AMBON, Siwalimanews – Kuasa Hukum terdakwa dugaan korupsi proyek pembangunan Puskesmas Ngaibor pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru Tahun Anggaran 2018 Hendra Anggrek yakni Philipus Harapenta Sitepu didampingi rekannya Nico Poltak Sihombing menyebutkan, dakwaan JPU, tKejari Aru, sesca Taberima tidak jelas.

Hal itu disampaikan kedua kuasa hukum itu saat mengajukan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan yang dibuat oleh JPU dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Ambon, Jumat (6/1).

Kepada wartawan usai sidang tersebut, kedua kuasa hukum ini menjelaskan, isi dakwaan JPU, sangat tidak jelas, dimana dalam dakwaan JPU menyebutkan bahwa, sebagai penyedia dalam proyek itu, tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam kontrak.

Padahal, dalam hal ini terdakwa adalah penerima kuasa dari PT Erlo untuk melaksanakan proyek tersebut, sementara bicara terkait kontrak, hal itu dilakukan antara perusahaan dengan Kepala Dinas Kesehatan Aru. Untuk itu, ini merupakan pertanggungjawaban perseroan, dan bukan perseorangan.

“Untuk itu kami menilai, bahwa jaksa tidak cermat dalam melihat peran terdakwa, kemudian terdakwa disebutkan membuat perjanjian dengan PPK dan kadis, padahal, yang membuat perjanjian adalah perusahaan, artinya hubungannya apa dengan keperdataan, bicara perdata, berarti didalamnya ada hak dan kewajiban yang tidak terlaksana oleh salah satu pihak, sehingga disebut wanprestasi, nah wanprestasi inilah yang dinilai JPU sebagai perbuatan pidana, padahal wanprestasi itu adalah perdata, tapi mau digiring JPU untuk pidana, ini dua hal yang berbeda,” jelas keduanya.

Baca Juga: Ini, Capaian Wattimena Selama Menjabat Sebagai Walikota

Jika JPU beranggapan ada mufakat jahat antar perusahaan, PPK dan kadis sehingga perkara ini hendak digiring ke pidana kata keduanya, maka JPU harus membuktikan benarkah ada mufakat jahat itu. Benar tidaknya Kadis atau PPK mendapatkan sesuatu dari pengusaha/perusahaan. Itupun  dalam dakwahnya tidak disebutkan sama sekali. Dengan demikian, maka perkara ini murni perdata, namun dipaksakan oleh JPU untuk pidana.

Terkait anggapan JPU, bahwa terdakwa ditetapkan sebagai tersangka karena proses pekerjannya yang tidak selesai dan sebagainya, JPU seharusnya memahami dan mengerti mana perseroan. Bahwa yang menandatangani kontrak adalah perusahaan. Untuk itu, jika JPU beranggapan ada pekerjaan yang tidak sesuai, maka JPU sudah harus tahu, bahwa yang bertanggung jawab adalah perusahaan.

“Apabila seseorang yang wanprestasi, siapa yang bertanggungjawab, orang yang tercantum dalam kontrak, dalam hal ini siapa, perusahaan, bukan terdakwa. Terdakwa hanya sebagai penerima kuasa dari direktur perusahaan tersebut, itu harus dipahami apa pertanggjawaban sebagai penerima kuasa dan pemberi kuasa,” tuturnya.

Untuk itu, dalam eksepsi itu, keduanya selaku kuasa hukum terdakwa, meminta agar Majelis Hakim membatalkan dakwaan JPU, karena dianggap bertentangan dengan KUHAP, lantaran JPU terkesan memaksakan terdakwa hadir dan menjalani persidangan perdana tanpa didampingi atau sepengetahuan kuasa hukum terdakwa, yang mana sidang itu berlangsung pada 20 Desember 2022 lalu.

Padahal, menurut KUHAP, pemberitahuan sidang, mestinya dilakukan sebanyak tiga kali, sehingga disebut patut dan sah secara hukum dan itu tidak dilakukan Taberima selaku JPU dalam sidang perdana itu.

“Yang terjadi justru, pemberitahuan sidang dilakukan pada hari akan dilaksanakannya persidangan itu. Ironisnya, yang bersangkutan tetap memaksakan sidang itu tetap dilaksanakan, padahal terdakwa, tidak didampingi kuasa hukum. Sementara KUHAP menjamin itu sebagai hak-hak terdakwa yang ancaman pidananya lima tahun keatas. Ini kan pelanggaran,” cetus mereka.

Selain itu, dalam dakwaan JPU juga menyebutkan, bahwa bayaran-bayaran atas proyek tersebut, diterima oleh Terdakwa, dan itu salah. Kemudian, JPU menyebutkan, bahwa persoalan ini timbul karena pekerjaannya tidak sesuai perjanjian, kalau tidak sesuai, sementara saat itu, JPU telah meminta pendapat ahli soal itu dari Politeknik Ambon, setelah disampaikan bahwa pekerjaan sudah sesuai, JPU kembali memakai ahli dari Politeknik Manado, kemudian disampaikan tidak sesuai, dan ditersangkakan berdasarkan itu.

Logikanya, jika ada 10 ahli yang berbeda pendapat, mana yang akan diikuti. Dilain sisi, itu artinya, JPU meragukan koptensi ahli dari Ambon itu.

“Selain itu, JPU menentukan kerugian negara dalam proyek itu, berdasarkan hasil audit Inspektorat, padahal yang berkewenangan itu BPK, bukan Inspektorat. Kami hanya mau sampaikan, inti dari eksepsi kami, agar hak-hak dari terdakwa itu jangan diabaikan, karena pembunuh sekalipun harus tetap diberikan hak untuk membela diri,” tegas keduanya.

Selaku kuasa hukum, keduanya juga mengapresiasi Ketua Majelis Hakim Wilson Shriver yang didampingi dua hakim anggota Agustina Lamabelawa dan Antonius Sampe Sammine, yang telah menerima permohonan mereka untuk mengajukan eksepsi tersebut.

“Setelah penyampaian eksepsi ini, agenda sidang selanjutnya pada Selasa (10/1) adalah tanggapan JPU terhadap eksepsi tersebut,” pungkas keduanya.(S-25)