AMBON, Siwalimanews – Perayaan satu tahun Ambon ditetapkan sebagai kota musik atau biasa dise­but Ambon City of Music (ACOM) digelar di Jakarta terus menuai kritik tajam kalangan musisi.

Alasan yang dikemuka­kan Kepala Dinas Pariwi­sata Kota Ambon, Richo Hayat dinilai hanya asal-asalan.

Andy Eric Manuhutu, Di­rector Operation Ambon Jazz Plus Festival (AJPF) me­nyayangkan alasan pem­kot melaksanakan ulang tahun pertama Ambon kota musik dunia di Jakarta, karena belum mampu me­nggelar acara-acara sebe­sar itu dalam bentuk live streaming.

“Virtual ya virtual. Tidak perlu ke mana mana. Par­tisipasi dari semua penjuru dunia bisa dilakukan. Platform untuk hal itu banyak sekali. Hanya perlukan MBPS, paling sedikit 50 yang dedicated. Karena tidak masuk akal Telkom dan Tel­komsel tidak bisa memberikan MBPS yang tinggi dan dedicated supaya bisa sama dengan Jakarta. Kalau sound system di Ambon banyak sekali. Tidak perlu yang besar-besar,” tandas Manuhutu, kepada Siwalima, Senin (2/11).

Menurutnya, Pemkot punya kekuasaan untuk “menekan” pihak-pihak seperti Telkom dan Telkomsel. Karena gawe punyanya pemerintah kota. Telkom bisa buat dedicated khusus 100 MBPS atau 50 MBPS dedicated. Tinggal minta dan bicara dengan mereka, dan bisa siapkan.

Baca Juga: Rayakan Setahun ACOM di Jakarta, Ambon Kehilangan Identitas

“Jangankan Ambon, di Jakarta aja banyak daerah membutuhkan itu untuk menaikkan MBPSnya. Jadi nggak dipakai untuk yang lain-lain. Kalau nggak dedicated dia akan ngedrop. Memang banyak yang pakai. Kalau sudah livestreaming jangan pakai mic yang wireless. Semua harus mic yang pake cable. Ini untuk antisipasi jangan sampe ada problem dengan frekuensi. Jadi bagi saya Ambon bisa kok,” ujar Manuhutu.

Lanjutnya, pernyataan Kadis Pariwisata pelaksanaan ulang tahun ACOM di Jakarta sebagai bentuk penghematan, karena kalau di Ambon biasanya mahal adalah per­nyataan yang tidak mendasar dan asal-asalan.

“Sekarang pertanyaannya, bawa puluhan orang ke Jakarta, tidak butuh biaya? Transportasinya, ho­tel­nya, makannya dan lain-lain itu tidak butuh biaya? Kenapa tidak menggunakan mereka yang di Ambon supaya menunjukkan kita me­nggunakan kata berbasis musik ka­rena memang di kampung-kampung itu semua bisa berkumpul dan bernyanyi,” tandasnya.

Pria yang di kalangan musisi nasional lebih dikenal dengan sebutan  Andi Atis ini mengungkap­kan, kalau Pemkot Ambon mau murah, seharusnya tiga sampai enam bulan sebelum pelaksanaan harus dibicarakan dengan melibat­kan semua pihak supaya dapat melakukan kerja sama dengan Telkom dan Telkomsel.

“Kenapa saya bilang harus kerja sama dengan Telkom dan Telkomsel, supaya  bisa mendatangkan mobile unit agar mendapatkan MBPS yang tinggi. Jadi seluruh dunia akan bi­lang kalau Ambon layak mendapat­kan kota kreatif berbasis musik. Kalau mau kasi tunjuk dengan peralatan mutakhir,” ungkapnya.

Menurut produser yang pernah menangani lagu-lagu yang sukses dari arti-artis ternama ibukota seperti Dewi Sanra, Andy/rif, Calvin Jeremy, Joe Saint Loco, GIGI sampai Sania ini, apa yang dilakukan di Jakarta  itu bukan menunjukan Ambon kreatif dengan  musik.

“Bukan meremehkan. Beta terus terang, deklarasi dua tahun lalu Ambon kota musik lalu hanya meng­hargai predikat yang diberikan pihak ketiga dari luar Indonesia yang baru berumur setahun. Itu sama artinya telan ludah sendiri. Sembilan tahun lalu Maluku mendeklarasikan diri sebagai kota musik. Deklarasi itu lebih unggul. UNESCO tidak bisa mendeklarasikan. Karena lembaga ini skop dunia.  Yang deklarasi itu rakyat. Ya siapa masyarakat Ambon,” ujar Manuhutu.

Manuhutu menyentil pakar teleko­munikasi, Shafiq Pontoh.yang sem­pat membuat heboh karena menu­ding masyarakat Ambon gaptek, Pemkot Ambon justru membuktikan itu.

“Jadi akhirnya apa yang Shafid Pontoh bilang kalau orang Maluku itu gaptek ya Pemkot yang buktikan itu. Padahal sesungguhnya tidak benar. Pemkot kurang bicara, kurang diskusi hanya mampu mendengar kelom­poknya sendiri. Supaya Ke­lompok sendirinya yang berhasil. Da­lam era begini bergerak salah di sosial media tetap dikritik,” tandasnya.

Ia menyesalkan kenapa setahun ACOM dirayakan di Jakarta. Semua penyanyi Maluku yang di Jakarta hidupnya sudah oke. Tapi yang di Ambon itu kasihan.

“Katong ini berusaha setiap bulan ada bansos untuk kelompok-ke­lompok yang ada. Dibantu pak Doni Monardo. Katong kerja untuk Ma­luku bukan untuk pribadi. Kalau merendahkan, dengan alasan daerah seng sanggup itu sedih sekali,” ujar Manuhutu.

Hal yang sama juga diungkapkan Reza Syaranamual. Aktivis yang banyak berkecimpung di berbagai kegiatan-kegiatan sosial hingga budaya ini menyayangkan langkah pemkot.

“Ini  kan karena mereka membela mereka punya kegiatan, kegiatan yang tidak tahu diri.

Sebenarnya kalau kegiatan ini sama dengan Shafiq Pontoh tampar pak walikota punya wajah, mem­buktikan bahwa yang Shafiq bicara itu betul warga Maluku khusus Ambon masih gaptek,” ujar Syaranamual.

Menurutnya, melaksanakan kegia­tan HUT pertama Ambon kota musik di Jakarta  sebenarnya bikin malu orang Ambon sendiri.

“Bisa-bisanya dibilang mahal kalau bikin di Ambon. di Jakarta Murah. Ini pejabat model apa? Pe­jabat yang hanya didongkrak karena sesuatu hal. Jadinya hasil seperti ini. Saya yakin yang ke Jakarta itu pasti ada SPPD yang bolong, setelah ini penegak hukum harus periksa,” ungkapnya.

Menurut Syaranamual, sikapi pelaksanaan ulang tahun pertama ACOM tidak boleh dilihat darui sisi mahal dan murah serta ketidakmam­puan daerah dalam mengcovernya.

“Kalau bicara  murah mungkin tidak, yang kedua bukan soal murah atau mahal, kalau bicara murah pemerintah salah itu. Tapi soal Ambon sebagai city of mucic, kenapa bikin di Jakarta, itu ada life streaming yang ditayangkan bisa juga buat di sini. Bikin di sini  ini karena barakal lebih banyak. Kenapa barakal, ka­rena hati deng otak seng tulus meng­akibatkan kerja bulus, hanya untuk mencari untung. Ini predikat Ambon kenapa harus buat di Jakarta kalau tidak ada anggaran, bikin semurah meriah mungkin,” tandasnya.

Yang penting, kata Syaranamual, esensinya dapat. Keramaian itu milik masyarakat Ambon sendiri.

“Seng usah pake artis mahal buat apa. Kalau dong mau tantang dong mau sumbang untuk Ambon seng, ternyata ada testimoni dari Belanda juga,” beber Syaranamual.

Ia menegaskan, acara tersebut sejak awal sudah salah kaprah. Salah dalam segala hal baik dari sisi esensinya, tem­pat dan penganggarannya.

“Kalau mau merayakan satu tahun Ambon kota kreatif berbasis musik ingat bahwa itu Ambonnya kota kreatif itu berarti akan harus dari Ambon dengan mengkreasikan se­gala sesuatu dengan anggaran yang ada,” jelas Syaranamual.

Ditambahkan, Ambon kota kreatif berbasi music harusnya bikin di Ambon dengan segala macam hal. Yang kurang itu bisa disiasati.

“Ini mau bajalang-bajalang saja. Ini yang bikin diri tahu padahal tar tau bikin. Berkreatif sedikit, otak ini Tuhan kasih untuk berkreasi bukan manipulasi. Dari semua hal salah, kalau mau happy bikin satu lagu,” tandasnya.

Syaranamual juga menyesali pelaksanaan kegiatan tersebut di jakarta tapi tidak satu pun pendu­kung acara yang menggunakan p­akaian adat Ambon. “Katanya predi­kat Ambon kota kreatif nerbasis musik. Kreatif dimana? konsepnya kreatifnya itu ada di mana hello,” ungkapnya.

 Alasan Habiskan Uang

Seperti diberitakan, Kepala Dinas Parawisata Kota Ambon, Richo Hayat mengaku, kalau merayakan ulang tahun pertama ACOM di Ambon dapat menghabiskan uang.

“Biaya cukup besar, ini di Jakarta biaya tidak terlalu besar,” kata Hayat saat  dihubungi Siwalima, melalui telepon selulernya, Minggu (1/11).

Hayat menjelaskan, kegiatan tersebut dilaksanakan di Jakarta agar ditonton banyak orang, hingga ke luar negeri.

“Itu kan kita tembak ini keluar negeri semua orang pada lihat. Kalau bikin di lapangan Merdeka biaya besar, kemudian ini kita mempresentasikan ke UNESCO, dunia melihat,” jelasnya.

Selain itu kata dia, kapasitas Kota Ambon masih belum mampu mengcover kegiatan tersebut, sehingga Jakarta yang dipilih.

“Pertama itu kan dibikin di Jakarta karena kapasitas kota di Ambon be­lum bisa mengcover kegiatan terse­but dengan follower yang begitu banyak,” ujar Hayat.

Dia mengklaim, kegiatan yang dilakukan pada Sabtu (31/10) lalu tersebut, banyak ditonton berbagai kalangan dari berbagai negara. Followers menembus angka 48.000 orang yang kebanyakan berada di luar negeri.

“Orang semua komen di Youtube kebanyakan orang Maluku yang ada di luar, jadi ini memang promosi yang kita pakai. Kalau di Ambon biaya besar, yang nonton orang Ambon, ini kan kita tunjukan untuk dunia Ambon sebagai kota musik dunia, memecahkan kita punya rekor juga ke UNESCO,” tandas Hayat. (S-32)