AMBON, Siwalimanews – Banyak anggaran tak ter­serap, padahal nakes ke­luh­kan honor tak kun­jung dibayar, belum lagi cart­­ridge PCR yang kosong.

Banyak tenaga kesehatan yang sesehari berkutat menang­ani pasien Covid-19, belum juga me­nerima honornya. Padahal, pekerjaan mereka rentan deng­an resiko, baik penyakit itu sen­diri, maupun makian dan hujatan keluarga pasien.

Awalnya publik menduga ka­lau lembatnya pembayaran in­sentif nakes itu berhubungan de­ngan ketersediaan anggaran di keuangan Pemprov Maluku. Belakangan baru diketahui kalau itu akibat lemahnya koordinasi pejabat pemprov dengan gugus tugas penanganan Covid-19.

Bukti lemahnya koordinasi antar pimpinan itu langsung disampaikan oleh Mendagri Tito Karnavian kepada pers di Jakarta, Sabtu (16/7).

Karenanya mantan Kapolri itu memerintahkan jajarannya untuk melayangkan surat teguran kepada Gubernur Maluku Murad Ismail, yang di­nilai lambat me­nyerap ang­gar­an pendapatan dan belanja dae­­rah untuk pe­nanganan Co­vid-19.

Baca Juga: Pemkot Bakal Longgarkan Waktu Operasional

Murad adalah satu dari 19 ke­pala daerah yang diberi tegur­an tertulis oleh Mendagri Tito.

Hal itu kata Tito dikarenakan hing­ga saat ini untuk Provinsi Maluku Anggaran 2020 yang belum tereali­sasi sebesar 74,9%.

Tito men­je­las­kan, te­gur­an itu dibe­ri­kan se­telah peme­rintah melakukan evaluasi belanja daerah yang dinilai belum maksimal.

“Kami sudah menyisir dan rapat berkali-kali dengan kepala daerah, masih ada belanja untuk penanga­nan Covid-19 dan insentif tenaga ke­sehatan yang belum banyak ber­ubah. Sabtu ini kami menyampaikan surat teguran tertulis kepada 19 pro­vinsi dengan data yang dimiliki, rea­liasinya belum maksimal,” ujar Tito.

Sembilan belas daerah yang me­nerima surat teguran adalah Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, Jawa Barat, Yog­ya­karta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Kemudian, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Sela­tan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Uta­ra, Gorontalo, Maluku, Maluku Uta­ra, dan Papua.

Menurut Tito, banyak kepala dae­rah yang ragu-ragu dalam mereali­sasikan anggaran penanganan Co­vid-19, termasuk bantuan sosial alias bansos. Padahal, kata dia, peme­rintah menegaskan daerah tidak perlu menunggu arahan dari pusat untuk menyalurkan bantuan.

Tito berujar, selama ada masya­rakat yang membutuhkan bantuan, pe­merintah daerah dapat segera me­realisasikan alokasi anggaran. Dae­rah pun telah diberikan wewenang diskresi untuk melakukan pencairan bansos sesuai dengan kondisi keda­ruratan masing-masing wilayah.

“Prinsipnya adalah tidak melaku­kan mark up dan kemudian (ban­tuan sosial) memang tepat sasaran pada masyarakat yang benar. Sepan­jang dilakukan dengan benar, Pak Luhut juga sudah sampaikan, kita akan tanggung jawab untuk kepen­tingan masyarakat terdampak,” ujar Tito.

Untuk mempercepat realisasi ang­garan di level daerah, Tito menga­takan pihaknya bersama Kemente­rian Keuangan akan menerbitkan aturan yang berisi wewenang peme­rintah provinsi maupun kabupaten atau kota melakukan realokasi ang­garan. Realokasi bisa dilakukan un­tuk kepentingan penanganan Co­vid-19, seperti jaring pengamanan sosial dan stimulus ekonomi

Gubernur Lemah

Akademisi FISIP Unpatti, Said Lestaluhu mengatakan, penyebab Maluku mendapat teguran keras dari Kemendagri soal penyerapan anggaran yang tidak maksimal, dika­renakan kepemimpinan Gubernur Maluku, Murad Ismail lemah.

Murad dinilai takut mengambil kebijakan, padahal pemerintah pusat memberikan ruang untuk pengguna anggaran menangani Covid-19.

Lestaluhu berpendapat, Murad mestinya lebih sering memberikan arahan atau instruksi kepada Dinas Kesehatan sebagai leading sektor dalam penanganan Covid-19, agar tidak lamban untuk mengambil ke­bijakan terkait penyerapan anggaran penanganan Covid-19.

“Apalagi, saat ini dari segi pena­nganan Covid-19, masyarakat Malu­ku membutuhkan langkah dan gerak cepat pemerintah daerah guna meli­hat semua kebutuhan yang selama ini menjadi kendala. Harus ada gerak cepat sebab dalam situasi seperti ini membutuhkan pelayanan yang optimal khususnya terkait persolan pe­nanganan Covid-19,” tegas Lesta­luhu.

Lestaluhu juga mengingatkan DPRD Provinsi Maluku untuk tidak lemah dalam menjalankan fungsi pemerintahan untuk memberikan dorongan kepada birokrasi pemerin­tahan daerah agar secepatnya meng­ambil kebijakan yang berdampak bagi masyarakat.

Menurutnya, evaluasi merupakan langkah tepat yang dilakukan Mu­rad. Sebab faktanya, begitu banyak dana yang tidak terserap, berban­ding terbalik dengan kondisi di lapa­ngan. Sebagai contoh, nakes belum menerima hak-haknya termasuk minimnya peralatan PCR/Swab.

“Saya kira pak gubernur harus mengevaluasi semua persoalan yang berkaitan dengan teguran pak Mendagri dari segi penyerapan ang­garan penanganan Covid-19 ini,” ujar Lestaluhu.

Jika pemerintah pusat menegur pemerintah daerah, maka sesung­guhnya gubernur harus melakukan evaluasi guna memenuhi semua kebutuhan masyarakat khususnya penanganan Covid-19.

Penanganan Gagal

Aktivis Molluca Democratization Watch, Collin Leppuy menilai tegu­ran yang dilakukan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terhadap Maluku terkait realisasi anggaran penanganan Covid-19 sebagai ben­tuk kegagalan gubernur dalam me­lakukan konsolidasi penanganan Covid-19 di Maluku.

Dijelaskan, Maluku menempati posisi pertama penyerapan angga­ran penanganan Covid-19 yang paling rendah dari total anggaran yang dibutuhkan sekitar 167.81 miliar di­mana realisasinya hanya 8.21 persen dibandingkan dengan daerah lain.

Artinya ada masalah dalam penge­lolaan anggaran Covid-19 di lapa­ngan yang dapat dilihat dari fakta seperti pengadaan alat PCR yang minim, orang yang hendak lakukan swab begitu lama masih harus me­nunggu hingga dua minggu lamanya termasuk insentif tenaga kesehatan tahun 2021 yang tak kunjung dicair­kan, padahal anggaran yang tersedia itu cukup besar.

Menurut Leppuy, sejauh ini dari akhir tahun 2019 hingga saat ini artinya gubernur gagal dalam merea­lisasikan anggaran Covid-19.

“Gubernur gagal mengkondisikan penanganan Covid-19 di seluruh Maluku, apalagi persolan Covid-19 bukan saja berkaitan dengan Kota Ambon tetapi harus sebelas kabu­paten dan kota lain, sebab gubernur harusnya dapat mengkonsolidasi­kan seluruh proses penanganan Covid-19 termasuk realisasi angga­ran,” ungkap Leppuy.

Diakuinya, selaku masyarakat pihaknya sangat malu ketika Maluku mendapatkan rapor tidak baik dari Mendagri, apalagi Mendagri menya­takan bahwa jangan sampai kepala daerah di setiap daerah yang lemah dalam penyerapan anggaran pena­nganan Covid-19 tidak tahu realisasi anggaran Covid-19.

“Ini berbahaya jika gubernur kita tidak tahu realisasi anggaran Covid-19, padahal gubernur harus meng­ikuti secara detail penyerapan dan realisasi anggaran Covid-19, sebab jika Maluku menempati urutan per­tama terendah penyerapan anggaran maka itu sangat buruk,” tegasnya.

Leppuy menegaskan, jika Men­da­gri telah memberikan sinyal buruk maka gubernur harus bergerak lebih ce­­pat memanggil kepala dinas kese­hatan, sehingga dapat dilihat sejauh ma­na agar pemprov dapat memper­baiki.

Sebab jika dibiarkan begitu saja maka seberapapun besar anggaran yang dicarikan oleh pemerintah pusat pasti akan menuai persoalan yang sama dan akhirnya terjadi benturan dengan masyarakat yang merasa pelayanan tidak maksimal.

Selain itu, dengan adanya kinerja penanganan Covid-19 seperti ini maka gubernur harus betul-betul di­evaluasi oleh publik terutama DPRD yang telah gagal dalam mengkon­disikan penanganan Covid-19 di seluruh Maluku.

Keluhan Nakes

Pernyataan Mendagri soal penye­rapan anggaran yang berjalan lam­ban, salah satunya bisa dibuktikan de­ngan keluhan tenaga kesehatan yang selalu mengeluhkan belum me­nerima hak-haknya sebagai nakes.

Insentif tenaga kesehatan yang selama ini bertugas di rumah sakit umum daerah dr M. Haulussy sejak Januari 2021 tak kunjung dicairkan.

Pihak RSUD beralasan tim peng­umpul masih melakukan pengum­pulan data kemudian diserahkan ke tim verifikasi dan membutuhkan waktu cukup lama karena dokumen nakes harus lengkap.

“Saya sudah koordinasikan de­ngan tim pengumpul, sebagian data sudah beres dan telah di verifikasi sebagian lagi sementara berjalan. Mudah-mudahan pekan ini sudah bisa selesai verifikasi dan diserah­kan ke Dinas Kesehatan Maluku untuk permintaan pencairan,” jelas Wadir Perencanaan dan Keuangan RSUD dr M Haulussy, Detta kepada Siwalima.

Dirinya mengakui data nakes yang sedang di kumpulkan itu dari bulan Februari-Juni untuk diveri­fikasi, sedangkan Januari telah selesai diverifikasi.

Dengan jumlah tenaga medis se­kitar 245 orang,  RSUD harus meng­gelontorkan dana Rp1,5 miliar setiap bulannya. “Jumlah ini statis, ter­gantung jumlah pasien, jumlah jam kerja, dan sebagainya. Data-data ini­lah yang sementara kita kumpulkan dan verifikasi,” kata Detta. (S-50)