AMBON, Siwalimanews – Anggota DPR dapil Maluku, Hendrik Lewerissa mengaku kecewa, sampai saat ini tidak ada pembangunan industri perikanan di Maluku. Padahal, 30 persen le­bih suplay kebutuhan ikan nasio­nal berasal dari wilayah-wila­yah penangkapan perairan Maluku.

“Kita tahu bahwa 30 persen lebih suplay kebutuhan ikan nasional ber­asal dari wilayah-wilayah penang­kapan perairan Maluku, baik wilayah penangkapan Laut Banda, Seram maupun Arafura. Tetapi paradoks­nya tidak ada industri perikanan disana. Tidak usah yang berat-be­rat, pengalengan ikan saja tidak ada,” jelas Lewerissa dalam rapat dengar pendapat Komisi VI DPR RI bersama Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), Asosiasi Profesi Se­kuriti Indonesia (APSI), Persatuan Hotel dan Restaurant (PHRI), Aso­siasi Produsen Alat Kesehatan (AS­PAKI), Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMIN­DO), yang berlangsung di Ruang Komisi VI DPR RI, Kamis (10/9).

Lewerissa meminta jawaban forum rapat tersebut, apa yang menjadi kendala sehingga tidak dibangun industri perikanan di Maluku.

“Saya minta jawaban yang jujur dari bapak-bapak industri perikanan Indonesia. Kira-kira apa kendala­nya?, apakah membangun industri perikanan yang dibangun disana misalnya pabrik pengalengan ikan di Maluku. Apakah dari sisi perekono­mian dianggap tidak fleksibel sehi­ngga tidak dibangun disana, tolong sampaikan kepada saya, apa kenda­lanya sebagai wakil rakyat dari Ma­luku, supaya saya bisa menyam­pai­kan bagi pemda untuk menemukan solusinya jika ada kendala dan jika kendala itu sesuatu yang bisa diatasi masalahnya,” tandas Lewerissa,

Politisi Partai Gerindra ini me­negaskan, jawaban tersebut merupa­kan bentuk tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat asal Maluku.

Baca Juga: BNPB Turun Cek Dana Gempa

“Saya kira ini tanggung jawab politik saya untuk menyampaikan pertanyaan saya kepada bapak-bapak dalam forum yang terhormat ini,” ujarnya.

Selain itu, terkait dengan  kekura­ngan bahan baku, kata anggota Fraksi Gerindra ini, sangat tidak rasional.

“Saya mau kasih testimoni ke bapak-bapak, kalau musim tangkap ikan cakalang dan ikan tuna  di Per­airan Maluku, dan karena kurangnya atau terbatasnya cold storage, ikan-ikan dikubur berton-ton di pesisir pantai. Jadi kalau ada keluhan soal kekurangan bahan baku maka ini ironis juga. Apa sih yang sedang terjadi di negeri ini?, tanyanya.

Lewerissa menegaskan, Maluku tidak mungkin kekurangan bahkan baku hanya untuk satu produk industri perikanan.

“Karena memang kita ini negara maritim, garis pantai kita terpanjang di dunia, potensi perikanan kita luar biasa, apalagi potensi perikanan tangkap maupun perikanan budi­daya. Saya minta klarifikasi terkait hal tersebut,” tegasnya.

Tak hanya itu, Lewerissa juga menyoroti terkait usaha furniture dan kraft yang hingga kini masih di import. Negara ini masih sangat ter­gantung pada import, termasuk pro­duk furniture masih mendominasi produk-produk import di kantor-kantor kementerian dan lembaga.

“Usul kongkrit saya kepada pim­pinan Komisi VI, mungkin untuk mitra komisi VI baik kementerian maupun lembaga khusus untuk pengadaan furniture atau kraft atau maubiler, bisa untuk memprioritas­kan pengadaan furniture dan kraft nasional, karena memang kita harus bertahan meng­hadapi kompetisi dunia yang sangat keras, mengha­dapi kondisi pandemi dengan implikasinya yang sangat ekstrim,” jelasnya.

Jika tidak menggunakan produk nasional dan menggunakan produk asing, dimana keberpihakan kita ka­rena hanya satu instrumen kebijakan.

Ia menambahkan, produk furniture dan kraft nasional ini merupakan produk-produk UMKM. UMKM ini yang menyelamatkan bangsa.

“60 persen PDRB kita berasal dari UMKM, 97 persen serapan tenaga kerja Indonesia itu berasal dari UMKM. Masa untuk pengadaan barang furniture dan kraf kita masih gunakan IKEA dan produk-produk import lainnya. Ini kan sesuatu yang paradoks bagi kita,” tegas Lewerissa sembari menutup seluruh rangkaian pertanyaannya. (S-16)