MUHAMMADIYAH kehilangan dua tokoh yang memiliki reputasi hingga level internasional jelang milad atau ulang tahun ke-110 dan muktamar ke-48 di Surakarta, yang kini sudah berlangsung hingga 20 November 2022. Pada Jumat (27/5), Ahmad Syafii Maarif atau yang biasa disapa Buya Syafii, wafat. Buya Syafii ialah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muham­madiyah ke-13 periode 1998-2005. Kemudian, pada 18 September 2022, giliran Azyumardi Azra yang mangkat. Di Muhammadiyah, Prof Edi, salah satu sapaan akrab Azyumardi Azra berada di jajaran tim konsultan ahli Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah periode 2015-2027.

Reputasi ketokohan Buya Syafii dan Prof Edi tentu bukan hanya karena keterlibatannya di Muhammadiyah. Terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu jabatan publik keduanya selagi masih hidup. Di luar jabatan publik yang disandangnya, misalnya posisi Prof Edi sebagai Ketua Dewan Pers, dan Buya Syafii yang dipercaya sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), keduanya dikenal juga sebagai intelektual organik.

Atribusi dengan menggunakan kategori intelektual dari Antonio Gramsci, itu bukan semata-mata karena kesarjanaan hingga level puncak yang diperoleh keduanya dari universitas di luar negeri ternama, melainkan karena peran-peran kritis dan artikulatifnya yang didengar dan diperhatikan banyak kalangan termasuk pemerintah. Kendati keduanya merupakan aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai negeri, tak menghalanginya untuk melontarkan pandangan kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Intelektual organik

Tidak seperti intelektual tradisional, posisi yang bisa dilakukan kalangan akademisi di kampus, yang lebih fokus pada kegiatan pendidikan, pengajaran, pene­litian, dan publikasi untuk memenuhi tanggung ja­wab formal sebagai akademisi atau dosen, inte­lektual organik bergerak ke ruang publik yang lebih luas.

Baca Juga: Siapakah Pahlawan dalam Keluarga ??

Intelektual organik menunjukkan keterlibatan dalam kehidupan publik dengan memproduksi dan mereproduksi gagasan reflektif, kritis, dan strategis yang bermakna bagi kehidupan masyarakat, kendati terlihat berbeda dengan pan­dangan dari kalangan peme­rintah. Intelektual organik dengan demikian menunjuk­kan karakter independen, pribadi yang merdeka, sulit dikooptasi kekuasaan.

Sikap kritis Buya Syafii dan Prof Edi bahkan juga ditujukan terhadap kalangan Islam. Buya Syafii dan Prof Edi memiliki pandangan yang sama terhadap Islam dalam kaitannya dengan politik. Keduanya lebih memilih relasi substantivistik antara agama dengan politik, dan karena itu, menolak keras terhadap segala upaya yang mengarah pada formalisme agama dalam politik, khilafah, misalnya.

Pada bagian kesimpulan disertasi doktoralnya di University of Chicago yang bertajuk Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia, Buya Syafii secara tegas mengatakan bahwa baik Al-Qur’an maupun Nabi tidak menetapkan teori tentang negara yang harus diikuti umat Islam di berbagai negeri. Tesis ini menjadi se­macam antitesis bagi Buya Syafii karena sebagaimana diakuinya, Buya Syafii pada mulanya penganut paradigma integralisme yang meyakini adanya suatu sistem politik dalam Islam yang menuntut keterwujudannya dalam realitas politik. Pergeseran paradigma (paradigm shift) terjadi pada diri Buya Syafii setelah melanjutkan studi di Amerika, lebih-lebih setelah berguru kepada Fazlurrahman yang juga menjadi guru Nurcholish Madjid atau Cak Nur.

Buya Syafii kemudian dikenal sebagai intelektual yang gigih menyuarakan pengamalan Pancasila secara autentik, alih-alih sekadar dijadikan jargon terutama oleh kalangan elite. Pada bagian pengantar versi terjemahan disertasi doktor yang diterbitkan Mizan, Buya Syafii dengan tegas mengatakan, “Seruan-seruan yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam adalah suara yang sia-sia tanpa makna substansial, malah menjadi tak penting untuk diwujudkan.”

“Persoalannya,” lanjut Buya Syafii, “Yang nyata saat ini adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam cara kita mengelola bangsa dan negara ini, dalam kehidupan masyarakat luas.”

Prof Edi setali tiga uang dengan Buya Syafii. Di berbagai kesempatan beliau sering mengungkap pentingnya peremajaan atau rejuvanensi pema­haman terhadap Pancasila sehingga aktualisasinya tetap adaptif dalam kehidupan masyarakat Indonesia kontemporer. Yang melatarbelakangi gagasan rejuvenansi Pancasila itu di antaranya ialah penetrasi gerakan transnasional yang menganut paradigma integralisme dan mengusung ideologi khilafah.

Menurut Prof Edi, di samping tidak memiliki legiti­masi teologis yang kuat, juga tidak lebih sebagai romantisme sejarah yang sulit diwujudkan (utopis). Khi­lafah dengan demikian, tegas Prof Edi seba­gaimana dikemukakan dalam Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi (2016), tidak kondusif bagi Islam Indonesia, baik gagasan khilafah itu ditempuh secara damai, apalagi menggunakan kekerasan. Bagi beliau, Islam Indonesia memiliki karakter moderat (wasathiyah) yang menolak ekstremisme dan radikalisme.

Dialektika intelektualisme-aktivisme

Muhammadiyah membutuhkan banyak tokoh dengan peran intelektual yang telah dicontohkan dan diwariskan oleh Syafii dan Prof Edi. Keduanya ialah refleksi atau pantulan Muhammadiyah. Dalam hal re­lasi agama, Islam, dan politik, misalnya, Muham­madiyah menganut paradigma substanvistik yang lebih menekankan pada tampilnya perilaku politik berkeadaban, yakni agama dijadikan sebagai rujukan moral.

Dengan pilihan paradigmatis yang demikian, Muha­mmadiyah memiliki pandangan tegas terhadap finalitas Negara Kesatuan Re­publik Indonesia (NKRI) yang didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pandangan Mu­ham­madiyah ini kian tegas setelah mengeluarkan doku­men Negara Pancasila seba­gai Darul Ahdi wa al-Syahadah pada Muktamar Muhamma­diyah ke-47 di Makassar, tujuh tahun silam, 2005.

Posisi Muhammadiyah di hadapan negara menjadi je­las, yakni sebagai mitra strategis dan kritis. Berbagal amal usa­ha yang dirintis dan dikem­bangkan Muhammadiyah perlu dipandang sebagai ikhtiar Muhammadiyah terlibat de­ngan agenda-agenda strategis pemerintah. Bisa dibayangkan bila negara tidak ditopang mitra strategis dari kalangan civil society seperti Muhammadiyah, bisa dipastikan akan banyak warga Indonesia yang tersebar di berbagai penjuru Tanah Air yang hidup dalam keterti­nggalan.

Namun demikian, Muham­madiyah juga mengambil po­sisi dan peran kritikal di ha­dapan negara. Dengan begitu, Muhammadiyah memberi ko­reksi dan menawarkan konsep terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada ke­pentingan publik seperti kritik Muhammadiyah terhadap RUU Sisdiknas yang pada akhirnya— antara lain karena kritik dari Muhammadiyah— ditarik dari Prolegnas RUU Prioritas 2023.

Pemikiran strategis dan kritis Muhammadiyah membutuhkan amplifikasi termasuk dari kalangan intelektualnya baik yang berafiliasi kepada Muhammadiyah secara formal maupun setidaknya mencerminkan suasana pemikiran (state of mind) Muhammadiyah. Amplifikasi penting bagi Muhammadiyah, di samping untuk memberi efek getaran atau resonansi ke area publik yang lebih luas, juga untuk menambah bobot legitimasi karena gagasan yang diusung Muhammadiyah memperoleh dukungan dari kalangan intelektual.

Karena itu, penting bagi Muhammadiyah memperkuat basis keanggotan dan pendukung (supporters) dari kalangan intelektual. Dalam konteks ini, saya ingin mengadaptasi model konseptual dari Charles Kurzman dalam artikelnya berjudul Who are the Islamist? Penyunting Islam Liberal: A Sourcebook dan Modernist Islam, 1840-1940: A Sourcebook, itu menyebut tiga unsur penting, yaitu leaders, activists, dan supporters.

Model ini bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan sejenis, tetapi lebih spesifik tertuju kepada mereka yang bisa disebut Muhammadiyah. Tidak boleh diabaikan keberadaan pendukung atau supporter di luar unsur pimpinan (leaders) dan aktivis yang ditandai dengan kepemilikan tanda anggota dan posisi tertentu di persyarikatan. Di luar unsur ini, banyak pula yang bersimpati kepada Muhammadiyah, termasuk dari kalangan intelektual.

Bagaimana memperkuat basis intelektual Muhammadiyah? Karena siapa pun bisa menjadi intelektual, seperti dikatakan Antonio Gramsci, di antaranya karena kemampuan akademiknya yang diasah di perguruan tinggi, maka Muhammadiyah memiliki banyak saluran yang bisa menjamin mobilitas seseorang menjadi intelektual di masa depan.

Tentu yang perlu disebut di urutan pertama ialah institusi pendidikan tinggi Muhammadiyah yang tersebar di berbagai penjuru Tanah Air yang berjumlah 150 lebih. Pada urutan kedua ialah organisasi otonom Muhammadiyah lebih-lebih yang diikuti kalangan belia seperti IMM, Pemuda Muhammadiyah, dan Nasyiatul Aisyiyah (NA).

Kemudian yang ketiga perkumpulan yang diinisiasi aktivis Muhammadiyah, tetapi tidak memiliki hubungan secara formal dengan Muhammadiyah, seperti JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang pernah fenomenal dan artikulatif pada periode tertentu. Ada banyak intelektual belia Muhammadiyah yang terasah dari perkumpulan seperti IMM, Pemuda Muhammadiyah, NA, dan JIMM yang nanti memiliki peran artikulatif di kancah nasional dan internasional seperti Sukidi yang juga doktor dari Harvard University, Najib Burhani, Zuly Qadir, dan Pradana Boy ZTF, sekadar menyebut beberapa nama.

Pada akhirnya harus dikatakan, Muhammadiyah sejatinya bergerak secara dialektis antara aktivisme dan intelektualisme. Pada diri Ahmad Dahlan melekat karakter sebagai man of idea sekaligus sebagai man of action. Dialektika ini harus terus dirawat Muhammadiyah. oleh: Syamsul Arifin Kader Muhammadiyah, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Al-Islam-Kemuhammadiyahan (AIK) Universitas Muhamadiyah Malang.