AMBON, Siwalimanews – Sobo Makatita saat menjabat Kepala SMP  Negeri 8 Leihitu, me­nge­lola sen­diri dana bantuan operasional sekolah (BOS) tanpa melibat­kan guru.

Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan ka­sus korupsi dana BOS tahun 2015-2017 di Pengadilan Negeri Ambon, Rabu (25/11).

Muslimin, salah sa­tu guru yang bertugas sejak tahun 2000 di SMP 8 Leihitu,  meng­a­kui ada kegiatan pembangunan di se­ko­lahnya. Namun, dia tidak tahu dari mana sumber dana tersebut.

Kata dia, guru yang lainnya juga tidak tahu. Bahkan, tim mana­jemen dana BOS tidak ada.

Muslimin mengakui, ada pembangunan lab, perpus­takaan, dan perbaikan ruang kelas. Tapi, dia tidak pernah melihat pe­ngadaan mobiler.

Baca Juga: Kasus Lahan PLTG, Tanaya Kembali Datangi Kejati Maluku

“Proses belajar mengajar saja melantai. Pembangunan laborato­rium pun tidak ada pengadaan peralatan, semuanya sama. Cuma ada bangunan fisik saja,” katanya.

Muslimin menyebut,  adanya kegiatan try out yang tertera dalam laporan penggunaan anggaran, itu bohong. SMP 8 Leihitu bahkan pernah melakukan kegiatan itu. Ter­masuk, laporan penggunaan gula pasir sebanyak 20 kilogram, setiap bulannya.

“Kompor saja tidak ada di se­kolah. Makanan juga tidak setiap hari ada. Laporan pertanggung­ja­waban itu tidak benar,” tandasnya.

Muslimin juga mengatakan, tidak ada pemberian bantuan ke siswa miskin. Komite sekolah pun baru dibentuk ketika ada desakan dari orang tua.

Selain itu, Muslimin mengaku tidak pernah menerima insentif dari kerjanya. Dia hanya mengharap­kan gaji dari pemerintah. Baginya, guru sudah disumpah untuk mengajar, mereka pun sudah digaji, sehingga tidak begitu mengharapkan insentif.

Maryam Makatita, guru yang juga pernah menjadi Wakil Kepala SMP 8 Leihutu mengatakan hal yang sama. Dia mengaku, tidak tahu menahu soal keuangan.

“Seingat saya pernah ada rapat dengan guru, dia bilang guru tidak punya hak untuk mengetahui ke­uangan, guru hanya tahu menga­jar. Jadi, kami tidak tahu ini ang­garan apa saja. Para guru semua hadir. Saat itu rapat penentuan nilai,” katanya.

Maryam juga mengatakan, tidak ada pembagian uang kepada siswa miskin. Mereka juga tidak mendapat insentif sama sekali. dia mengaku baru mengetahui insentif wajib diberikan setelah diperiksa penyidik.

“Memang ada bantuan untuk siswa tapi kita tidak tahu bantuan­nya diberikan atau tidak. Penyu­sunan soal, pembuatan nilai tidak dapat insentif,” ujarnya.

Guru lainnya yang pernah men­jadi wali kelas, Dista Devi Ang­graini, bahkan mengaku pernah melakukan aktivitas belajar meng­ajar selama setahun dengan me­lantai. Padahal, di sekolah sering ada rehab ruang kelas.

Anggraini juga mengaku tidak mendapat insentif. Berbeda, Artina Malawat mengaku mendapat in­sentif saat menyusun soal bahasa Inggris dan melakukan kegiatan hubungan masyarakat.

“Saya pernah dapat 100 ribu saat susun soal, dan juga 300 ribu saat ada kegiatan,” ujarnya.

Indrawati Pelu, yang juga adalah guru di sekolah itu tidak tahu sama sekali soal dana apapun. Bahkan, bendahara sekolah pun tidak tahu.

Sebelumnya, kejahatan mantan Kepala SMP Negeri 8 Leihitu, Sobo Makatita (59) dibeberkan Jaksa Penuntut Umum Ruslan Marasa­bessy, dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Rabu (18/11).

Sidang dilakukan secara online melalui sarana video conference, terdakwa berada di Rutan Kelas II A Ambon, majelis hakim, jaksa pe­nuntut umum dan penasehat hu­kum terdakwa bersidang di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon.

Majelis hakim diketuai Ahmad Hukayat. Sedangkan penasehat hukum terdakwa  adalah Akbar Salampessy.

JPU menyatakan, terdakwa tidak hanya melakukan korupsi terha­dap dana BOS, tetapi juga me­ngelola sendiri anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) bantuan sosial hingga bantuan siswa miskin.

Terdakwa telah memperkaya diri sendiri dengan dana-dana itu senilai Rp. 926.018.574.

Menurut JPU, terdakwa melaku­kan pembelanjaan hingga penge­luaran keuangan sendiri tanpa melibatkan komite sekolah dan panitia pembangunan sekolah.

Terdakwa secara sengaja me­ma­sukan kegiatan-kegiatan se­suai rab. Kegiatan tersebut ada yang benar dilaksanakan namun terdakwa tidak membayar. Ada juga item kegiatan yang pembelan­jaanya tidak ada sama sekali. Selain itu, ada beberapa item yang anggarannya sengaja dilebihkan alias mark up.

Namun terdakwa membuat kwitansi dan nota belanja seolah-olah kegiatan tersebut dilaksana­kan dan dibayar sesuai kegiatan, dan jumlah biaya yang tercantum di dalam RAB. Terdakwa membuat laporan dengan lampiran bukti pengeluaran yang tidak sah dan lengkap.

Dalam kurung waktu 2013 hing­ga 2014, SMP Negeri 8 Leihitu me­nerima dana DAK untuk rehabilitasi tiga kelas sebesar Rp. 365,5 juta, dana untuk pembangunan perpus­takaan sebesar Rp. 227 juta, serta rehab tiga kelas sedang senilai Rp 189 juta. Sementara uang dana BOS yang diterima dari tahun 2015 hi­ngga 2017 berturut-turut senilai Rp. 198 juta, Rp. 200 juta, dan Rp. 179,4 juta.

Dalam dana BOS itu, ada sejum­lah kegiatan fiktif yang dilakukan dengan selisih hingga Rp. 275 juta selama tiga tahun itu.

Sedangkan, SMPN 8 Leihitu juga menerima dana untuk sejumlah siswa miskin selama tiga tahun ber­turut-turut, sebesar Rp 86,65 juta untuk 163 siswa. Uang itu diper­untukkan untuk pembelian buku, seragam hingga peralatan lainnya bahkan sumber untuk seragam dan buku berasal dari orang tua se­besar Rp. 250 ribu.  SMP 8 Negeri Leihitu juga menerima dana bansos senilai Rp. 242.681.113. Makatita telah menyalahgunakan kewenangannya hingga meng­akibat­kan muncul kerugian negara. (S-49)