MASA remaja merupakan bagian utuh dalam seluruh tahapan perkembangan manusia. Masa ini terkait erat dengan masa embrio, kanak-kanak dan masa dewasa juga lansia. Maka, masa remaja bukan sebuah masa yang berdiri sendiri atau terpisah dari masa perkembangan lainnya. Masa ini, berperan signifikan bagi pembentukan persepsi, pengelolaan dorongan fisiologis, emosional juga manajemen diri agar dapat berkembang secara seimbang. Dalam dan melalui pergaulannya, para remaja belajar membangun relasi, baik dengan rekan sesama jenis maupun lawan jenis.

Seorang remaja akan mengalami bahwa secara fisik maupun mental, bertumbuh dan berkembang dengan irama yang berbeda satu sama lain. Itulah yang menjadikan remaja unik dan khas. Akan tetapi, dalam keunikannya, para remaja belum memahami penuh akan kodratnya sebagai anugerah istimewa dari Tuhan yang mesti disyukuri. Selain itu, semua kebutuhan yang menopang perkembangan, termasuk ruang pembentukan diri sering tidak berjalan beriringan. Remaja terus bertumbuh dengan ciri-cirinya yang unik dan istimewa, tetapi kebanyakan dari mereka nihil pendampingan. Mereka seolah berada dalam sebuah area tanpa kontrol sosial terutama dari orang tua dan pemerintah. Ada semacam pembiaran tanpa dipandu sebuah norma atau aturan dalam keluarga juga dari pemerintah yang menjadi kompas, baik  bagi diri pribadi maupun dalam hidup bersama. Dengan kemampuan masing-masing, remaja mencoba membangun relasi sosial, baik dengan rekan sebaya maupun orang dewasa di sekitarnya sambil menjajaki jati diri masing-masing.

Dengan latar belakang kondisi psikis yang beragam dan konstruksi pengetahuan dasar yang berbeda, mereka terus mencoba menelusuri hal-hl baru sambil belajar mengadaptasikan diri dengan kenyataan sosial yang terus berubah. Namun, di zaman globalisasi dan informasi ini, sepak terjang remaja kerap memicu kecemasan banyak pihak. Seluruh tindakan dan perilaku mereka setiap hari, tidak hanya membuat orang tua cemas, tetapi juga guru, kepala sekolah dan masyarakat umumnya. Kecemasan itu dipicu oleh banyak keluhan dan aduan masyarakat juga guru dan orang tua tentang sikap dan perilaku para remaja yang cenderung mengarah pada tindakan menyimpang. Perilaku Menyimpang Akumulasi seluruh sikap dan perilaku menyimpang, mengkristal dalam aneka masalah sosial. Paisol Burlian dalam bukunya Patologi Sosial (2016), mendefinisikan masalah sosial sebagai penyakit masyarakat yang mewujud dalam semua bentuk tingkah laku yang melanggar norma dan adat-istiadat dalam masyarakat dan semua situasi yang dianggap oleh sebagian besar warga masyarakat sebagai perbuatan yang mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya dan merugikan banyak orang.

Tingkah laku yang melanggar norma dan adat istiadat tersebut meliputi terlibat dalam pergaulan bebas, minuman keras, prositusi terselubung, pencurian dan pornografi. Para remaja mulai membangun sekat dengan anggota masyarakat di sekitarnya. Mereka perlahan mengalami penurunan kepekaan dan rasa peduli terhadap situasi sosial di sekitarnya. Mereka lebih mementingkan keinginan rekan sebaya yang cenderung negatif daripada mematuhi norma umum yang berlaku. Otonomi diri mereka bergantung sepenuhnya pada kelompok rekan sebaya. Masalah-masalah yang bermunculan di atas, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berdampak langsung pada kehidupan remaja. Pertama, keluarga. Perhatian dan kualitas interaksi, keadaan ekonomi, serta kepedulian orangtua dalam keluarga sangat berpengaruh bagi tumbuh kembang anak. Jika unsur-unsur ini kurang mendapat perhatian dari orang tua, maka para remaja akan mudah terjerumus dalam penyakit-penyakit sosial. Faktor kedua, lingkungan. Apabila seorang anak hidup dalam suatu komunitas yang tidak sehat, maka lambat laun, anak akan mudah terjerumus dalam hal-hal yang menyimpang juga. Erich Fromm (1900-1980), dalam (Duane Schultz, 1977), menyebut kondisi masyarakat yang demikian sebagai masyarakat yang sakit atau tidak sehat. Masyarakat ini ditandai dengan saling curiga dan bermusuhan, tidak ada saling percaya di antara anggota masyarakat sehingga merintangi tumbuh kembang setiap anggotanya. Selain itu, ada faktor ketiga, yaitu pendidikan.

Sumber daya manusia seorang remaja sangat ditentukan oleh pendidikannya. Kebanyakan remaja dengan latar belakang putus sekolah akan sangat mudah terjerumus dalam berbagai penyakit sosial, sebab mereka belum memiliki kematangan berpikir dan bertindak. Pendidikan akan sangat membantu seorang anak membuat pertimbangan dan bersikap kritis terhadap setiap hal yang ditawarkan rekan sebaya atau orang dewasa. Krisis Identitas Apabila seorang remaja dididik secara baik dalam keluarga, hidup dalam lingkungan yang baik dan memiliki latar belakang pendidikan yang baik, maka mereka akan mampu menyikapi semua persoalan yang mereka dihadapi dengan baik. Namun, sebaliknya, remaja juga akan mengalami apa yang oleh Erik H. Erikson (1902-1994) sebagai krisis identitas.

Baca Juga: Kurikulum Ganda

Manusia menurut Erikson (Stanislaus Nugroho, 2013), merupakan makhluk yang berwajah majemuk dan sangat rumit. Kerumitan itu, dapat kita temukan dalam tahap-tahap perkembangan­nya. Salah satu tahap yang dianggap krusial yakni periode pubertas dengan kisaran usai 12-19 tahun. Ia menegaskan bahwa periode pubertas merupakan periode yang sangat menentukan. Pada periode ini subyek akan menemukan identitasnya atau sebaliknya mengalami kekacauan identitas. Apabila pada masa ini, subyek tidak mendapat bimbingan yang tepat dan tidak menemukan teman sebaya yang baik, maka subyek akan semakin menemukan keruwetan dan pertentangan dan kemungkinan akan terjebak pada kerapuhan pribadi atau menjadi pribadi yang terpecah.

Perilaku atau tindakan menyimpang akan tampil dominan menguasai para remaja dalam menapaki tumbuh kembangnya. Sebaliknya, jika subyek mendapat bimbingan yang tepat dan menemukan teman sebaya yang baik, maka subyek akan bertumbuh menjadi pribadi yang penuh dan utuh. Bagi Erikson, pribadi tersebut akan diwarnai dengan sikap pengabdian dan kesetiaan. Para remaja akan menjadi pribadi yang kuat dan tangguh menghadapi masa-masa sulit yang penuh pergolakan di dalam hidup mereka. Apabila para remaja dibiarkan berjalan tanpa tuntunan dan panduan yang tepat, maka pada waktunya kita akan menuai generasi muda yang memiliki kepribadian yang terpecah. Mereka akan menjadi generasi yang besar kepala, tetapi minim keadaban. Mereka juga akan menjadi generasi yang tampak santun, tetapi berperilaku brutal bahkan bejat. Akhirnya, kita harus puas dengan generasi yang memiliki intelektualitas yang baik tetapi minus hati nurani dan etika. Menyelamatkan generasi muda dari perilaku menyimpang merupakan panggilan dan tuntutan bagi setiap orang tua, guru dan para pejabat publik.

Semua pihak mesti berlomba menjadi teladan dalam hidup bersama, agar daripadanyalah anak-anak kita ikut ambil bagian mengejar hal-hal yang positif dan bernilai. Keutamaan-keutamaan hidup, hendaknya terus dikejar dan diperjuangkan dalam ke­luarga, sekolah dan masyarakat. Bangun Integritas Diri Tugas dan tanggung jawab orang tau dan guru adalah mendidik dan mendampingi para remaja secara menyeluruh agar menjadi pribadi yang berintegritas tinggi. Pribadi yang memiliki konsistensi antara kata dan perbuatan.

Kita berharap, perilaku menyimpang para remaja dapat diminimalisir  melalui kegiatan-kegiatan positif dan kreatif. Kita tidak boleh kalah dengan maraknya perilaku menyimpang yang dilakukan para remaja. Kita semua mesti secara intens membangun sinergi dan kola­borasi. Dengannya, kita berharap, agar saat ini dan ke depan, para remaja terus menata integritas dirinya menuju tataran yang lebih tinggi.

Melalui perpaduan kemam­puan intelektual, kepribadian, emo­sional, sosial dan spiritual, kita berharap anak-anak semakin kreatif, inovatif dan berpribadi multidimensional. Tetaplah mendampingi, agar anak-anak kita terus mekar dalam karakter dan kepribadian. Demikian juga, memiliki ketahanan iman yang militan kepada Sang Pencipta.Oleh: Albertus Muda, S.Ag Guru Honorer SMA Negeri 2 Nubatukan-Kabupaten Lembata.