PANDEMI yang belum juga usai membuat kita berada dalam situasi yang sulit. Situasi yang memaksa kita untuk mencari keseimbangan dari banyak pilihan yang dilematis. Kemanusiaan dengan kemiskinan, kematian dengan kelaparan. Kita mengawali tahun 2020 dengan kecemasan dan sepertinya akan mengakhiri tahun dengan kemurungan. Sejumlah proyeksi menunjukkan pertumbuhan ekonomi global akan tumbuh minus sangat dalam akibat kondisi di Indonesia sekarang. Tentu ini bukan kabar baik bagi ekonomi dan kemanusiaan.

Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada kuartal kedua tahun 2020, misalnya, Kementerian Tenaga Kerja mencatat setidaknya ada 1.010.579 tenaga kerja yang dirumahkan dan cerita sedih tentang korban covid terus mendengung tidak hanya di Indonesia, tapi juga dunia. Saya selalu punya keyakinan bahwa in a difficult time there is always a great opportunity, tapi dengan syarat kita mau membenahi kekurangan dan tidak menyiayianyiakan momentum. Maka, mengawali awal bulan ini (03/10) kami melakukan kunjungan kerja ke sejumlah pelaku industri dan UMKM di Jawa Timur. Salah satunya, pengerajin kulit di Tanggulangin Sidoarjo. Tujuannya, untuk ‘belanja masalah’ agar mengetahui apa yang dirasakan dan diinginkan pelaku usaha.

Masukan dari pelaku usaha penting, selain memastikan apa yang dikerjakan pemerintah benar juga berguna bagi perbaikan kebijakan yang lebih berkualitas, agar kita dapat memanfaatkan ‘kutukan 2020’ menjadi berkah. Momentum Selain cerita yang sendu sepanjang 2020, ada kesempatan ke depan yang besar bagi negara yang mau bangkit. Pandemi membuat tatanan global mulai berubah, terutama ekonomi global. Pandemi memberikan pelajaran dan akan memaksa arsitektur perdagangan global berubah.

Risiko yang terlalu besar apabila arsitektur perdagangan global masih seperti sekarang, dengan 20% manufaktur global masih didominasi China. Ketergantungan kepada produksi global terhadap satu negara dominan akan besar risikonya, ketika negara dominan mengalami turbulensi. Maka, jaring produksi global ke depannya akan semakin terdesentralisasi. Terutama, ke negara- negara Asia Selatan dan Asia Tenggara. Lalu, apakah kita siap mendapatkan momentum yang besar untuk menjadi bagian jaring produksi global? ini yang membutuhkan kerja keras dan political will yang kuat dari bangsa kita untuk melangkah ke depan Memulainya harus dengan reformasi ekonomi struktrual secara radikal. Ini penting dan sangat fundamental.

Sebagai gambaran, Indonesia mengalami kesulitan untuk menciptakan lapangan kerja yang bermutu. Capaian investasi tidak begitu menggembirakan. Sepanjang 2014 sampai dengan 2019 penanaman modal asing (PMA) mengalami stagnasi. Celakanya, PMA lebih banyak diinvestasikan di sektor jasa, pertambangan dan perkebunan. PMA Indonesia juga tertinggal apabila dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Baca Juga: Masyarakat Mendukung Penanganan Covid-19 di Indonesia

Begitu juga dengan penanaman modal dalam negeri (PMDN) Padahal, investasi penting dalam mengakselerasi peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja, terutama investasi di sektor manufaktur. Hanya 3% PMA yang berinvestasi di sektor garmen dan alas kaki. Padahal, dua sektor tersebut merupakan sektor penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi. Begitu juga dengan regulasi yang sangat restriktif membuat ekonomi berbiaya mahal. Setidaknya, sejak 2000-2015 ada sekitar 12,461 ribu regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat, baik dari level UU sampai dengan peraturan menteri.

Lompatan besar Pengesahan RUU Cipta kerja yang disahkan DPR RI dalam paripurna pada senin (5/10), merupakan sejarah sekaligus momentum lompatan besar bagi Indonesia. UU Cipta kerja menjadi fondasi bagi reformasi ekonomi struktural secara besarbesaran. Kemudahan dalam berbisnis dan deregulasi akan membuat pembenahan fundamental ekonomi terutama di investasi, baik PMA maupun PMDN.

Dengan demikian lompatan besar akan tercipta dalam peningkatan permintaan tenaga kerja. UU Cipta Kerja menjadi fondasi bagi kemudahan berbisnis. Ini penting mengingat tren regulasi bisnis yang semakin restriktif yang sangat menghambat perkembangan industri dan ekonomi. Kondisi ini yang banyak dikeluhkan pelaku industri dalam kunjungan kerja saya di Jawa Timur, dengan regulasi bisnis kita seperti Minetour atau monster yang memakan siapa saja dalam dongeng Yunani Kuno.

Di tengah pemintaan menurun (demand shock), yang memukul industri dan UMKM seperti pengrajin kulit di Tanggul angin, yang mengalami penurunan omzet mencapati 95%, regulasi dan hambatan ekonomi (economic barrier) di Indonesia, menambah beban berat untuk pelaku usaha menghadapi situasi yang serbasulit. Arsitektur regulasi ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja juga membuat tenaga kerja Indonesia sangat kompetitif dengan negara lain, selain adanya kepastian hukum. Kompetitif dan kepastian sangat penting agar berdaya saing terutama dengan Vietnam, Thailand, dan negara-negara di Asia Selatan.

Tentu pekerjaan rumah selanjutnya ada pada implementasi. UU Cipta Kerja menjadi momentum lompatan besar bagi Indonesia menjadi negara besar. Belajar dari Jepang, setelah kehancuran pasca-Perang Dunia II, negara itu dapat bangkit dan melakukan lompatan besar, karena meletakkan dasar restorasi ekonomi dan bekerja sama dengan seluruh elemen bangsa. Hari ini, pemerintah dan DPR sudah meletakkan fondasi restorasi ekonomi Indonesia, tinggal kita semua sebagai anak bangsa bekerja sama agar sejahtera.(Rahmat Gobel, Penulis adalah Wakil Ketua DPR RI)