AMBON, Siwalimanews – Kejari Malteng menerapkan stan­dar ganda dalam penanganan ka­sus illegal logging di Dusun Solea, Negeri Wahai, Kecamatan Seram Utara.

Lima orang diseret ke pengadilan. Kepala Dinas Kehutanan Maluku, Sadli Ie harusnya juga dijerat.

“Aneh, hanya lima orang yang ditetapkan sebagai tersangka bah­kan sudah menjalani proses hukum, namun Kadishut tidak tersentuh. Mestinya Kadishut juga dijerat,” tandas Akademisi Fakultas Hukum Unidar, Rauf Pelu, kepada Siwa­lima, Minggu (17/5).

Pelu mengatakan, hukum jangan hanya tajam ke bawah, sedangkan tumpul ke atas. “Semua orang itu sama di mata hukum, jangan ada diskriminasi dong,” tegasnya.

Mestinya, kata Pelu, jaksa me­nunjukan profesionalitas dalam menangani kasus illegal logging. “Jangan-jangan karena dia itu pejabat sehingga dia tidak dijerat,” ujarnya.

Baca Juga: LSM: Jaksa Jangan Lindungi Kadis Kehutanan Maluku

Hal yang sama ditegaskan Praktisi Hukum, Noke Pattiselano. Ia me­minta jaksa menjerat Kepala Dinas Kehutanan Maluku.  “Ada apa sam­pai Kadishut tidak dijerat,” tanya­nya.

Ia meminta jaksa transparan dan tidak menutupi keterli­batan Kepala Dinas Kehutanan Maluku.

Klaim Maksimal

Kepala Kejari Malteng Juli Isnur mengklaim, penyidiknya bekerja sangat maksimal dalam mengusut kasus illegal logging di Dusun Solea, Negeri Amahai, Kecamatan Seram Utara.

Selain maksimal, Isnur menegas­kan, pihaknya juga sangat terbuka mengenai penanganan kasus terse­but serta kasus lainnya.

“Perlu saya tegaskan kami sangat maksimal dalam menuntaskan kasus ini. Selain itu kamipun sangat ter­buka kepada publik soal progres kasus ini sejak awal. Apa yang su­dah kita kerjakan sekarang tentu adalah buah dari upaya kerja keras tim penyidik,” jelas Isnur, kepada Siwalima, Jumat (15/5) di Masohi.

Isnur menegaskan, pihaknya tidak melindungi siapapun dalam kasus ini, termasuk Kepala Dinas Kehu­tanan Maluku Sadli Ie.

“Anggapan kita melindungi pihak pihak tertentu jelas ini keliru dan tidak dapat dibenarkan. Kepenti­ngan kita hanya satu, hukum dite­gakkan. Kita tidak bisa bekerja ka­rena desakan publik, tetapi alat bukti dan data serta fakta dan keterangan saksi. Kita tidak bisa katanya-kata­nya, semua harus sesuai prosedur hukum, dua alat bukti dan ketera­ngan saksi,” ujarnya.

Dikatakan, dalam penyidikan kasus illegal logging di Dusun Solea ditetapkan 5 orang sebagai tersang­ka. Sebab hanya mereka yang se­cara hukum bertanggung jawab dan terlibat dalam kasus itu, dengan perannya masing masing.

“Sampai dengan kita limpahkan kemarin itulah hasilnya. Tidak ada yang dilindungi, sekali lagi kita tidak punya kepentingan apapun dalam kasus ini. Satu-satunya kepentingan kita adalah hukum harus ditegakkan dan semua yang terlibat dalam per-buatan melawan hukum dalam kasus ini harus dijerat. Jadi sudah cukup maksimal dan kita hanya menunggu putusan pengadilan untuk selanjut­nya dieksekusi,” ujarnya.

Jangan Lindungi

Aktivis LSM Pusat Kajian Stra­tegis dan Pengembangan Sumber Daya Maluku (Pukat Seram), Rian Idris juga meminta Kejaksaan Negeri Malteng tidak melindungi Kepala Dinas Kehutanan Maluku, Sadli Ie.

Salah satu tersangka yang dijerat jaksa, Fence Purimahua adalah eks anak buah Sadli Ie. Saat masih ber­tugas di Dinas Kehutanan Maluku, dia menjadi orang kepercayaan Sadli. Diduga dia ditugaskan untuk mengamankan PT Kalisan Emas da-lam kasus  illegal logging di Dusun Solea.

“Kami mendesak dan mengingat­kan Kejaksaan Negeri Malteng un­tuk tidak melindungi Kadis Kehu­tanan Maluku. Dari lima terdakwa yang ada saat ini, satu diantaranya adalah Fence Purimahua adalah mantan staf Dinas Kehutanan. Arti­nya bisa jadi Kadis ikut terlibat dan karenanya jaksa tidak boleh melo­loskan,” tegas Rian Idris kepada Siwalima, Kamis (14/5).

Idris menegaskan, proses hukum harus tegak dan tidak boleh diinter­vensi untuk melindungi siapapun.

“Kami paham benar, penyidik bekerja sesuai protab dan prosedur hukum. Namun jika ada indikasi yang mengarah kepada seseorang atua ko­orporasi tertentu dalam suatu kasus adalah wajib bagi penyidik untuk mengungkapnya,” tandas­nya.

Keterlibatan Fence Purimahua yang adalah salah satu pejabat di Dinas Kehutanan Maluku adalah indikator adanya pihak lain yang paling bertanggung jawab dalam urusan kehutanan di Maluku.

“Dengan demikian kadis yang adalah pimpinan dinas sudah ba­rang tentu memiliki keterkaitan dengan kasus ini, indikatornya adalah keter­libatan salah satu anak buahnya itu. Mesti penyidik mengejarnya dan mengungkapkan,” ujarnya.

Idris menambahkan, kabar adanya rekaman percakapan telepon antara Fence dan Sadli Ie harus diungkap oleh jaksa.

“Kami tidak tahu ada atau tidak rekaman percakapan telepon antara Fence dengan Kadis. Namun jika itu ada, maka dapat dijadikan langkah awal pengembangan penyidikan untuk mengungkap keterlibatan Kadis Kehutanan Maluku. Tetapi yang paling penting, penyidik harus komitmen dan tidak boleh melin­dungi siapapun,” tandasnya.

Lima Tersangka

Dalam kasus ini Kejari Malteng hanya menjerat Direktur PT Kalisan Emas Freud Riky Apituley, eks Pegawai Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Fence Purimahua, pemodal dari Surabaya Abdullah, Juanda Pacina, pemilik somel Imaji di Wahai, dan operator sensor, Hasanuddin.

Freud Riky Apituley, Fence Puri­mahua, dan Surabaya Abdullah sementara menjalani sidang di Pengadilan Negeri Masohi.

Jaksa penuntut umum Kejari Mal­teng menuntut ketiganya dua tahun penjara, dan denda Rp 500 juta.

Tuntutan dibacakan tim JPU Vector Mailoa, William Mairuhu dan Siti Martono dalam sidang di Penga­dilan Negeri Masohi, Selasa (12/5), yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Agus Hardianto, didamping hakim Rifai Tukuboya dan Mawardi Rifai.

Menurut JPU, ketiga terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.

Meski begitu, penerapan pasal terhadap ketiga terdakwa berbeda. Fence Purimahua dan Freud Riky Apituley dituntut melanggar pasal 98 ayat 1 jo pasal 19 huruf b. Se-dang­kan Abdullah melanggar pasal 87 ayat 1 huruf a jo pasal 12 huruf K  UU Nomor 18 tahun 2013.

“Menghukum terdakwa dengan pidana di penjara selama 2 tahun serta membayar denda 500 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan,” tan­das JPU Vector Mailoa.

Divonis Ringan

Sebelumnya hakim Pengadilan Negeri Masohi memvonis ringan Juanda Pacina dan Hasanuddin.

Pacina dihukum 3 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah subsider 3 bulan. Sementara Hasannudin 1 tahun 6 bulan penjara, denda 500 juta rupiah subsider 3 bulan.

Vonis dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai Agus Hardian­to, didampingi dua hakim anggota Rifai R Tukuboya dan Mawardi Rifai dalam sidang, Selasa (28/4).

Humas Pengadilan Negeri Maso­hi, Rifai R Tukuboya yang dikon­firmasi mengatakan, putusan majelis hakim sudah sesuai dengan peran dan perbuatan kedua terdakwa.

“Sebetulnya tidak ringan sebab sudah sesuai dengan peran mereka dalam kasus ini. Hasanuddin dalam kasus ini bertindak sebagai operator penebang kayu di lokasi HPH yang dalam tuntutan JPU adalah 2 tahun,” kata Tukuboya, kepada Siwalima, Rabu (29/4).

Sementara JPU Kejari Malteng, Vector Mailoa yang dikonfirmasi mengatakan, pihaknya akan meminta petunjuk Kejati Maluku untuk menentukan sikap terhadap putusan majelis hakim. “Langkah yang dilaku­kan saat ini adalah meminta petunjuk kejaksaan tinggi dulu. Jadi nanti petunjuk Kejati seperti apa baru diambil langkah selanjutnya,” ujar Mailoa yang dihubungi melalui telepon selulernya. (S-16)