Kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur belakangan ini marak terjadi di Kota Ambon.

Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Masyarakat Desa (DP3AMD) Kota Ambon mencatat, kasus kekerasan anak di Kota Ambon selama tahun 2021 didominasi kasus kejahatan seksual.

Total kasus kekerasan anak di Ambon sepanjang tahun 2021 ada 88 kasus yang didominasi oleh kasus kejahatan seksual, dengan kasus yang menonjol yakni setubuh anak 34 kasus.

Kasus kekerasan terhadap anak di Ambon meliputi setubuh anak, cabul, KTA, penelantaran anak, kekerasan bersama, TPPO, Bully, ekspoitasi anak, perebutan hak asuh anak, anak tidak mampu dan pornografi.

Kasus setubuh anak 34 kasus, kekerasan terhadap anak 21, cabul 11, perebutan hak asuh anak tujuh kasus, penelantaran anak dan kekerasan bersama masing-masing lima kasus.

Baca Juga: Solusi Atasi Kemacetan Lalu Lintas

Dari lima kecamatan di Ambon kasus kekerasan anak menonjol terjadi di kecamatan Sirimau 80 kasus, kecamatan Nusaniwe 36 kasus, Teluk Ambon 14 dan Baguala 12 kasus.

Sementara dari sisi jenis kelamin didominasi anak perempuan sebanyak 68 orang dan laki-laki 32. anak dan KTAM

Kasus lainnya yakni setubuh anak sembilan kasus, TPPO tujuh, penelantaran anak enam,b ITE dua dan anak hilang satu kasus. Sedangkan data dari Provinsi Maluku tercatat di tahun 2021 jumlah kasus kekerasan fisik dan seksual terhadap anak tercatat sebanyak 170 kasus.

Jumlah ini menyebar di 8 Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku dengan penyumbang terbesar yakni Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat. Disusul kabupaten lainnya seperti Kabupaten Buru, Buru Selatan, Seram Bagian Timur, Maluku Barat Daya dan Kabupaten Kepulauan Aru.

Sementara itu, kasus kekerasan fisik dan seksual di tahun 2022 kembali mengalami peningkatan. Sejak Januari hingga Mei 2022 tercatat sebanyak 86 kasus.

Kendati tren kekerasan terhadap anak terutama kekerasaan seksual mengalami peningkatan, sangat dibutuhkan upaya-upaya strategis dalam penanganan tindak kekerasan secara terpadu. Mirisnya kasus kekerasaan seksual yang terjadi terhadap anak rata-rata adalah orang yang dekat dengan korban, apakah itu ayah kandung, ayah tiri, paman, keponakan, tetangga dan sebagainya.

Kondisi ini bisa saja menimbulkan, persepsi bahwa rumah yang dijadikan sebagai tempat nyaman untuk berlindung,  justru sangat berbahaya bagi anak-anak perempuan karena ruang terjadinya tindakan seksual itu terbuka, dan pola pengawasan minim.

Hal inilah yang patut diwaspadai, karena rumah tempat kediaman harus memberikan rasa nyaman dan perlindungan yang utuh terhadap anak-anak.

Guna mengatasi hal ini maka langkah yang paling penting untuk dilakukan yaitu, perlu ditingkatkan pengawasan dalam rumah. Keluarga harus menjadi fondasi kuat bagi anak berlindung.

Pemerintah  juga memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan sosialisasi sampai ke desa-desa tentang stop kekerasaan terhadap anak. Perbanyak program-program yang ditujukan kepada anak dan cara menjaga diri.

Sedapat mungkin kasus kekeresaan seksual terhadap anak tidak boleh diselesaikan secara kekeluargaan, karena hal itu tidak memberikan efek jera bagi para pelaku tindak kekerasaan.

Diharapkan juga aparat penegak hukum memberikan hukuman yang tinggi bagi para pelaku seksual terhadap anak. Hukuman ringan justru tidak memberikan efek jera tetapi makin muncul kasus-kasus yang sama. Intinya anak wajib mendapatkan perlindungan baik dari negara tetapi yang paling penting dalam keluarga, sehingga anak merasa nyaman dan bukan ancaman. (*)