercayaan investor dan masyarakat agar dapat menaruh dana yang banyak di bank, sebab sampai dengan saat ini pendapataan Bank Maluku-Malut masih didominasi oleh dana transfer pemerintah pusat yang masuk ke kas daerah dan berputar disitu dan jika dana transfer tersebut tidak ada tentu akan berdampak pada seberapa besar kemampuan likuiditas dari Bank Maluku-Malut.

Padahal yang namanya industri bank tidak boleh mengharapkan pendapatan hanya dari dana transfer pemerintah pusat yang masuk ke kas daerah namun harus ada upaya lain untuk menambah dana seperti dari pihak ketiga atau investasi lain yang semuanya dapat tercapai jika masyarakat dan investor percaya sebab jika tidak, maka orang akan ragu untuk menaruh uang di Bank Maluku-Malut.

“Yang mesti diingat juga terkait dengan adanya resiko hukum dari adanya proses kelompok usaha bank (KUB). Jadi jangan mengang­gap bahwa laba tumbuh positif lalu itu sudah aman atau sehat, belum tentu. Bank harus terbuka kepada publik terkait dengan kondisi yang riil seperti apa supaya publik bisa mengetahui bagaimana kinerja bank ini,” jelasnya.

Di samping persoalan tersebut, manajemen Bank Maluku-Malut juga harus berinovasi dengan meman­faatkan sistem digitalisasi yang ada saat ini ke dalam setiap produk seperti mobile banking, sebab kalau itu dikembangkan maka Bank Maluku-Malut tak dapat bersaing dengan bank-bank konvensional lain yang ada di Maluku.

“Manajemen Bank Maluku-Malut juga harus berinovasi untuk men­jangkau masyarakat diwilayah terpencil dengan produk perban­kan yang murah dan mudah seperti produk BRI link yang saat ini me­ram­bah ke seluruh pelosok terpencil.

Julius pun menyarankan agar dilakukan audit terhadap Bank Maluku-Malut, sebab jika tidak maka tidak ada sesuatu yang dapat diharapkan dari tata kelola bank seperti saat ini bahkan tata kelola harus didukung oleh jajaran direksi dan komisaris yang profesional dan tidak boleh dengan pende­katan politik.

Bank milik daerah ini, lanjut Julius, juga tidak bisa dikelola dengan pola pendekatan politik atau koncoisme, tetapi harus melibatkan tenaga profesional.

Mari kita lihat bank ini sebagai aset besar yang harus dikelola secara profesional. Bank itu berbeda dengan industri lainnya, sebab ini industri jasa jadi kepercayaan itu menjadi utama,” tandasnya.

Tak Jadi Patokan

Akademisi Ekonomi Unpatti, Hartina Husein menilai, pening­katan laba tidak dapat dijadikan sebagai salah satu indikator dalam menentukan kondisi Bank Maluku-Malut sehat.

Pasalnya, untuk menilai kondisi Bank Maluku-Malut sehat, tentu harus dilakukan analisa berkaitan dengan berbagai indikator kinerja bank.

“Tentu untuk menilai kondisi bank sehat atau tidak harus dilihat secara utuh laporan keuangan,” ujar Hartina kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Selasa (13/5).

Menurutnya, dalam teori perbankan untuk mengukur suatu bank sehat atau tidak maka harus dilihat berbagai indikator seperti capital adequacy ratio (CAR) dan NPL.

Selain itu, keberhasilan kinerja bank juga harus diukur dari seberapa besar dana pihak ketiga yang masuk ke Bank Maluku-Malut termasuk rasio kredit macetnya.

“Banyak indikator yang harus diperhatikan dalam menentukan apakah Bank Maluku -Malut sehat atau tidak, bukan saja laba yang tumbuh positif,” tegas Hartina.

Hartina menegaskan, manaje­men Bank Maluku-Malut pasti akan menampilkan yang baik-baik tentang kondisi bank walaupun sebenarnya kondisi bank lagi tidak baik-baik saja.

“Dari Bank Maluku pasti me­nampilkan yang bagus-bagus, maka perlu ada pihak lain untuk menilai, sehingga diketahui kon­disi bank memang baik atau tidak,” tandasnya. (S-20)