AMBON, Siwalimanews – Herman Koedoeboen Ketua Tim Kuasa Hukum Ferry Tanaya menyebut pihak kejaksaan terlalu cepat bersikap tanpa membaca putusan hakim praperadilan Pengadilan Negeri Ambon

Hal itu dikatakan menyusul per­nyataan jaksa akan menyelidiki kembali kasus dugaan korupsi pro­yek pembelian lahan pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) di Namlea.

“Praperadilan ini untuk kontrol horizontal biasa. Tidak ada urusan kalah dan menang,” ujar Koedoe­boen, kepada wartawan di Ambon Sabtu (26/9).

Ia mengatakan, perkara prapera­dilan adalah mekanisme hukum bia­sa. Koedoeboen enggan menggu­na­kan paradigma menang dan kalah. Alasannya, penggunaan istilah ter­sebut akan melahirkan suatu kondisi psikologis emosional. Serta tidak bagus untuk penegakan hukum.

“Dan kalau kita emosi menanggapi putusan semacam ini, itu akan melahirkan subjektifitas, dan kembali melahirkan subjektifitas baru,” katanya.

Baca Juga: Eks Kacabjari Saparua Dilaporkan Terima Suap Kasus DD Porto

Dikatakan, dalam praperadilan yang ada permintaan pemohon dikabulkan majelis hakim. Prinsipnya sebut Koedoeboen, suatu keputu­san mengandung tiga sifat. Sifat tersebut yakni putusan bersifat deklarator, putusan  konstitutif, dan putusan kondemnator.

“Sehingga, penegak hukum me­maknai suatu putusan harus betul-betul cermat,” ujarnya.

Dia menjelaskan, putusan dekla­ra­tor adalah penetapan tentang sesuatu hak atau titel maupun status. Sedangkan, putusan konstitutif adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru.

“Penetapan status itu misalnya saya menyebutkan penetapan tersangka tidak sah. Tapi jangan lupa, putusan itu memastikan suatu keadaan hukum. Jadi kalau ada tanggapan putusan ini kan administratif karena berkaitan dengan penetapan tersangka dan bukti yang tidak sah, jadi bisa diulang itu tidak bisa,” katanya.

Dia melanjutkan, hal itu bisa dilihat dalam amar putuan majelis hakim. Dalam putusannya, hakim menyebutkan telah memastikan suatu keadaan hukum dari tersangka adalah tidak sahnya penetapannya terhadap tersangka berdasarkan pasal 2 dan pasal 3 UU Korupsi

“Jadi tidak bisa diubah, tidak mudah setiap putusan. Kalau mau lagi, silakan aja,” katanya.

Disebutkan, fakta hukum adalah buku sempurna. Dalam persidangan, faktanya kepemilikan tanah tidak didasarkan dokumen, namun hanya berdasarkan pendapat ahli. Padahal, ahli tidak bisa berbicara tentang fakta tapi tentang keahliannya terhadap suatu hal.

“Bagaimana dia bisa menggunakan itu untuk mengatakan ini bukan milik Tanaya?. Makanya dalam sidang, saya tanyakan dokumen apa yang digunakan, dan apa ada buku aset?. Kalau tidak ada bagaimana anda bisa mengatakan itu milik negara,” katanya.

Dikatakan, sudah jelas dalam undang-undang hanya ada satu bukti otentik yakni buku aset. Menurutnya, wajar hakim praperadilan mempertimbangkan bahwa terdapat pertentangan sikap antara tugas preventif dan represif.

“Nilai hukum ini tetap mengikuti. Jadi kita harus membedakan putusan-putusan dengan sikap semacam ini. Kalaupun terus-menerus diperdebatkan di publik, saya juga akan terus suarakan. Tapi saya tidak mau emosi,” tuturnya.

Surati Presiden

Sementara itu pengusaha Ferry Tanaya akan  mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Surat itu menyatakan tidak akan melepaskan lahannya yang lain lagi untuk keperluan  pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) di Namlea Kabupaten Buru.

Proyek PLTG merupakan proyek strategis nasional, namun demikian karena Tanaya selaku pemilik lahan  dipersulit penegak hukum, yang bersangkutan tidak akan melepaskan lahannya yang lain untuk kepentingan PLTG Namlea.

“Saya tidak akan  melepaskan lagi bidang tanah, kurang lebih enam titik untuk pembangunan PLTG, karena merasa diperlakukan tidak adil,” kata Ferry Tanaya membacakan suratnya dalam konferensi pers, Sabtu (26/9).

Dikatakan, maksud tidak adil itu karena dirinya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pembelian lahan pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) di Namlea.

Tanaya mengatakan tidak bermaksud menghambat pembangunan. Hanya saja dia merasa tidak adil diperlakukan oleh jaksa, padahal telah memberikan tanahnya. Meski demikian, Tanaya menegaskan akan melepaskan tanah apabila Presiden memberikan kepastian perlindungan hukum. Permintaan itu untuk meminta perlindungan hukum untuk haknya sebagai pemilik tanah.

“Saya tidak bermaksud menghambat, dari apa yang sudah saya alami dari kejaksaan menetapkan sebagai tersangka, maka ada kepastian perlindungan hukum dari presiden baru saya lepaskan tanah saya,” ujarnya.

Tanaya tak lupa juga menyampaikan permohonan maafnya kepada masyarakat di Pulau Buru, Namlea. Pasalnpya, sikapnya ini akan menghambat pembangunan untuk bertambahnya pasokan listrik.

“Saya minta maaf, sikap saya ini dapat mengganggu pembangunan yang sebenarnya dibutuhkan mas­-yarakat disana,” tuturnya. (Cr-1)