AMBON, Siwalimanews – Tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku ditantang mem­bongkar dugaan korupsi  medical chek up pemilihan kepala daerah tahun 2016 hingga 2020 di RS Haulussy Ambon.

Menurut praktisi hukum Dji­dion Batmomolin, secara umum telah terjadi perbuatan pidana yang sengaja dilakukan oleh ok­num-oknum di lingkungan RS Haulussy.

Kejaksaan Tinggi Maluku harus berani untuk membongkar dugaan kasus korupsi yang telah merugikan negara tersebut, sebab tidak ada toleransi bagi pelaku tindak pidana korupsi di negara Indonesia.

“Perbuatan pidana sudah nyata itu, saya dorong Kejaksaan Tinggi Maluku untuk mengusut tuntas du­gaan korupsi kasus dugaan korupsi medical chek up pemilihan kepala daerah tahun 2016 hingga 2020 di RS Haulussy,” tegas Batmomolin.

Dijelaskan, siapapun yang terlibat dalam kasus ini harus dibongkar artinya, Kejaksaan Tinggi Maluku tidak boleh tebang pilih dalam mengungkap kasus, tetapi harus membongkar secara luas keterlibatan oknum-oknum.

Baca Juga: Tiga Tahun Kasus MTQ Maluku Mangkrak di Kejari Buru

“Siapapun dia, mau Kadis kese­hatan, Direktur RS Haulussy atau dokter sekalipun harus diungkap­kan,” ujar Batmomolin.

Batmomolin menegaskan, jika korupsi telah merasuk dalam dunia kesehatan maka akan berdampak bagi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, karena segala sesuatu akan dinilai dengan besar­nya uang yang diberikan, sedang­kan pelayanan tidak diberikan dengan baik.

Sebagai rumah sakit milik daerah mestinya terbebas dari praktik dugaan korupsi agar menjadi contoh yang baik bagi rumah-rumah sakit yang lain di Maluku.

Apalagi, dugaan korupsi tersebut berkaitan dengan medical chek up pemilihan kepala daerah tahun 2016 hingga 2020 di RS Haulussy, yang mestinya dilakukan secara baik sehingga calon kepala daerah layak menjadi pemimpin daerah.

Batmomolin berharap, Kejaksaan Tinggi Maluku tidak tumpul dalam mengusut kasus dugaan korupsi medical chek up pemilihan kepala daerah tahun 2016 hingga 2020 di RSUD Haulussy yang bersinggu­ngan langsung dengan oknum-oknum yang memiliki kekuasaan.

Sementara itu, praktisi hukum Munir Kairoti meminta, Kejaksaan Tinggi Maluku harus membongkar kasus medical chek up pemilihan kepala daerah tahun 2016 hingga 2020 di RS Haulussy.

Hal ini perlu dilakukan guna  mem­bersihkan lembaga RS Haulussy dari praktik-praktik korupsi yang selama ini terjadi, tetapi tidak pernah disentuh oleh penegak hukum

“Dengan adanya langkah Kejak­saan Tinggi Maluku mengusut maka kita berikan apresiasi agar bisa me­lakukan tindakan penegakan hukum, agar kepercayaan masyarakat kepada institusi kejaksaan tinggi tetapi terjaga, karena selama ini terkesan banyak perkara korupsi yang tidak berjalan dengan baik,” tegasnya.

Kairoty menambahkan, dalam pengusutan kasus ini Kejati Maluku tidak boleh tebang pilih artinya,jika proses pengusutan sudah dimulai maka harus menyentuh aktor intelektual sebab jika tidak, maka RS Haulussy tidak akan bersih dari kasus korupsi.

Sasar BNN

Seluruh pihak yang berkaitan dengan proses medical check up pada Pilkada di Maluku, disasar jaksa.

Tim penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku marathon mengusut kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran pembayaran jasa medical check up, Pemilihan Calon kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Provinsi Maluku tahun 2016 hingga 2020.

Jaksa terus mengali aktor utama dibalik dugaan tindak pidana ko­rupsi tersebut di RS Haulussy Ambon.

Setelah memeriksa mantan Di­rektur RS Haulussy, Justini Pawa dan mantan Kepala Dinas Kese­hatan Provinsi Maluku, Meikyal Pontoh serta belasan dokter di RS Haulussy, giliran tim penyidik Kejati Maluku menyasar Badan Narkotika Nasional Provinsi Maluku.

Kasi Penkum Kejati Maluku, Wahyudi Kareba mengungkapkan, tim penyidik memeriksa petugas BNN Provinsi Maluku. Petugas BNN masuk dalam tim pemeriksa medical check up Pemilihan Calon kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Provinsi Maluku tahun 2016 hingga 2020.

“Petugas BNN diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pembayaran jasa pemeriksaan kesehatan bakal calon kepala daerah kabupaten, kota dan provinsi Malu­ku kurun tahun 2016 hingga 2020,” ujar Wahyudi saat dikonfirmasi Siwalima di Ambon, Kamis (7/7).

Ketika ditanyakan berapa banyak petugas BNN yang diperiksa, Wah­yudi mengatakan masih dicek.

“Saya masih cek lagi, tapi diinfor­masi dari penyidik petugas BNN juga diperiksa,” ujarnya singkat.

Wahyudi menegaskan, tim penyidik masih terus bekerja dan memeriksa saksi-saksi lagi terkait dengan penggunaan anggaran pembayaran Jasa Medical Check Up Pemilihan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/ Kota dan Provinsi Maluku Tahun 2016 sampai dengan Tahun 2020 di RSUD Dr. M. Haulussy.

Dikatakan, pemeriksaan dilakukan di Kantor Kejati Maluku, Rabu (6/7) mulai pukul 09.00 WIT hingga 16.00 WIT dan dihujani puluhan perta­nyaan seputar tugas dan tanggung­jawab saksi.

Ditanya soal apakah calon kepala daerah yang mengikuti Medical Check Up akan juga dimintai kete­rangan, Wahyudi belum dapat memastikan, dikarenakan saat itu penyidik masih menfokuskan tenaga medis dan BNN  yang bersentuhan langsung dengan pemeriksaan tersebut.

“Belum bisa di pastikan, sekarang mereka (penyidik) fokus terhadap saksi saksi yang ada dulu, kalau memang sudah sampai ke sana (pemeriksaan Calkada) akan kita umumkan lagi,”tandasnya.

Jaksa Endus

Seperti diberitakan sebelumnya, dua mantan petinggi di Dinas Kesehatan dan RSUD Haulussy diperiksa jaksa, terkait dugaan korupsi Rumah Sakit milik daerah.

kedua pejabat itu adalah, Meikyal Pontoh dan Justini Pawa. Pontoh adalah eks Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, kurun waktu tahun 2016 hingga 2020.

Adapun Pawa, adalah bekas Direktur RS pada tahun 2016 dimana kasus itu mulai dibidik.

keduanya diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pem­bayaran jasa pemeriksaan kesehatan bakal calon kepala daerah kabupa­ten, kota dan provinsi Maluku kurun tahun 2016 hingga 2020.

Kasi Penkum dan humas Kejati Maluku, Wahyudi Kereba di Ambon, Rabu (6/7) mengatakan, selain dua mantan pejabat itu, penyidik juga memanggil tujuh dokter lainnya sebagai saksi dalam kasus tersebut.

“Selain memanggil dua mantan pejabat tersebut, penyidik juga memanggil tujuh orang dokter lainnya guna dimintai keterangan sebagai saksi,” Kareba.

Tujuh dokter tersebut telah dipe­riksa, Selasa (5/7). Sedangkan Rabu (6/7) penyidik memanggil sepuluh dokter, salah satunya dokter Ade Tuanakotta sebagai penanggung jawab IDI Maluku.

Adapun sepuluh dokter itu adalah mereka yang merupakan penerima honorarirum pembayaran jasa peme­riksaan kesehatan, saat pelaksanaan medica; check up kepada balon calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten, kota dan Provinsi Maluku pada penyeleng­garaan Pilkada Tahun 2016 hingga 2020.

Pada tahun 2017, tercatat dilak­sanakan tiga Pilkada yang proses medical check up dilaksanakan di RS Haulussy, untuk Kota Ambon, MTB dan Buru selanjutnya pada tahun 2018 lalu, dilaksanakan kegiatan serupa untuk Pilkada Kota Tual, Malra dan Pilgub Maluku.

selanjutnya pada tahun 2018 lalu, dilaksanakan kegiatan serupa untuk Pilkada Kota Tual, Malra dan Pilgub Maluku.

Kemudian pada tahun 2020, tercatat empat kabupaten melaksa­nakan Pilkada, dimana seluruhnya melakukan medical cheek up di RSUD Haulussy, yaitu, Kabupaten Bursel, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku Barat Daya dan Seram Bagian Timur.

Kareba menjelaska, pada pemerik­saan yang berlangsung selama tujuh jam ini, materi yang ditanyakan jaksa  penyidik masih seputar tugas pokok para saksi.

“Pemeriksaan dilaksanakan mulai pukul 09.00 WIT,” katanya.

Dikatakan, pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui ada aliran ang­garan dengan pagu lebih Rp2 miliar.

Dikatakan, pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui ada aliran anggaran dengan pagu lebih dari Rp2 miliar itu.

Periksa 13 Saksi

Seperti diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Maluku membidik sejumlah kasus dugaan penyalah­gunaan anggaran bernilai miliaran rupiah di RSUD Haulussy Ambon.

Adapun kasus yang diduga ber­bau korupsi itu antara lain, penyim­pangan penyaluran tunjangan intensif, jasa BPJS, jasa Perda dan uang makan minum tenaga medis tahun anggaran 2019-2021 di rumah sakit milik Pemprov Maluku itu.

Guna membuktikan dugaan ko­rupsi pada sejumlah proyek di rumah sakit berplat merah itu, tim penyidik Kejati Maluku telah memeriksa 13 orang saksi.

Kepala Seksi Penerangan dan Hubungan Masyarakat Kejati Ma­luku, Wahyudi Kareba yang dikon­firmasi Siwalima, Kamis (23/6) membenarkan pemeriksaan 13 orang saksi.

“Benar tim penyidik telah meng­konfirmasi 13 orang saksi di kasus RSUD Haulussy,” ujar Wahyudi.

Ketika ditanyakan 13 saksi ini apakah dari unsur tenaga medis dokter atau juga Tenaga adminis­trasi pada RSUD Haulussy, Wahyudi menolak berkomentar lebih jauh dengan alasan kasusnya masih penyelidikan.

“Maaf saya hanya bisa katakan demikian, masih konfirmasi 13 orang saksi telah dimintai keterangan pada Selasa (21/6) kemarin. Dan kasusnya masih penyelidikan. Jadi saya belum bisa berkomentar lebih jauh soal itu,” ujarnya.

Wahyudi mengaku, ada sejumlah kasus yang dibidik lembaga kejak­saan tersebut di RSUD Haulussy. “Ada beberapa kasus ya,” ujarnya singkat.

Wahyudi menyebutkan, 13 orang saksi ini diperiksa sejak pukul 09.00 WIT-16.00 WIT dan ditanyai sepu­tar penerimaan tunjangan intensif, jasa BPJS, Jasa Perda hingga makan minum tenaga medis tahun 2019-2021 pada RSUD Haulussy.

Untuk diketahui, Kejati bidik sejumlah kasus di RSUD Haulussy berdasarkan surat nomor: SP 814/Q.1.5/1.d.1/06/2022.

Selain pembayataan BPJS Non Covid, pembayaran BPJS Covid tahun 2020, pembayaran kekurangan jasa nakes BPJS tahun 2019 tetapi juga pengadaan obat dan bahan habis pakai juga sarana dan prasarana pengadaan alat kesehatan dan pembayaran perda pada RSUD Haulussy tahun 2019-2020.

BPJS Kesehatan diketahui men­dapat tugas dari pemerintah mem­verifikasi klaim rumah sakit rujukan Covid-19 di Indonesia setelah veri­fikasi barulah Kementerian Keseha­tan melakukan pembayaran klaim tersebut.

diduga total klaim Covid dari rumah sakit rujukan di Provinsi Maluku sejak 2020 hingga September 2021 yang lolos verifikasi BPJS Kesehatan mencapai 1.186 kasus dengan nilai Rp117,3 miliar.

Sejak tahun 2020 tercatat seba­nyak 891 kasus atau klaim di Maluku lolos verifikasi BPJS Kesehatan. Nilai klaim dari jumlah kasus tersebut mencapai sekitar Rp97,32 miliar dan hingga September 2021 klaim yang sudah terverifikasi ada 295 dengan jumlah biaya sekitar Rp20 miliar. (S-20)