AMBON, Siwalimanews – Kejahatan Faradiba Yusuf, tersangka kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang di BNI Ambon kembali diungkapkan, dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Selasa (28/4).

Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Attamimi menghadirkan Wakil Pimpinan Pemasaran dan Bisnis BNI Cabang Ambon, Noly Stevi Sahumena

Saksi dalam persidangan yang dipimpin majelis hakim yang diketuai, Pasti Tarigan, didampingi Berhard Panjaitan dan Jefry S Sinaga selaku hakim anggota mengungkapkan, dari investigasi internal ditemukan adanya sejumlah transaksi dan investasi tidak wajar yang dilakukan, Wakil Kepala BNI Cabang Ambon, Faradiba Yusuf.

Investigasi internal ini, kata Sahumena, menyimpulkan adanya kejanggalan transaksi transfer dana yang tidak disertai oleh dana riil.

Transfer ini, lanjutnya, diduga dilakukan atas perintah Faradiba Yusug dengan nilai transaksi transfer tanpa dana riil ini mencapai Rp 58,95 miliar, dan dicatat sebagai kerugian yang berpotensi dialami BNI.

Baca Juga: Jaksa Terus Koordinasi BPKP Percepat Audit Repo Saham

Bahkan, jumlah uang tersebut, lanjutnya,  tidak termasuk dana nasabah yang digelapkan

Ia mengaku, awalnya kasus ini dilaporkan sebagai perkara tindak pidana di bidang perbankan dan pencegahan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

“Saya laporkan itu FY melakukan transaksi tanpa uang fisik, juga pemalsuan dokumen dan berkas-berkas di bank,” katanya.

Ia mengatakan, FY sebut akrab untuk terdakwa Faradiba Yusuf, yang memerintahkan tiga kepala cabang Bank BNI yakni, cabang pembantu Tual, Dobo, Masohi untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening tertentu.

“KCP tidak boleh mengeluarkan uang tanpa perintah FY. Namun KCP berhak menolak apabila tidak sesuai SOP,” ujarnya.

Untuk diketahui, KCP adalah wewenang FY. Sedangkan Cabang Mardika adalah wewenang saksi yang saat itu juga pimpinan bidang pemasaran bersama FY.

Soal modus terdakwa kepada nasabah dengan investasi dalam bentuk cashback, saksi mengakui, program tersebut ada di BNI Ambon.

“Program itu untuk  ditawarkan ke beberapa orang nasabah yang dianggap sebagai nasabah BNI prioritas,” ujarnya.

Kata saksi, program itu adalah penempatan dana pada produk tabungan dan deposito di BNI dengan menjanjikan pemberian imbal hasil dan bonus, hingga per bulan dari nominal penempatan dana. Penempatan dana itu dengan melakukan penyetoran uang hanya sekali.

“Nasabah harus datang langsung ke bank membawa KTP dan persyaratan lainnya. Setelah itu mereka mengisi formulir. Kemudian uang dimasukkan ke rekening atas nama nasabah,” jelasnya.

Nasabah prioritas yang dimaksud, lanjut saksi, adalah nasabah yang memiliki simpanan di BNI kurang lebih 500 juta. Sejauh ini, nasabah prioritas BNI berjumlah 200 orang.

Saksi tidak membenarkan program itu bisa ditawarkan oleh terdakwa Soraya Pelu kepada nasabah. Soraya bukan pegawai BNI.

“Tidak bisa diwakili. Harusnya dilakukan di bank untuk transaksinya,” ujarnya.

Ia membantah, dalam program cashback itu terdapat target yang harus dipenuhi. Program cashback itu bukan program BNI Pusat. “Tidak ada izinnya,” ujarnya.

Sedangkan soal investasi pada perdagangan hasil bumi (cengkeh) dengan persentase keuntungan tertentu, tidak termasuk program BNI Ambon. Program itu ditawarkan FY seolah-olah adalah produk resmi dari PT. BNI.

“BNI tidak pernah mengeluarkan program tersebut,” katanya.

Persidangan tersebut digelar secara online melalui sarana video conference. Majelis hakim dan enam penasehat hukum para terdakwa bersidang di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon. Begitu juga Penuntut Umum dalam kasus ini.

Sedangkan, terdakwa Faradiba Yusuf dan  terdakwa Soraya Pelu alias Aya berada di Lapas Perempuan. Terdakwa lainnya, Marce Muskita alias Ace selaku pemimpin BNI Cabang Pembantu Masohi, terdakwa Krestiantus Rumahlewang alias Kres selaku pengganti sementara pemimpin Kantor Cabang Pembantu Tual, terdakwa Joseph Resley Maitimu alias Ocep selaku pemimpin Kantor Cabang Pembantu Kepulauan Aru, terdakwa Andi Yahrizal Yahya alias Callu selaku Pemimpin BNI Kantor Kas Mardika berada di Rutan Kelas II A Ambon.

Penasehat hukum enam terdakwa itu masing-masing, Faradiba didampingi Jonathan  Kainama, Rumahlewang didampingi Firel Sahetappy, dan terdakwa Marce Muskitta didampingi Kelson Haurissa.

Sidang yang berlangsung kurang lebih 4 jam ini, ditunda majeli hakim Kamis (30/4) dengan agenda pemeriksaan saksi.

Awalnya akan dilakukan pemeriksaan terhadap lima saksi. Namun karena pertimbangan waktu, pemeriksaan empat saksi lainnya yang merupakan nasabah yang menjadi korban Faradiba Cs ditunda.

Kejahatan Faradiba Cs

Jaksa Penuntut Umum Ahmad Attamimi membeberkan peran Faradiba Cs dalam membobol uang nasabah di BNI Ambon.

Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum Ahmad Attamimi membeberkan peran Faradiba Yusuf. Pembobolan dana nasabah yang dilakukan Faradiba ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2012. Namun baru pada 9 September hingga 4 Oktober 2019 kejahatan yang dia lakukan terendus.

JPU menyebut, Faradiba menerapkan modus mencari nasabah berduit. Faradiba secara aktif telah menawarkan ke beberapa orang nasabah yang dianggap sebagai nasabah BNI prioritas. Ia menawarkan investasi dalam bentuk program cashback, yaitu penempatan dana pada produk tabungan dan deposito di BNI dengan menjanjikan pemberian imbal hasil dan bonus hingga mencapai 20% per bulan dari nominal penempatan dana.

Faradiba juga menawarkan investasi pada perdagangan hasil bumi (cengkeh) dengan persentase keuntungan tertentu yang ia janjikan. Program tersebut seolah-olah adalah produk resmi dari PT. BNI. Padahal BNI tidak pernah mengeluarkan program tersebut. Melainkan hanya program yang dibuat-buat untuk kepentingan pribadi Faradiba.

Namun karena Faradiba saat itu adalah salah satu pejabat di PT BNI, beberapa orang tertarik dan percaya dengannya. Terhitung sepanjang 2012 hingga 2015, sebanyak 37 orang menjadi nasabah Faradiba.

Pada 2012, Faradiba juga menjaring lima orang untuk melakukan investasi. Pada tahun tersebut, ia menggelapkan uang nasabah sebesar Rp. 7,310 miliar.

Kemudian pada 2013 hingga 2015, setidaknya 32 orang menginvestasikan uang kepada Faradiba berturut-turut sebesar Rp. 50,750 miliar, Rp 28,560 miliar, dan Rp. 28,650 miliar.

Selain itu, Faradiba juga melibatkan tiga kepala cabang BNI. Ia melakukan setoran uang tanpa disertai dengan fisik (fiktif) pada PT. BNI KCP Tual,  PT BNI KCP Masohi, dan PT. BNI KCP Aru.

Dalam rentang waktu 27 September 2019 hingga 1 Oktober 2019, BNI KCP Tual menyetor uang senilai Rp. 19,8 miliar. Uang itu ditransfer ke rekening terdakwa Soraya Pelu dan Jonny De Quelju sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi RTGS ke BCA.

Kemudian pada 9 September 2019 hingga 4 Oktober 2019, dari BNI KCP Masohi mentransfer uang senilai Rp. 9,5 miliar  ke rekening terdakwa Soraya Pelu sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi pembayaran hasil bumi.

Transaksi juga terjadi di BNI KCP Aru sebanyak 19 kali pada pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 sebesar Rp. 29,65 miliar.

Uang itu dikirim dari M. Alief Fiqry sebanyak 5 kali, Abd Karim Gazali sebanyak 5 kali, Jonny De Quelju 3 kali, Soraya Pelu 3 kali, dan Aryani sebanyak 3 kali. Keterangan transaksi tersebut untuk pembayaran kapal, pembelian hasil laut, pembayaran ruko, pembayaran tanah, dan pembelian barang toko.

Hal tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 58,950 miliar, sebagaimana tertuang dalam audit BPK tanggal 11 Februari 2020. Diketahui, Faradiba menggunakan uang senilai Rp. 45, 326 miliar untuk memperkaya dirinya sendiri.

Para terdakwa diancam Pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Juga pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1). KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Keenam terdakwa juga dikenakan subsider sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam pasal 3 jo pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Juga pasal 5 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Perbuatan para terdakwa juga diancam Pidana dalam Pasal 9 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. (Mg-2)