AMBON, Siwalimanews – Menteri Kesehatan Te­rawan Agus Putranto me­mutuskan untuk member­lakukan Pembatasan So­sial Berskala Besar (PS­BB) di Kota Ambon.

Keputusan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: HK. 01.07/MENKES/358/2020 Tentang Penetapan PSBB di Wilayah Kota Ambon, Provinsi Maluku dalam rangka Percepatan Pena­nganan Covid-19

Dalam SK yang sudah viral di media sosial dan grup whats­­app itu, dijelaskan sejumlah pertimbangan sehingga diputus­kan PSBB berlaku di Kota Ambon, yaitu data yang ada menunjukkan telah terjadi peningkatan dan penyebaran ka­sus Covid-19 yang signifikan dan ce­pat serta diiringi dengan keja­dian transmisi lokal di wilayah Kota Ambon.

Kemudian, berdasarkan hasil kajian epidemiologi dan pertimba­ngan kesiapan daerah dalam as­pek sosial, ekonomi, serta aspek lainnya, perlu dilaksanakan PSBB di wilayah Kota Ambon guna me­nekan penyebaran Covid-19 semakin meluas.

Berdasarkan pertimbangan itu, Menteri Kesehatan menetapkan; Satu menetapkan PSBB di Kota Am­bon, Provinsi Maluku dalam rang­ka Percepatan Penanganan Covid-19.

Baca Juga: Positif Tambah Lagi 16 Kasus, KKT Jebol

Kedua, Pemerintah Daerah Kota Ambon Provinsi Maluku wajib me­laksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana di­maksud dalam Diktum Kesatu se­suai ketentuan peraturan perun­dang-undangan dan secara kon­sisten mendorong dan mensosia­lisasikan pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat.

Ketiga, PSBB sebagaimana di­maksud dalam diktum Kedua di­laksanakan selama masa inkubasi terpanjang dan dapat diperpanjang jika masih terdapat bukti penye­baran.

Keempat, Walikota Ambon mela­porkan pelaksanaan PSBB seba­gaimana dimaksud dalam Diktum Kedua dan Diktum Ketiga kepada Menteri Kesehatan dengan tem­busan kepada Gubernur Maluku untuk digunakan sebagai dasar menilai kemajuan dan keber­hasilan pelaksanaan PSBB.

Kelima, Keputuan menteri ini mulai berlaku pada tanggal dite­tapkan 9 Juni 2020.

Sebelumnya Pemkot Ambon menyerahkan usulan PSBB ke Gugus Tugas Percepatan Pena­nganan Covid-19 Maluku untuk selanjutnya diusulkan ke Menteri Kesehatan pada Sabtu (6/6).

Usulan PSBB ini diserahkan oleh Sekretaris BPBD Kota Ambon, Eva Tuhumury kepada Sekretaris Gugus Tugas Covid-19, Henri Far-Far di Sekretariat Gustu Maluku.

Perwali Rancu

Peraturan Walikota Ambon No­mor 16 Tahun 2020 tentang pem­bata­san kegiatan orang, akti­vitas usaha dan  moda transportasi da­lam pena­nganan  Covid-19 di Kota Am­bon,  di­nilai rancu dan tidak se­suai dengan atu­ran perundang-unda­ngan yang berlaku di Ind­onesia.

Hal ini disampaikan Akademisi Hu­kum Tata Negara Unpatti, Hen­drik Salmon kepada Siwalima Selasa (9/6).

“Perwali Nomor 16 Tahun 2020 itu dari sisi hukum administrasi ne­gara rancu dan sangat berten­tangan dengan norma-norma hu­kum dalam mekanisme pembua­tan peraturan perundang-unda­ngan,” ujar Salmon.

Menurutnya, Perwali boleh dike­luarkan apabila sudah ada Perda dari Pemprov Maluku tentang protokoler penanganan Covid-19.

“Nah, dari Perda itu diturunkan Perwali sebagai implementatif terhadap bagaimana mekanisme penanganan Covid menuju  daerah baru itu,” tandasnya.

Salmon mengatakan, Pemkot Ambon sudah membuat kekeliruan dalam hukum, dan tidak memba­ngun sinkronisasi dengan pem­prov.

“Jadi dari pemprov itu sebe­nar­nya  akan menurunkan protokol pe­nanganan Covid-19. Dari situ im­ple­mentasinya baru akan muncul, bagaimana pemba­tasan zona-zona merah, hijau dan kuning ber­dasarkan leading sektor keseha­tan. Tapi Pemkot kasi terbit Perwali 16, ini yang keliru,” tan­dasnya lagi.

Perwali Nomor 16, kata Salmon, tidak boleh mencabut hak asasi dan menghambat perekonomian dari masyarakat.

“Perwali bicara pembatasan, tetapi implementasinya melarang. Apakah pembatasan sama de­ngan melarang? Kalau dalam konteks pembatasan itu berarti membatasi orang untuk melakukan aktivitas pada daerah yang disebut pan­demi. Nah, kalau membatasi  orang, itu berarti mempermudah orang yang mempunyai aktivitas pada wilayah pandemi dengan membiarkan dia punya  hak asasi manusia itu untuk tidak dilarang,” ujarnya.

Ia mencontohkan, Perwali 16 itu berlaku di Kota Ambon,  dan tidak bisa berlakukan sama pada daerah yang tidak  memberlakukan PKM.

“Jadi misalnya Ambon  punya PKM, Malteng tidak ada. Itu berarti Malteng tidak bisa melarang orang Ambon datang ke Malteng. Kenapa? Karena Malteng tidak ada pembatasan itu,” tandasnya.

Pemkot Ambon, kata Salmon, tidak koordinasi dengan Kabu­paten SBB dan Malteng, sebelum memberlakukan PKM.

“Ini yang saya bilang, tidak koor­dinasi dengan Pemprov. Nanti Pem­prov musti kasi turun Perda ten­­tang protokol  penanganan co­vid menuju daerah baru. Dari Perda itu ditu­runkan Perwali  sebagai imple­mentatif terhadap bagai­mana  mekanisme penanganan co­vid menuju  new normal,” terang­nya.

Hal lain yang  menurut Salmon Perwali Nomor 16 rancu, adalah soal sanksi.

“Tidak pernah diatur, sanksi semestinya mengacu pada Perda bukan pada Perwali dalam teknis perundang-unda­ngan. Masa diatur dengan Perwali, itu saja  sudah salah. Bagi saya Perwali ini asal dibikin saja. Orang hukum bilang mimpi malam, ekse­kusi pagi,” ujarnya.

Selain itu, kalau mengikuti tata pembentukan aturan perundang-undangan yang baik, harusnya disosilisasi dulu ke masyarakat baru diberlakukan.

“Sosialisasi biar masyarakat paham soal hak dan kewajibannya. Tapi kalau Perwali itu tidak diso­sialisasi dengan baik, respon mas­yarakat tidak menerima, ka­rena hak  dia tidak terakomodir di situ. Contoh, para sopir angkot, ke­napa  mereka menolak perwali ka­rena kepada mereka tidak diberi­kan pemahaman tentang hak-hak dan kewajiban mereka,  seperti apa di dalam aturan itu,” kata Salmon.

Sementara Akademisi Hukum Tata Negara Unpatti lainnya, Jemmy Pietersz mempunyai pendapat berbeda.

Menurutnya, Perwali Nomor 16 Tahun 2020 ditetapkan karena status darurat bencana. Tujuan Perwali hanya untuk mencegah penyebaran Covid-19 dengan membatasi kegiatan masyarakat.

“Kan tujuannya bukan untuk membatasi orang masuk Kota Ambon, tapi membatasi penyebaran Covid. Perwali ini tidak berten­tangan dengan norma hukum atau aturan hukum yang diatasnya karen Perwali merujuk pada Pergub Nomor 15 tahun 2020 tentang pembatasan moda transportasi,” ujarnya.

Pietersz mengatakan, dalam Pergub itu bersifat himbauan dan tidak ada sanksi untuk memberi­kan kepatuhan, sehingga  dalam Perwali diatur sanksi supaya ada kepatuhan.

“Perwali menetapkan itu untuk kepentingan Kota Ambon,” ujarnya. (S-32/S-19)