DOBO, Siwalimanews – Komisi II DPRD Aru menggelar rapat dengar pendapat dengan pihak Pertamina, Disperindag, SPBU dan para agen penyalur minyak.

Rapat yang berlangsung di ruang sidang utama DPRD itu terkait dengan  kelangkaan minyak tanah dan tingginya harga eceran yang terjadi di setiap kecamatan dan desa di Kabupaten Aru

Dalam rapat itu diketahui, terjadinya kelangkaan mitan bukan karena kekurangan stok di Pertamina, namun terjadi kesalahan dalam penyaluran.

Kepala Pertamina Dobo Efrain Pamuso mengaku, untuk stok mitan maupun BBM lainnya cukup, dan bagi Pertamina tidak ada namanya kelangkaan.

“Jika terjadi kelangkaan, maka itu terjadi kesalahan dalam pendistribusian atau penyaluran,” tandasnya.

Baca Juga: Diakhir Masa Jabatan, Kepala Daerah Harus Selesaikan Hutang

Sementara terkait dengan tingginya harga eceran di kecamatan maupun desa Kadis Perindag Bead Adjas mengatakan, yang namanya pangkalan mitan merupakan bagian terakhir dari penrima distribusi.

“Sebenarnya tidak ada masalah pada pangkalan, karena distribusi ada tanggungjawab pihak Pertamina dan agen,” tandasnya.

Selain itu, untuk HET sudah dibicarakan ketika pasar murah kemarin, karena penyaluran bukan tanggungjawab pemda, namun merupakan tanggungjawab Pertamina dan agen, pangkalan merupakan penerima terakhir, jadi tidak wajar kalau terjadi kenaikan harga.

Memang saat ini, Aru masih menggunakan SK tahun 2008 tentang HET, dan atas rekomendasi komisi II nantinya, kedepannya akan direvisi SK ini.

Untuk draf HET sudah disiapkan pada setiap kecamatan, sehingga terjadi permasalahan, maka itu harus ditertibkan.

Di Kecamatan Aru Tengah (Benjina) Rp5 ribu/liter dan itu sama dengan di Kecamatan Aru Utara Marlasi, sementara untuk kecamatan Aru Selatan Utara Taberfane Rp7 ribu/liter sama denga di Kecamatan Aru Tengah Selatan (Mesiang, Longgar Apara, jambu air dan sekitarnya). Sedangkan di Kecamatan Kobamar Rp6 ribu/liter.

“Dari pengakuan para pangkalan mitan, bahwa harga ini terpaksa dinaikan karena biaya transportasi dari Kota Dobo ke wilayah masing-masing mahal,” ujarnya.

Sementara untuk masalah petralite di wilayah Aru pihak SPBU mengaku,  distribusinya tidak sesuai dengan kuota BPH Migas.

Pasalnya, berdasarkan kuota BPH Migas, SPBU Compact Labodo mendapat jatah 3.167 kilo liter/tahun atau sekitar 263.9 kilo liter/bulan, namun kenyataan yang diterima hanya 150 kilo liter/bulan. Jika demikian ada sisa 1.367 kli liter sesuai kuota BPH Migas tidak tahu kemana.

“Itu artinya dalam setahun itu hanya 1.800 kilo liter,” ungkap perwakilan SPBU Compact Yeni

Sementara untuk SPBU Reguler Razyid mendapat jatah 2.383 kilo liter/tahun, semnetara kenyataanya perhari hanya 10 kilo liter.

Menyangkut dengan keluhan pihak SPBU soal jatah Pertalite, Kepala Pertamina Dobo Efrain Pamuso berkelit dnegan mengatakan, terkait dengan jatah atau kuota itu merupakan tanggungjawab Pertamina Ambon, sebab pihaknya hanya menjalankan putusan dari Ambon.

Pamuso juga mengaku, untuk stok BBM khususnya mitan cukup. Sedangkan pertalite dan biosolar subsidi, jika dibilang langka atau krisis, bagi Pertamina stoknya aman, hanya kuota subsidi dihitung berdasarkan jumlah penduduk, sehingga seharusnya lebih dari cukup.

“Walaupun demikian, harus juga kita lihat agar tidak terjadi penumpukan pada satu orang atau kelompok atau wilayah,” tandasnya. (S-11)