Kasus kecurangan perbankan

Survey ACFE 2019 menemukan industri keuangan dan perbankan merupakan pihak yang paling dirugikan akibat adanya fraud dengan presentasi 41,4%. Sebagai bukti deretan kasus kecurangan perbankan di indonesia tak pernah terhenti baik yang terjadi pada bank swasta, bank milik negara (BUMN) maupun bank yang berada di daerah. Tak luput dari memori kita kasus yang menyeret Melinda Dee pada Citibank dengan kasus penggelapan dana nasabah sebesar 17M sejak tahun 2009 masih menjalani hukumannya hingga saat ini, kasus bank swasta lainnya terjadi di Bank Mega melalui penggelapan dana milik PT. Elnusa Tbk, senilai Rp.111 M. Proses gugatan dilakukan PT. Elnusa yang akhirnya mewajibkan Bank Mega mencairkan dana deposito Rp.111 M dengan bunga 6% per tahun. Kecurangan perbankan yang dilakukan internal bank sendiri juga terjadi pada bank milik negara, BTN dengan oknum pegawai bank sendiri menggelapkan dana nasabah sebesar Rp.250 M dengan modus pemalsuan deposito. Tidak hanya melalui pemalsuan deposito, LC fiktif senilai Rp 1.2 Triliun juga terjadi pada Bank BNI yang mengakibatkan kejaksaan menetapkan tersangka kepada 16 oknum. Ke 16 oknum tersebut berasal dari pihak internal bank serta pihak perusahaan yang terlibat dalam kasus ekspor fiktif. Bagaimana dengan bank milik daerah? yang ada di provinsi Maluku yang ternyata juga tidak bebas dari praktek kecurangan.

Kasus Repo, pembobolan dana nasabah bank maluku cabang pembantu Mako Waeapo sehingga menimbulkan kerugian 4,1 M serta Pencairan dana kredit fiktif 2,6 M yang akhirnya menjadi kredit macet adalah beberapa kasus perbankan yang menjadi headline di koran lokal. Beberapa kasus kecurangan pada sektor perbankan tersebut baik pada bank umum maupun bank daerah indikasinya sama yaitu melibatkan beberapa oknum. Artinya kejahatan perbankan pelakunya tidak tunggal. Otorisasi yang bertingkat, keamanan dan validasi yang berlapis semestinya menjadi pencegah awal terjadinya kecurangan. Namun jika sirkumstansi tersebut diabaikan dan tidak diupayakan dengan maksimal makan berpotensi menjadi stimulan aktivitas kecurangan. Pelaku curang akan bekerja bersama-sama dengan oknum internal lainnya atau bahkan dengan nasabah untuk berkolaborasi melakukan kecurangan.

Motivasi kecurangan

Dari sudut pandang akademis, kecurangan didefinisikan sebagai suatu tindakan, ekspresi, penghilangan atau penyembunyian yang telah dikalkulasi untuk menipu pihak lain dengan mengabaikan kebenaran yang dengan sengaja dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan atas kesalahan tersebut. Beberapa definisi fraud lainnya juga tak jauh dari frasa “kesengajaan”, “korban” dan “pelaku”. Kecurangan selalu menimbulkan korban dengan kerugian materiil yang signifikan pada perbankan. Tindakan yang menguntungkan pihak lain dengan menerabas hak pihak lain juga bagian dari kecurangan. Pelaku kecurangan sadar dengan tindakannya akan merugikan pihak lain dan menguntungkan pihak yang diinginkan. Apa yang memotivasi orang berlaku curang antara lain Motif pertama adalah tekanan, pencapaian yang disyaratkan pimpinan kepada bawahan untuk mencapai target tertentu yang dihadiahi oleh berbagai insentif merupakan tekanan dari internal organisasi, kebutuhan keuangan untuk keluarga, desakan gaya hidup yang tidak sesuai dengan profil keuangan berasal dari tekanan eksternal pelaku curang.

Baca Juga: Jadi Kebutuhan, Panduan Tes Covid-19 Mandiri Diperlukan

Motif berikutnya adalah kesempatan. Mengutip kata bang Napi kejahatan timbul bukan hanya karena adanya niat tapi karena adanya kesempatan. Dalam implementasinya, kelemahan sistem pengendalian internal menjadi penyumbang munculnya tindakan kecurangan. Kultur serta atmosfer organisasi yang permisif terhadap kecurangan juga tak luput dari kecurangan itu sendiri. Berikutnya adalah Rasionalisasi, individu yang dijanjikan insentif, dan melihat adanya kesempatan untuk berlaku curang akan melakukan pembenaran atas tindakan kecurangannya. Merasa layak melakukan kecurangan karena menerima gaji yang tidak sesuai, merasa diperlakukan tidak adil.

Atau bahkan dipengaruhi oleh ideologi, seseorang dapat membenarkan sesuatu yang dianggap salah.

Yang terakhir adalah Kemampuan, kemampuan yang dimaksudkan adalah kedudukan/jabatan, keahlian/kepiawaian dan kemampuan persuasi. Bawahan dengan atasan yang berintegritas akan lebih berhati-hati dalam memilih apakah akan bertindak curang meskipun terdapat peluang baginya untuk berlaku curang, sebaliknya atasan yang permisif terhadap kecurangan akan memunculkan perilaku curang seumpama peluang untuk berlaku curang tersebut tersedia. Kemampuan dapat dikaitkan dengan tingkat edukasi, pelaku curang membutuhkan kecerdasan melihat peluang dan kreativitas diperlukan untuk memanfaat­kan peluang. Pelaku curang yang cerdas dan kreatif selanjutnya akan melakukan tahapan menutupi aksinya agar tidak diketahui khalayak.

Regulasi dan penegakan hukum kecurangan perbankan OJK sebagai pengawas kegiatan jasa perbankan melalui POJK No.39/POJK.03/2019 tentang penerapan strategi anti fraud bagi bank umum telah merilis berbagai kebijakan karena bidang usaha perbankan tidak lepas dari paparan risiko operasional akibat kecurangan. Pada aturan tersebut mewajibkan bank umum untuk merancang strategi anti fraud dengan membentuk tim khusus yang berada dibawah direktur utama. Poin penting strategi penyusunan anti fraud pada rancangan tersebut adalah 4 pilar yakni pencegahan; deteksi; investigasi, pelaporan dan sanksi; pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut. Pengoperasian manajemen resiko perlu menunaikan beberapa aspek: a. Pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris, b. Kebijakan dan prosedur, c. Struktur organisasi dan pertanggungjawaban serta d. Pengendalian dan pemantauan. Bang yang tidak mematuhi aturan main tersebut sanksi yang paling ringan penurunan tingkat kesehatan bank hingga pembekuan kegiatan usaha. Bagaimana dengan penegakan hukum, kejaksaan menilai kecurangan perbankan sebagai penggelapan aset dan kekayaan negara kemudian mendiring dibensHtuknay kooporasi lintas sektor bersama institusi lainnya kementerian keuangan, PPATK, Kepolisian, OJK, Bank Indonesia, KPK dan lembaga penjamin simpanan, kolaborasi ini dinilai penting untuk mendeteksi gejala awal akan terjadi kecurangan mengingat berbagai resiko yang dihadapi bisnis perbankan.

Kelemahan internal audit

Internal control merupakan suatu mekanisme, sistem atau peraturan yang dirancang suatu organisasi untuk memastikan setiap individu patuh pada prosedur yang sudah ditetapkan yang tujuannya untuk melindungi aset perusahaan, meminimalisir risiko, menjamin keberlangsungan usaha berjalan dengan efisien. Internal kontrol yang gagal melakukan upaya preventif terhadap kecurangan sangat dimungkinkan, mengingat celah pada sistem dapat dimanfaatkan oleh pelaku curang yang kecerdasannya selalu berevolusi. Skandal keuangan kasus Enron pada 2001 yang mencetuskan PCAOB yang dikenal dengan UU Sarbox (Sarbanese Oaxley) disarikan oleh pemerintah indonesia dalam hal ini melalui kementrian keuangan untuk membentuk regulasi yang mewajibkan auditor eksternal menilai kelayakan pengendalian intern kliennya. Meskipun sistem dan strategi anti fraud telah dibangun oleh institusi, pada realitanya pelaksanaan anti fraud memperlemah sistem anti kecurangan tersebut. Beberapa Faktor diantaranya: Pimpinan yang tidak mampu memberi teladan, Minimnya pengawasan internal,

Mengabaikan pengendalian internal, Pendidikan anti fraud yang terbatas dan Rendahnya review manajemen. Sistem pengendalian yang baik akan bernilai optimal jika individu yang terlibat didalamnya dapat menaati prosedur yang sudah ditetapkan. Jika kecurangan masih terus terjadi bahkan baru terdeteksi setelah beberapa tahun kemudian, maka perlu ditanyakan pretensi lembaga perbankan dalam mengelola bisnis yang mengutamakan trust (Hartina Husein, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpatti Ambon)