Pengusaha Ferry Tanaya dan mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa ditahan Kejaksaan Negeri Buru. Keduanya akan berada di balik jeruji besi selama 20 hari, terhitung 31 Agustus 2020 di Rutan Polda Maluku, Tantui.

Jaksa memakai alasan subjektif untuk menjebloskan Tanaya dan Laitupa ke penjara, diantaranya jangan sampai barang bukti dihilangkan dan mencegah keduanya melarikan diri.

Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa adalah tersangka kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea. Lalu bagaimana sampai pembelian lahan itu menjadi masalah dan merugikan negara? Lahan seluas 48.645, 50 hektar di kawasan Jikubesar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru adalah milik Ferry Tanaya, dan kemudian dibeli oleh PLN untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Sesuai nilai jual objek pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2. Namun diduga ada kongkalikong antara Ferry Tanaya, pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan pejabat BPN Kabupaten Buru untuk menggelembungkan harganya. Alhasil, uang negara sebesar Rp.6.401.813.600 berhasil digerogoti. Hal ini juga diperkuat dengan hasil audit BPKP yang sudah dikantongi Kejati Maluku.

Kasus ini diusut oleh Kejati Maluku bersama Kejakasaan Negeri Buru. Ferry Tanaya ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-749/Q.1/Fd.1/05/ 2020, tanggal 08 Mei 2020. Sedangkan Abdur Gafur Laitupa ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-750/Q.1/Fd.1/05/2020, tanggal 08 Mei 2020.

Baca Juga: Ambon Terus Berlakukan PSBB Transisi

Kita patut memberikan apresiasi bagi Kejati Maluku yang menunjukan sikap tegas dalam penegakan hukum. Setidaknya, Korps Adhyaksa telah memperlihatkan komitmen untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea.

Pertanyaannya apakah penyidikan kasus ini harus berhenti di Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa? Tentu tidak. Sebab, ada pihak lain yang belum “disentuh” oleh jaksa. Sebut saja pihak PLN Maluku dan Maluku Utara. Sebagai kuasa pengguna anggaran, pihak PLN harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Tidak bisa tidak.

Jika pihak PLN tak “disentuh” , maka Kejati Maluku tengah mempertontonkan diskriminasi dalam penegakan hukum. Kasusnya jelas dan terang menderang. Jadi jangan ada yang dilindungi.

Pimpinan Kejati Maluku juga harus mendalami dugaan keterlibatan oknum-oknum jaksa yang diduga terlibat dalam transaksi jual beli lahan PLTG Namlea. Peran mereka sudah dibeberkan oleh masyarakat. Tinggal ditindaklanjuti. Mau atauk tidak.

Masyarakat pasti bingung. Sebab, sebelum transaksi jual beli dilakukan, jaksa di Kejaksaan Negeri Buru aktiv melakukan sosialisasi kepada masyarakat, kalau harga lahan yang akan dibeli PLN untuk pembangunan PLTG 10 Megawatt seharga Rp 125 ribu per meterpersegi. Sementara di sisi lain, Kejati Maluku mengganggap nilai ini hasil mark up.

Selain lahan Ferry Tanaya, ada juga lahan masyarakat yang dibeli oleh PLN dengan harga yang sama. Lalu mengapa mereka tidak ikut dijerat? Nah, fakta-fakta yang diungkap masyarakat harus ditindaklanjuti, agar Kejati Maluku tidak dinilai menerapkan standar ganda dalam penanganan kasus korupsi.

Publik tentu menghormati dan mendukung langkah hukum yang dilakukan oleh Kejati Maluku. Tetapi jangan ada diskriminasi. Jerat siapapun yang terlibat.

Kasus dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea harus dituntaskan secara adil dan benar. Percuma, kalau kasus ini sampai di pengadilan, tetapi ada pihak-pihak tertentu yang diloloskan. Ini namanya diskriminasi. (*)