Bila mengikuti perkembangan sejarah, permasa­lahan ketidakadilan sosial lebih sering menimpa kaum perempuan. Posisi perempuan selalu dianggap lemah, dan menjadi kelas nomor dua yaitu tepat berada di bawah laki-laki. Pelabelan dan stereotif tertentu terhadap perempuan sudah mengakar kuat di masyarakat hingga menjadi tradisi dan kultur.

Budayalah yang menyebabkan perempuan seakan-akan menggantungkan hidupnya dengan laki-laki. Program pembangunan sekarang lebih menitikberatkan pada kemajuan laki-laki dibanding­kan perempuan, padahal perempuan juga memiliki andil yang cukup besar terhadap perekonomian negara.

Mereka para kaum hawa, yang dianggap sebagai budak nafsu jugalah manusia, bukan binatang yang siap untuk ditendang dan bukan seperti tebu habis sepah dibuang.

Upaya mereposisi kedudukan dan peran perem­puan sedang diperjuangkan melalui konsep gender yang dimimpikan mampu melahirkan rekontruksi hubungan laki-laki dan perempuan agar tidak terjadi perbedaan perlakukan secara universal.

Gender adalah suatu konsep yang bersifat cultural yang digunakan untuk mendiferensiasikan peran, perilaku, menta­litas, dan karakteristik emosional yang berkembang dalam mas­yarakat. Gender merupaka suatu sifat yang dijadikan sebagai dasar untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya, nilai, perilaku, mentalitas, dan faktor-faktor nonbiologis lainnya (Rokhmansyah, 2016).

Baca Juga: Implan Gigi Produksi dalam Negeri

Masyarakat sering menyamakan antara gender dengan jenis kelamin (sex). Padahal gender dan jenis kelamin itu berbeda. Seks merupakan pembagian atau pensifatan dua jenis kelamin yang melekat dan ditentukan secara biologis. Seperti misalnya, laki-laki memiliki penis, tumbuh jakun, dan memproduksi sperma. Se­dang­kan perempuan memiliki rahim, saluran melahirkan, memproduksi telur, dan alat untuk menyusui. Semua itu melekat dalam diri manusia dan tidak bisa dipertukarkan satu sama lain. Inilah yang dimaksud dengan kodrat atau ketentuan Tuhan (Fakih, 2008).

Sedangkan gender memiliki konsep sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan melalui sosial dan budaya. Misalkan seperti perempuan diidentikan dengan lemah lembut, keibuan, dan emosional, dan laki-laki diidentikan dengan kuat, rasional, dan perkasa. Akan tetapi, ada suatu tempat yang perempuan kuat daripada laki-laki. Semua tergantung dengan budaya yang melekat pada masyarakat.

Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan mulai terjadi karena beberapa faktor, seperti kondisi sosial, budaya, agama, dan negara. Sejarah yang panjang ini menjadi lekat di pikiran masyarakat sosial sampai akhirnya gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan dan kodrati. Ketertidasan perempuan berawal dari perbedaan gender yang melahirkan identitas gender sebagai penanda atau ciri khas dari gender tersebut. Identitas gender merupakan suatu konsep diri individu tentang keadaan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan atau bukan keduanya yang dirasakan dan diyakini secara pribadi oleh individu. Gender akan memunculkan dikotomi sifat, peran, dan posisi antara laki-laki dan perempuan. Dikotomi tersebut meliputi adanya masku­lin dan feminim, peran domestik dan publik, posisi mendominasi dan tersubordinasi, dan stereotif gender (Rokhmansyah, 2016).

Pengklasifikasian masyarakat yang ditimbulkan akibat per­bedaan jenis kelamin menyebabkan adanya ketimpangan perla­kuan karena kepentingan.

MDjoharwinarlien (2012) mengungkapkan bahwa, perem­puan tidak pernah berhenti untuk keluar dari keterkukungan, walaupun dianggap melawan kultur dan mitos-mitos yang sejatinya memarginalkan posisinya. Perlawanan perempuan untuk memperoleh kesetaraan bukan berarti perempuan hendak melawan kodratnya. Perempuan yang berusaha untuk tidak stagnansi terhadap mitos-mitos yang menyebabkan penomor­duaan kelasnya, sejatinya sedang memperjuangkan dua hal. Pertama, untuk memperjuangkan hak kebebasan sebagai perempuan, seperti hak untuk berpendidikan, hak memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk mengembangkan diri dan meraih cita-cita. Hak tersebut wajib untuk dilindungi dalam konstitusi Negara tanpa membedakan jenis kelamin. Kedua, perempuan yang memperjuangkan kedudukannya merupakan perempuan yang mendaulatkan eksistensi sebagai perempuan agar dapat sejajar dengan laki-laki dari semua lini kehidupan.

Perjuangan perempuan untuk bisa setara secara masif muncul setelah disahkannya resolusi Feminisme dan Sosialisme pada Konfrensi Nasional Democratic Sosialist Party pada bulan Januari 1992. Gerakan feminisme muncul karena adanya serangan hak perempuan untuk mengontrol fertilisasi dan tubuhnya, upah yang tidak setara, kekerasan seksual dan kekerasan rumah tangga, kurangnya akses terhadap pekerjaan yang layak, dan praktek diskriminasi secara terus menerus (Democratic Sosialist Party, 1992).

Feminisme merupakan sebuah ideologi politis berasal dari perempuan yang mengalami ketertindasan. Kertertindasan yang dialami perempuan berlandaskan banyak hal yaitu gender, orientasi seksual, ras, kelas, etnisitas, agama, dan lain-lain. Perempuan tidak memiliki banyak hak dan akses seperti yang dimiliki oleh laki-laki sehingga menuangkan pemikirannya dalam bentuk ideologi feminisme (Safira, 2019).

Jackson dan Jakie menjelaskan tujuan dari feminisme adalah, pertama menyediakan informasi dan analisis mengenai pe­rempuan. Kedua, mengupayakan perubahan sosial dan menghilangkan ketidaksetaraan gender. Ketiga, menjadikan diri sebagai sebuah kritik terhadap ilmu pengetahuan yang ada. Keempat, memperlihatkan bagaimana perpektif kaum perempuan mengenai ilmu pengetahuan yang belum terlihat pada ilmu pengetahuan sebelumnya (Lubis, 2015).

Feminisme mengalami banyak penolakan terutama di Indonesia. Safira (2019) mengungkapkan bahwa laki-laki sudah dibiasakan dengan kenyamanan dalam membebankan peran domestik kepada perempuan. Para laki-laki memakai segala cara agar tidak kehilangan kenyamanan itu. Laki-laki menggunakan segala propaganda bahwa feminisme berasal dari Barat, ajaran setan, tidak cocok dengan ajaran agama tertentu, serta merusak ketahanan keluarga. Padahal dogma yang diterapkan kepada perempuan tidak diterapkan pada laki-laki. Doktrin yang diberikan kepada perempuan menyebabkan pemikiran perempuan tidak bisa berkembang karena lingkungan yang mengonstruksikan pikirannya agar tetap stagnansi dan tidak melebihi laki-laki.

Menurut Democratic Socialist Party (1992), penyebab penindasan perempuan adalah sistem keluarga. Dalam bahasa Latin, keluarga berasa dari kata famulus yang artinya budak rumah tangga atau keseluruhan budak milik satu orang.

Sistem keluarga menginstitusikan bahwa peran mandiri perempuan dalam produksi sosial dihilangkan. Kemudian peran produktif perempuan (istri) dibatasi oleh keluarga yang memilikinya cenderung mendiskreditkan terhadap laki-laki. Ini yang menyebabkan perempuan memiliki ketergantungan ekonomi terhadap laki-laki serta telah menempatkan status sosial perempuan sebagai kelas kedua.

Sebenarnya, jika perempuan bisa membawa anak-anaknya pergi tanpa ada tekanan sosial dan ekonomi, sangat tidak mungkin sistem keluarga mampu bertahan sejak ribuan tahun lalu. Sistem keluarga dijadikan sebagai bagian dari unit ekonomi. Sejarah menyebutkan bahwa perbudakan utama yang dialami perempuan bersifat ekonomi. Perempuan dilepaskan kebebasannya untuk menemukan makanannya sendiri lewat institusi keluarga sebagai unit ekonomi. Perempuan akan bergantung pada laki-laki dalam hal ekonomi individual. Pada prinsipnya adalah “rumah kepada perempuan, dan tempat bekerja kepada laki-laki” sehingga semua bidang kemajuan manusia dianggap prerogatif maskulin, sementara perempuan dipisahkan dalam aktivitas pribadi dalam ekonomi sosial, serta dibatasi oleh kegiatan fungsional akibat kodrat jenis kelaminnya (Thornham, 2000).

Kesetaraan gender dan perspektif feminisme masih sangat relevan dibahas sampai saat ini, walau perempuan sudah mulai perlahan-lahan memperoleh kedudukan yang setara dengan laki-laki. Masyrakat sudah mulai membuka diri untuk memberikan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki. Tapi yang menjadi persoalaan saat ini adalah kesiapan perempuan untuk disetarakan. Hal yang ditekankan pada emansipasi perempuan ini adalah, jika perempuan ingin disetarakan dengan laki-laki, perempuan harus memiliki kapasitas dan kemampuan untuk berprestasi dan mampu bersaing secara sehat. Jadi tidak mengandalkan belas kasihan untuk memperoleh posisi sebagai warga kelas pertama.

Sekarang, perempuan juga sudah diberikan kesempatan yang sangat luas di ranah publik. Perempuan mulai unjuk diri untuk tampil dan boleh mengerjakan apapun seperti yang dikerjakan oleh laki-laki. Ini merupakan kesempatan emas untuk perempuan dalam mengembangkan dirinya dan setara dengan laki-laki. Perempuan diberikan kesempatan untuk berpen­didikan tinggi, memiliki karir cemerlang, dan bebas menentukan jalan hidupnya.

Peraturan-peraturan tentang perlindungan perempuan juga sudah diciptakan. Perempuan tinggal memilih, membiarkan kesempatan itu begitu saja atau mengambil semua kesempatan yang ada. Menunjukan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan, bisa menghasilkan karya, dan terpenting perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki.

Sesama perempuan juga mesti saling melindungi. Ketika perempuan sudah mampu mendapatkan kebebasannya, jangan lupa memperhatikan perempuan lain yang masih terdiskriminasi. Perempuan tidak hanya memperjuangkan hak dirinya sebagai perempuan, namun juga mampu berjuang untuk sesama perempuan. Memberikan motivasi, dukungan, dan penguatan kepada mereka yang kondisinya masih lemah. Perempuan yang hebat adalah perempuan yang berani menyuarakan aspirasinya dan perempuan lainnya. Perempuan yang bebas menentukan pilihannya dan tidak takut melawan ketidakadilan. Perempuan yang lembut hati, empati, dan peduli. Perempuan hebat adalah aku, kamu, kita, kalian, mereka, dan semua perempuan yang ada di dunia.( Luh Sinta Yani, S.Pd. Ketua KMHDI Buleleng serta aktif sebagai Jurnalis di media siber www.koranbuleleng.com)