AMBON, Siwalimanews – Selama dua hari Sidang mantan Walikota Ambon, Richard Louhena­pessy sejak Kamis (5/1) dan Jumat (6/1) Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadirkan saksi ahli.

Setelah sebelumnya ahli Hukum Tata Negara Unpatti, Jeffry Jemmy Pitersz, kembali KPK hadirkan saksi ahli pidana Unpatti, Jhon Dirk Pasalbessy dalam sidang lanjutan di pengadilan Tipikor Ambon dengan terdakwa RL, sapaan akrab Louhe­napessy dalam kasus dugaan ko­rupsi pembangunan gerai Alfamidi di Kota Ambon.

JPU KPK menanyakan saksi ahli terkait dengan Jo Pasal 55 KUHP dan UU tentang

Aparatur Sipil Negara dan Un­dang-Undang Tindak Pidana Ko­rupsi dan Gratifikasi.

“Saksi Kami ingin mengulangi saksi punya penjelasan kepada te­man- teman pengacara terdakwa ter­kait Jo 55 bahwa, apakah seseorang yang merupakan kepanjangan tangan dalam menerima apapun itu dalam bentuk suap atau gratifikasi berdasarkan Jo Pasal 55 bisa juga di hukum?

Baca Juga: Enam Tersangka Penyelundupan Senpi Masuk Jaksa

Saksi ahli menjelaskan, jika hal itu ada, maka perlu dibuktikan, namun ketika seperti yang JPU sampaikan, maka bisa yang bersangkutan di hukum juga bersama terdakwa.

Untuk diketahui, dalam kasus ini, KPK mendakwa RL melanggar pasal 12 huruf atau huruf b atau pasal 11 dan pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pembe­rantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sementara pada sidang Kamis (5/1) lalu KPK dalam persidangan menanyakan saksi ahli Hukum Tata Negara Unpatti, Jeffry Jemmy Pitersz terkait diskresi yang diberikan RL kepada salah satu kepala dinas di lingkup Pemerintah Kota Ambon saat dirinya masih menjabat.

“Saksi ahli saya ingin bertanya?, apakah dokumen atau kelengkapan administrasi terkait pembangunan atau apapun itu dengan anggapan dokumen tidak lengkap, namun intervensi walikota akhirnya pekerjaan tetap jalan termasuk dalam diskresi atau kah tidak?”.

Saksi ahli dalam pernyataannya menjelaskan bahwa dirinya tidak dapat memastikan namun, melihat aturan yang ada dalam Undang-undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 angka 9, dijelaskan di sana bahwa pejabat pemerintahan bisa membuat aturan dalam rangka mengatasi masalah konkrit yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerin­tahan.

Saksi Telanjangi RL

Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kembali menggelar sidang dengan terdakwa, mantan Walikota Ambon, Richrad Louhe­napessy dan Andre Hehanussa.

Sidang yang berlangsung, Jumat (9/12) siang hingga malam dipimpin majelis hakim yang diketuai Wilson Shiver dengan agenda pemeriksaan saksi.

Dalam persidangan tersebut Jaksa Komisi Pemberantasan menghadir­kan 6 saksi diantaranya 3 saksi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kota Ambon dan 3 saksi lainnya merupakan kontraktor yang pernah menanggani sejumlah proyek di Pemkot Ambon kala dipimpin RL sapaan akrab terdakwa Richard Louhenapessy.

3 saksi yang merupakan bawahan RL kala RL memerintah di Pemkot Ambon yaitu,

Kepala Dinas Perhubungan Kota Ambon Robert Sapulette, Asisten II Bidang Kesra Fahmi Salatalohy dan Kadis PUPR Kota Ambon, Melianus Latuhamalo.

Menariknya para saksi yang adalah bekas bawahan RL mene­lanjangi atasannya di persidangan dengan memberikan sejumlah uang ke kantong RL.

Kepala Dinas Perhibungan Kota Ambon, Roberth Sapulette dalam persidangan mengaku pernah memberikan uang sebesar Rp8 juta Kepada terdakwa RL setelah dicecar JPU KPK.

“Saya pernah menyerahkan uang kepada Pa Richard Sebanyak Delapan Juta rupiah dalam Bentuk Tunai di rumah dinas di Karpan pada tanggal 27 Desember 2019. Uang itu adalah insentif yang saya berikan untuk nasar, sebab saya sudah menganggap pak Richard sebagai orang tua saya dan imam bagi saya” Ungkap Robert

Namun pernyataan tersebut terbantahkan oleh tanggapan JPU sebab saat itu saksi belum menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan.

Ketika ditanya JPU berapa kali saksi memberikan uang yang merupakan insentif itu kepada Terdakwa Richard? Jawab Robert hanya sekali.

Jawaban tersebut diraguan JPU dan diduga uang tersebut diberikan kepada RL sebutan akrab Richard Louhenapessy sebagai pemulus jabatan kepala dinas pada tahun 2021 lalu, namun saksi tetap pada pernyataannya bahwa itu uang Untuk nazar.

Selain itu, Kadis PUPR Kota Ambon Melianus Latuhamallo me­ngaku, dirinya menyerahkan uang sebanyak 100 juta rupiah dalam bentuk tunai kepada terdakwa RL melaui sopirnya.

“Saya menyerahkan uang seba­nyak 100 juta rupiah hasil pemberian rekanan jontraktor masing-masing 25 juta rupiah. Saya serahkan kepada Pak Richard melalui sopirnya di rumah dinas. Uang itu dibungkus dengan plastik berwarna merah,” tutur saksi.

Selain itu, lanjut Melianus, terdapat sisa uang yang belum diserahkan oleh rekanan kontraktor berkat paket yang mereka kerjakan namun uang itu tidak lagi diminta karena mereka takut sebab saat itu terdakwa RL telah diproses oleh KPK,” ungkap Melianus.

Hakim kemudian meminta agar yang berangkutan tidak perlu menutupi semua persoalan sebab hakim yang akan menilai apakah pernyataan itu benar atau salah, bahkan hakim meminta Melianus berterus terang.

Terima 11 M

Mantan Walikota Ambon Richard Louhenapessy menjalani sidang perdana dugaan korupsi dan TPPU di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (29/9) siang lalu.

RL didakwa jaksa penuntut umum KPK menerima aliran dana mencapai Rp 11 miliar, dari aparatur sipil negara dan sejumlah pengusaha.

Sidang dengan agenda pemba­caan dakwaan oleh JPU KPK itu dipimpin hakim Nanang Zulkarnain Faisal dan digelar secara online, yang menghadirkan RL dari Gedung KPK di Jakarta.

Mantan Ketua DPRD Maluku itu didakwa atas dua kasus yaitu, pe­ner­bitan ijin prinsip gerai Alfamidi di wilayah Kota Ambon serta gratifikasi.

Selain mantan walikota dua periode Kota Ambon ini diadili, anak buahnya, Andre Erin Hehanusa, dan Perwakilan Alfamidi Cabang Ambon, Amri.

Tim JPU KPK yang diketuai Taufiq Ibnugroho membeberkan aliran dana yang mengalir ke kantong mantan Ketua DPRD Maluku itu sebesar Rp11 miliar.

JPU mengungkapkan, terdakwa RL selaku Walikota Ambon pada tahun 2011 sampai bulan Maret 2022 melakukan dan turut serta mela­kukan beberapa perbuatan yang harus dipandan sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan.

JPU menyebutkan, terdakwa menerima gratifikasi yaitu, selaku walikota secara langsung maupun tidak langsung telah menerima uang yang seluruhnya berjumlah Rp11.259.960.000 yang berhubu­ngan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Aliran dana dengan jumlah fantastis itu diketahui diterima dari beberapa ASN pada Pemkot Ambon dan para rekanan atau kontraktor.

Pada tahun 2011 sampai Maret 2022 terdakwa menerima uang langsung berjumlah Rp8.222.­250.000.

Dari ASN uang yang diterima Rp824.200.000 dengan rincian menerima dari Alfonsus Tetepta selaku Plt Direktur PDAM Kota Ambon sebesar Rp260.000.000, dari kepala Dinas PUPR Enrici Matita­puty sebesar Rp150.000.000.

Berikutnya, dari mantan Kadis Pendidikan Fahmi Sllatalohy sebesar Rp240.000.000, Kepala Badan Pengeluaran dan Aset Daerah, Roberth Silooy Rp50.200.­000,

Kepala Bidang Lalu lintas Dinas Perhubungan Kota Ambon Izack Jusac Said Rp116.000.000 dan pada bulan Desember 2018 di rumah Dinas Walikota Ambon, terdakwa menerima uang dari Kepala Dinas Perhubungan kota Ambon, Robert Sapulette Rp8.000.000.

Sementara dari rekanan Richard diketahui menerima uang sebesar Rp.7.398.050.000 dengan rincian menerima dari Pemilik PT Hoatyk, Victor Alexander Loupatty, sebesar Rp.342.500.000 yang diberikan secara bertahap.

Selanjutnya dari Direktur Utama PT Azriel Perkasa Sugeng Siswanto sebesar Rp.55.000.000, kontraktor Benny Tanihattu USD 2.500 atau Rp.34.950.000, Direktur CV Waru Mujiono Andreas Rp.50.000.000.

Kemudian dari pemilik Toko Buku NN Sieto Nini Bachry Rp.50.000.000, dari Tan Pabula Rp.85.000.000, dan Direktur CV Glen Primanugrah Thomas Souissa Rp70.000.000.

Berikutnya, Direktur CV Angin Timur Anthoni Liando Rp740.­000.000, Komisaris PT Gebe Industri Nikel Maria Chandra Pical Rp250.000.000, Kontraktor Yusac Harianto Lenggono Rp.50.000.000, Direktur Talenta Pratama Mandiri Petrus Fatlolon Rp100.000.000 dan pemilik AFIF Mandiri Rakib Soamole sebesar Rp165.000.000.

RL juga menerima uang dari Apotek Agape Mardika Rp.20.­000.000, Direktur PT Karya Lease Abadi Fahri Anwar Solikhin sebesar Rp.4.900.000.000, Yanes Thenny Rp.50.000.000 dan Novry E Warella sebesar Rp.435.600.000.

Selain penerimaan langsung terdakwa juga menerima uang sebesar Rp3.037.000.000 melalui terdakwa Andrew Erin Hehanussa dengan rincian dari ASN sebesar Rp1.466.250.000 dan rekanan sebesar Rp1.216.250.000.

“Atas penerimaan uang tersebut terdakwa tidak pernah melapor ke KPK dalam kurun 30 hari kerja sejak diterima, sebagaimana diatur dalam pasal 12C ayat (2)UU nomor 31 tahun1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebaimana telah diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga seluruh peneri­maan uang tersebut merupakan gratifikasi yang diterima terdakwa yang tidak ada alas hak yang sah menurut hukum,”pungkas JPU.

Selain gratifikasi, RL juga dijerat kasus penerimaan hadiah dari PT Midi Utama Indonesia terkait izin prinsip pembangunan sejumlah gerai di Kota Ambon. Dalam kasus ini,RL diketahui menerima uang fee sebesar Rp500.000.000.

JPU menjelaskan pada tahun 2019 PT Midi Utama Indonesia bermak­sud untuk mengembangkan usaha retail dengan membangun gerai atau toko alfamidi di kota Ambon, dimana dalam proses pembangunanya diperluka beberapa perijinan dianta­rannya ijin prinsip dari terdakwa RL selaku Walikota Ambon.

Selanjutnya Solihin selaku kuasa direksi PT MUI atas masukan Agus Toto Ganefgian selaku GM license PT MUI menunjuk terdakwa Amri untuk melakukan pengurusan perijinan dengan alasan terdakwa Amri sudah berpengalaman.

Saat itu terdakwa mengajukan biaya untuk perngurusan ijin setiap titik atau lokasi sebesar Rp.125.­000.000 yang sumber dananya berasal dari PT MUI.

JPU menyebutkan, pada Juli 2019 terdakwa Amri dan License Manager PT MUI cabang Ambon Nandang Wibowo melakukan pertemuan dengan terdakwa RL dan Terdakwa Andrew Erin di Kantor Walikota Ambon, terkait pembukaan gerai toko yang kemudian di setujui RL yang meminta terdakwa Andrew untuk mempercepat proses pener­bitan izin.

Selanjutnya terdakwa Andrew meminta terdakwa Amri dan Nandang Wibowo terkait kelancaran administrasi.

Berikutnya, pada tanggal 23 Juli 2019, PT MUI mengajukan per­mohonan izin prinsip pendirian 27 gerai, dan pada hari yang sama juga RL menerbitkan surat perihal persetujuan prinsip pembangunan gerai Alfamidi, tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Parahnya lagi pada bulan September, pihak PT MUI kembali menemui RL untuk maminta tambahan gerai. Lagi-lagi RL menerbitkan perse­tujuan prinsip pembagunan tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Setelah izin prinsip terbit, terdak­wa Amri memberikan uang secara bertahap berjumlah Rp500.000.000 kepada terdakwa RL melalui terdakwa Andrew Erin.(S-26)