AMBON, Siwalimanews – Kasus dugaan korupsi pembelian lahan untuk pembangunan Pemba­ng­kit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTG)  Tahun 2016 di Namlea, Ka­bu­paten Buru mendapat sorotan dari Kantor Staf Presiden.

Melalui Deputi Monitoring dan Pengendalian Program Proyek-pro­yek Strategis Nasional KSP, kasus Ferry Tanaya ini dibahas lantaran proyek pembangunan PLTG Namlea termasuk salah satu proyek strategis nasional.

Kepada Siwalima, Selasa (15/3), Penasehat Hukum Ferry Tanaya Herman Koedoeboen mengaku, pihaknya diundang ke KSP guna mengklarifikasi duduk persoalan dari aspek hukum kliennya.

“Jadi dari KSP undang klien saya, PLN, ada juga masyarakat Buru termasuk tokoh-tokoh adat untuk mengklarifikasi proyek PLTG yang mangkrak,” kata Kodeoeboen.

Dijelaskan,  tidak hanya kliennya yang klarifikasi ke KSP tapi ada juga pihak PLN dan masyarakat Buru. “Jadi kita klarifikasi dari pihak PLN juga hadir, masyarakat Buru hadir termasuk pihak Ferry Tanaya yang diwakilkan kuasa hukum,” beber Kodeoboen.

Baca Juga: Polisi Rampungkan Berkas Anggota DPRD Maluku Terlibat Narkoba

Dikatakan, masyarakat hadir di KSP karena masyarakat punya tuntutan kenapa proyek tidak jalan, sementara mereka butuh listrik.

“Kita menjelaskan, PLN menjelaskan penyebab proyek mangkrak dan proyek itu baru jalan 40 persen,” tandasnya.

Disebutkan, dalam pertemuan itu PLN menjelaskan alasan proyek mangkrak antara lain, pihak PLN sendiri banyak pekerjaan, kemudian permasalahan menyangkut lahan yang berkaitan dengan Ferry Tanaya.

“Kaitan dengan itu, saya selaku kuasa hukum diminta pandangan. Nah, untuk mengetahui kenapa sampai persoalan ini ada dan berdampak pada pelaksanaan proyek, akhirnya kita jelaskan aspek hukum dari sisi kita. Nanti pertemuan lanjutan KSP akan mengundang pihak Kejati Maluku, Kontraktor, BPKP, PLN untuk klarifikasi kaitan dengan proyek mangkrak itu,” katanya.

Dirinya menjelaskan dari aspek hukum mengapa Tanaya dipersangkakan, itu karena argumen Kejati tanah yang diatasnya berdiri proyek PLTG merupakan tanah negara,” urai Koedoeboen.

Koedoeboen juga menambahkan kalau pihaknya sudah masukan semua bukti-bukti dan argumen ke KSP.

“Kemungkinan KSP akan undang lagi BPN dan juga Komisi Kejaksaan,” pungkas Kodeoeboen.

Tersangka Dua Kali

Kejaksaan Tinggi Maluku, kembali menetapkan pengusaha Ferry Tanaya sebagai tersangka, dalam kasus awal yang disangkakan kepadanya.

Tanaya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Maluku dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan PLTG Tahun 2016 di Namlea, Kabupaten Buru.

Tanaya ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Januari 2021, setelah dilakukan gelar perkara, Kejati menerbitkan surat penetapan nomor B-212/Q.1/Fd.2/01/2021.

Untuk kedua kalinya, Tanaya ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga korps Adhyaksa itu. Sebelumnya pada bulan Juni 2020 dan pada tanggal 31 Agustus 2020 dia ditahan.

Menolak penetapan dan penahanan tersebut, Tanaya melalui tim kuasa hukumnya, Hendri Lusikooy dan Herman Koedoeboen mengajukan praperadilan di PN Ambon pada 10 September 2020.

Langkah praperadilan Tanaya berhasil, Hakim tunggal Rahmat Selang pada 24 September 2020 membatalkan surat perintah penyidi­kan Kejati Maluku nomor Print-01/S.1/FD.1/04/2019 tertanggal 30 April 2019.

Sehari setelah putusan tersebut, Kejati Maluku kemudian menerbitkan lagi Sprindik baru pada 25 September 2020, sekaligus melayangkan Surat Pemberitahuan Penyidikan kepada Tanaya.

Untuk membuktikan tindak pidana korupsi yang dilakukan Tanaya, Kejati Maluku meminta ulang, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Maluku melakukan audit. Audit yang pertama pada 17 Maret 2020 Rp 6 miliar, dan hasil audit kedua dikeluarkan BPKP pada bulan Desember 2020 juga kerugian negara Rp 6 miliar.

Kejati kemudian melakukan gelar perkara dan ekspos setelah memenuhi cukup bukti yang kuat, alhasilnya Tanaya kembali ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Januari 2020.

Informasi penetapan tersangka tersebut disampaikan oleh Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette dalam rilisnya kepada Siwalima, Selasa (2/2).

Selain Tanaya, tim Kejati Maluku juga menetapkan kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Buru, Abdul Gafur Laitupa sebagai tersangka.

Kejati menerbitkan surat penetapan tersangka dengan nomor B-212/Q.1/Fd.2/01/2021 kepada Feri Tanaya dan nomor  B-213/Q.1/Fd.2/01/2021 kepada Abdul Gafur Laitupa.

“Dari serangkaian tindakan penyidikan, diperoleh bukti permulaan yang cukup dan setelah dilakukan ekspos atau gelar perkara pada 27 Januari, kita terbitkan surat penetapan tersangka untuk FT dan AGL,” ujar Sapulette.

Untuk diketahui, Lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa itu adalah milik Ferry, dan dibeli oleh PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Diduga ada kongkalikong  antara Ferry, PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan pi­hak BPN Kabupaten Buru dalam transaksi pembayaran.

Sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2, namun mereka main mata untuk melakukan mark up, sehingga merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar. (S-32)