Kontroversi Penetapan Kawasan Hutan Untuk Food Estate
Kebijakan Menteri KKP untuk mengeksport benih lobster yang sempat menimbulkan pro-kontra akhirnya berbuntut pada situasi yang sama-sama tidak kita inginkan, sebagai seorang rimbawan yang pernah berbakti pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), karena itu kebijakan Menteri LHK tentang penetapan kawasan hutan (KHKP) untuk food estate jangan menyederhanakan melalui penetapan KHKP pada hutan lindung yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung, memanfaatkan kayu dalam hutan lindung baik hutan alam maupun hutan tanaman hasil rehabilitasi, hati-hati, ini berimplikasi luas, dan bisa berujung pada pidana kehutanan. Dalam hal pengembangan food estate KLHK bukanlah leading sektor, tetapi suporting sistem, dan dapat diberikan dengan cara memaksimalkan regulasi yang sudah ada baik ketentuan pelepasan areal kawasan hutan untuk pembangunan non kehutanan, izin pinjam pakai kawasan, tukar-menukar kawasan hutan.
Potensi Pidana Kehutanan,
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah 03 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan sudah mengatur secara tegas penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan non kehutanan hanya dilakukan melalui pelepasan hutan produksi yang dapat dikonversikan, izin pinjam pakai kawasan, serta tukar kawasan untuk pembangunan non kehutanan yang bersifat parmenen, serta sudah mengatur tentang pemanfaatan kawasan hutan baik pada hutan produksi maupun hutan lindung. Karena itu Penetapan Kawasan Hutan bagi Ketahanan Pangan (KHKP) dalam rangka pengembangan Food Estate serta pengaturan pemanfaatan areal KHKP dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan ketentuan yang secarah hirarchi kedudukannya lebih tinggi. Batasan pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 bahwa yang dimaksud dengan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri. Apakah penetapan kawasan hutan sebagai KHKP dapat dikategorikan sebagai Izin untuk meligitamasi pemafaatan kawasan hutan dan apakah pemanfaatan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) termasuk pemanfaatan kayu pada hutan lindung seperti diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020 telah sesuai atau sebaliknya bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut diatas. Saya iktiar berpotensi masuk pidana kehutanaan, karena itu kita hindari yang tidak kita inginkan. Pertanyaannya ada apa, mengapa tidak menggunakan saja ketentuan pelepasan, izin pinjam pakai kawasan hutan serta tukar menukar kawsasan hutan yang sudah ada dan aman.
Memperburuk kondisi lingkungan hidup
Saya mengutip Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 pasal 17 ayat(2) huruf b bahwa segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, maka DAS dipakai sebagai unit pengelolaan, pasal 20 disebutkan bahwa Rehabilitasi Hutan lindung ditujukan untuk memulihkan fungsi hidrologis DAS dan meningkatkan produksi hasil Hutan bukan kayu serta jasa lingkungan. Tentu ini ditujukan terhadap DAS dengan klasifikasi yang dipulihkan daya dukungnya atau dengan kata lain DAS dengan fungsi pokoknya hutan Lindung yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung atau dalam narasi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 61 Tahun 2014 sebagai DAS dengan daya dukung buruk-sangat buruk, atau statsunya sudah sudah overshoot, jika dimanfaatakn dengan merubah fungsi pokok, ini justru lebih memperburuk kondisi lingkungan atau dengan kata lain tidak memenuhi kriteria kelayakan lingkungan.
Baca Juga: Obat Covid-19Tumpang–tindih, cannot be executed
Peraturan Menteri LHK Nomor 38 Tahun 2009 sudah mengatur bahwa jika lokasi rencana usaha/kegiatan berada pada hutan lindung, adalah wajib Amdal, bukan UKL-UPL, jika untuk budidaya tanaman perkebunan semusim/tahun dalam kawasan hutan Produksi yang dapat dikonveersikan dengan luas 2.000 ha /3.000 ha keatas kategori wajib Amdal (C), Budidaya tanaman perkebunan semusim/tahunan di pulau kecil < 100 km2 dengan luas 1,000 Ha keatas wajib Amdal (B), begitu juga dengan KLHS cepat tidak dikenal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 maupun Peraturan Menteri LHK Nomor 69 Tahun 2017, karena itu ketentuan mengenai UKL-UPL dan KLHS dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020 tumpang-tindih dengan ketentuan yang sudah ada, sehingga termasuk pengaturan yang cannot be executed. Terimah Kasih.( Ir. Hendrik Koedoeboen. MM. IPM. C.EIA. Pegiat lingkungan hidup dan kehutanan)
Tinggalkan Balasan