DESAKAN agar polisi membuka kembali penyeli­dikan perkara dugaan pencabulan tiga anak di Luwu Timur belakangan ini kembali menguat. Kasus yang terjadi pada tahun 2019, sebetulnya telah di-SP3 alias dihentikan penyidikannya karena Polres Luwu Timur menyatakan tidak ditemukan cukup bukti untuk melanjutkan penanganan perkara.

Akan tetapi, karena muncul desakan dari berbagai pihak, yakni agar kasus ini dibuka kembali, bukan tidak mungkin kalau kasus dugaan pemerkosaan yang terjadi dua tahun lalu itu akan dibuka kembali dengan proses penyidikan yang benar-benar transparan.

Kepolisian setempat semula menghentikan penyidikan dengan dalih tidak ada bekas atau tanda kekerasan seksual pada korban. Namun, saat ibu korban melakukan pemeriksaan ke psikolog dan dokter, ternyata hasil yang diperoleh berbeda, yakni adanya tanda-tanda kekerasan pada ketiga anaknya. Atas dasar perbedaan bukti inilah, kasus dugaan pencabulan tiga anak di Luwu Timur ini dinilai banyak pihak perlu dibuka kembali.

Incest Dugaan kasus pencabulan anak di Luwu Timur ini menjadi perbincangan publik karena pelakunya diduga ayah kandung korban atau yang populer disebut incest. Incest secara sederhana dapat diartikan sebagai hubungan seksual antara kerabat dekat yang ilegal secara yurisdiksi dan/atau dianggap tabu secara sosial. Incest antara orang dewasa, dan anak di bawah umur dianggap sebagai bentuk pelecehan seksual terhadap anak, dan dikategorikan sebagai tindakan sexual abuse.

Di berbagai kejadian, tindakan incest yang dila­kukan ayah kepada anak perempuannya sendiri merupakan salah satu bentuk pelecehan pada masa kanak-kanak yang paling menyengsarakan. Sering kali menjadi trauma psikologis yang serius dan berkepanjangan, terutama dalam kasus incest yang dilakukan ayah yang semestinya melindungi dan menyayangi anak kandungnya sendiri (Kluft, 1990).

Baca Juga: Pentingnya Pemimpin (Daerah) Memahami Informasi Geospasial

Berbeda dengan pelaku pedofilia, yang lebih memilih korban anak-anak di bawah umur dan bisa terjadi dengan korban perempuan dan laki-laki. Untuk kasus incest, korban cenderung lebih tua dari korban pedofil.

Dalam kasus incest dengan pelaku ayah kandung, sering kasusnya ialah si ayah mulai tertarik kepada anak perempuannya ketika si anak mulai mengalami kematangan fisik. Adapun pedofil, biasanya tertarik pada anak-anak jelas karena anak tersebut belum mencapai kematangan seksual.

Orang yang melakukan incest cenderung memiliki beberapa pola gairah pedofilia (Barsetti, et al, 1998), menunjukkan bahwa setidaknya mereka didorong oleh ketertarikan seksual kepada anak-anak meskipun mereka juga menunjukkan gairah untuk wanita dewasa.

Dalam berbagai kasus, incest umumnya lebih banyak terjadi jika dalam sebuah keluarga, yakni posisi ibu tidak ada atau cacat atau sakit menahun yang kronis sehingga ibu tidak bisa lagi melindungi anak perempuannya dari penganiayaan seksual yang dilakukan anggota keluarga.

Dari aspek psikologis, lima kondisi keluarga yang berpotensi menyebabkan terjadinya incest ialah pertama, kondisi keluarga yang dalam keadaan terjepit, yakni anak perempuan menjadi figur perem­puan utama yang mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai pengganti ibu. Kedua, kesulitan dan kelainan dorongan seksual pada orangtua, yaitu ayah tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya dengan baik karena berbagai alasan.

Selanjutnya, ketiga, ketidakmampuan ayah untuk mencari pasangan seksual di luar rumah karena kebutuhan untuk memperlihatkan keakuan dan posi­sinya dalam keluarga yang patriarki. Keempat, keta­kutan akan perpecahan keluarga yang memung­kinkan beberapa anggota keluarga untuk lebih me­milih desintegrasi struktur daripada pecah sama sekali.

Kelima, sebagai bentuk sanksi yang terse­lubung terhadap ibu, yang tidak berpartisipasi dalam tuntutan peranan seksual sebagai istri. Incest pada orang dewasa, biasanya dilakukan ketika merasa kurang puas pada salah satu pasangan, kehilangan salah satu pasangan sehingga merasa kesepian, misal­nya ayah sebagai pelaku.

Upaya penanganan Pelecehan dan tindak pemerkosaan incest pada dasarnya ialah bentuk kejahatan kesusilaan yang sangat merugikan anak perempuan. Untuk mencegah dan menangani agar kasus pelecehan seksual serta perkosaan tidak me­nimbulkan akibat yang mengenaskan bagi korban, beberapa hal yang perlu kita catat dan ditindaklanjuti.

Pertama, incest ialah sebuah peristiwa kejahatan seksual yang terjadi di ruang-ruang tertutup, di balik tembok rumah yang jauh dari amatan publik sehingga kemungkinan peristiwa ini terjadi berulang-ulang dalam kurun waktu yang lama sangat mungkin terjadi.

Untuk mencegah agar incest tidak berpeluang terjadi, salah satu strategi yang perlu dikembangkan ialah bagaimana mengembangkan peran komunitas setempat, semacam pendekatan community support system, untuk ikut berperan mengawasi keselamatan anak-anak, termasuk di wilayah privat. Peran berbagai lembaga lokal, seperti community based organiza­tion sangat strategis, terutama dalam rangka ikut mengawasi dan menyosialisasikan arti penting perlindungan anak kepada orang-orang di sekitarnya.

Kedua, mengingat bahwa pelaku perko­sa­an incest acapkali ialah justru orang dekat atau orang yang dikenal korban, bahkan ayah kandung kor­ban, maka dalam hal ini persoalan keharmonisan dan kerukunan antaranggota keluarga menjadi sangat penting.

Pada keluarga-keluarga yang marginal, broken home, dan terbiasa dengan kekerasan secara statis­tikal anak-anak perempuan yang hidup di lingkungan keluarga seperti itu, mereka umumnya lebih potensial mengalami perlakuan salah. Untuk mengeliminasi kemungkinan buruk yang tidak diinginkan, ada baiknya jika secara khusus dilakukan kampanye-kampanye, dan sosialisasi yang intens kepada mereka melalui berbagai forum di tingkat lokal.

Ketiga, mengingat salah satu faktor penyebab ter­jadinya incest ialah ketergantungan pada perempuan dan posisi laki-laki, atau ayah yang superior, maka untuk mengurangi ketergantungan dan ketidakber­dayaan perempuan, khususnya ibu, perlu dilakukan upaya pemberdayaan yang benar-benar nyata.

Perempuan perlu didorong agar lebih berdaya dan lebih berani melakukan pengawasan terhadap kese­lamatan anak-anaknya, termasuk dari kemungkinan risiko menjadi korban incest. Akhirnya, perlu dite­gaskan di sini, bahwa untuk menangani korban dan mencegah agar tindak kejahatan incest tidak makin meruyak, yang dibutuhkan sesungguhnya bukan sekadar gerakan moral, atau sekadar sikap berbelas-kasihan kepada korban yang sifatnya sangat temporer, melainkan yang benar-benar dibutuhkan di sini ialah suatu program aksi yang benar-benar nyata, yang didukung oleh berbagai komponen masyarakat dari berbagai lapisan.

Kampanye besar-besaran untuk menentang semua bentuk kekerasan seksual kepada anak perempuan dan komitmen dari pemerintah yang benar-benar nyata terhadap nasib korban perko­saan incest ialah modal awal yang dibutuhkan untuk memberikan upaya yang lebih baik—atau syukur—terbaik bagi korban. Komitmen untuk menangani tindak perkosaan incest sebatas wacana saja, niscaya tak ubahnya seperti slogan kosong yang sama sekali tidak membumi. (Bagong Suyanto Dekan FISIP Universitas Airlangga )