AMBON, Siwalimanews – Perusahan Daerah (Perumda) Panca Karya di klaim telah menguasai lahan milik Swingly Lesnussa/Loland yang merupakan keluarga turunan Bangsa Loland, warga Buru Selatan sejak 2015 lalu hingga kini.

Lahan seluas 6000 hektar tersebut dikelola oleh pihak ketiga PT. Tanjung Alam Sentosa (TAS) yang bekerja sama dengan Perumda Panca Karya untuk mengelola hutan tersebut.

Sementara Panca Karya meng­kalim lahan tersebut masuk dalam Wilayah Hak Pengelolaan Hutan (HPH) mereka.

Salah satu keturunan Bangsa Loland, Swingly Lesnussa/Loland kepada Siwalima, Kamis (8/9), mengaku kalau lahan yang selama ini dikelola itu bukan milik perumda panca karya tetapi milik mereka.

“Proses penggarapan dilakukan Panca Karya dari keluarga Bangsa Loland yang bernama Wangkamerat 1, II dan l5 lainnya yang terletak air Waetina, Bagian Timur atau kurang lebih 8 km dari Dusun Kilo 7 Desa Labuang, Kecamatan Narmrole Kabupaten Buru Selatan, dengan Luas kurang lebih 6.000 hektar sejak tahun 2015,” jelasnya.

Baca Juga: DPRD Temukan Banyak Masalah di Pemda Aru

Dia juga menuturkan, pada 13 Agustus 2015 keluarga Bangsa Loland (Swingly Lesnussa) mema­sukan surat lahan ke humas Perusa­han PT. TAS di Camp Tikbari dan diterima oleh Mansur Nurlattu dan A Humamity.

Selanjutnya pada 21 September 2015, Keluarga Bangsa Loland dipanggil oleh pihak PT. TAS melalui staf keuangannya (Ulyanti) di Camp Tikbari dan diberikan memberikan kepada kami dana upacara adat sebesar Rp40 juta.

Pada 23 September 2015, kami melaksanakan upacara adat pada lahan kami untuk operasi perusahan Panca Karya,” jelasnya.

Selanjutnya pada 26 September 2015, keluarganya mendapat surat panggilan dari Camat Namrole, atas laporan dari keluarga Eli Hukunala dan Matius Behuku yang menyata­kan kalau tanah yang digarap panca karya merupakan milik mereka.

“Ternyata telah adanya dua kali pertemuan dengan Keluarga Eli Hukunala dan Matius Behuku yang mengklaim bahwa mereka keturunan Bangsa Loland. Dan kami sudah menjelaskan kepada Keluarga Eli Hukunala dan Matius Behuku termasuk dengan Camat Namrole dan hadir juga Kapolsek Namrole saat itu, bahwa kami adalah keturunan yang sah dari Bangsa Loland,” tuturnya.

Yang akhirnya, sambungnya, pertemuan tersebut berakhir tanpa adanya keputusan, namun secara diam-diam, Camat Namrole me­ngeluarkan surat yang menyatakan, bahwa lahan tersebut adalah milik Eli Hukunala dan Matius Behukku tanpa sepe­ngetahuan keluarga Bangsa Loland.

Ia juga menduga ada permainan dan dari situ tanggal 23 November 2016, pihaknya kemudian melaporkan keluarga Eli Hukunala dan Matius Behaku, Camat Namrole dan Kapolsek Namrole, kepada Bupati Buru Selatan.

“Dan yang menangani masalah kami, adalah Asisten I Bidang Pemerintahan, tapi saat dipanggil, semua yang kami laporkan tidak hadir,” ungkapnya.

Tidak puas pihaknya melaporkan keluarga Eli Hukunala, Matius Behuku, Camat Namrole Kapolsek Namrole ke DPRD Buru Selatan. Dalam pertemuan itu lanjutnya, hanya Camat Namrole yang hadir dan menyampaikan, adanya kekeliruan dan kehilafannya pada saat pertemuan sidang adat di Kantor Camat Namrole pada 3 Oktober 2015  silam.

Dengan aduan tersebut, DPRD menerbitkan surat klarifikasi terhadap surat hasil sidang adat meminta Panca Karya membayar ganti rugi seluruh hasil lahan adat yang telah digarap, Namun hingga 2017, belum juga dilakukan pembayaran. Padahal, oleh pim­pinan Panca Karya saat itu , Afras Patisahusiwa, telah meminta PT. TAS untuk lakukan pem­bayaran” tegasnya. (S-25)