Supaya perguruan tinggi (PT) itu lebih mandiri, pemilihan rektor harus menghindari campur tangan pemerintah daerah. Kemandirian harus terus dikonsolidasikan dalam kehidupan berdemokrasi di lingkungan perguruan tinggi.

Kasus yang terjadi di Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), mengindikasikan intervensi Pemda Maluku dalam proses pemilihan rektor UKIM nyaris menguat. Menyikapi wacana yang terjadi dalam pemilihan dan pengangkatan rektor UKIM, menjadi tanda tanya besar terkait maksud tersebut. Padahal seharusnya pemerintah memberikan urusan akademik dan berdemokrasi dalam pemilihan rektor diserahkan secara paripurna ke perguruan tinggi.

Perguruan tinggi, termasuk pemilihan rektor mestinya pula tak masuki campur tangan pemerintah. Dengan begitu, perguruan tinggi diberi kepercayaan menjadi lebih mandiri dalam pemilihan rektor. Sebab hal itu dapat terus mengkonsolidasikan dalam kehidupan berdemokrasi di lingkungan perguruan tinggi.

Memang ada persoalan dalam kehidupan berdemokrasi di kalangan civitas akademik di lingkungan perguruan tinggi. Terdapat dampak pemilihan rektor melalui mekanisme tersebut. Orang yang terpilih secara demokrasi dengan perolehan suara tertinggi di ajang pemilihan rektor secara internal menjadi tidak terpilih. Alasannya karena tidak mendapat dukungan menteri. Itu berlaku kepada perguruan tinggi negeri.

Persoalan surat rekomendasi dari Gubernur Maluku Murad Ismail telah menimbulkan kemelut sehingga mendorong ratusan mahasiswa UKIM long march dari kampus menuju kantor gubernur. Tujuan berunjuk rasa menolak kesewenang-wenangan Gubernur Maluku, terhadap Yayasan Perguruan Tinggi GPM, yang membawahi UKIM.

Baca Juga: Bebas Murni untuk Tanaya

Dipimpin langsung Ketua Umum Senat Mahasiswa UKIM Vinsensius Talubun, sepanjang perjalanan, mereka melakukan orasi secara bergantian, menentang langkah intervensi Gubernur Murad Ismail.

Mahasiwa yang mengenakan jeket almamater dan kaos hitam, ngotot meminta penjelasan resmi Gubernur Murad Ismail, soal rekomendasi ke Yaperti untuk memilih Josephus Noya sebagai Rektor UKIM, menggantikan Yafet Damamain, yang masuk usia pensiun.

Diantara peserta ada yang terlihat membawakan pamflet bertuliskan “Mari kita lawan intervensi Gubernur Maluku, Calon rektor bukan urusan gubernur, UKIM anak kandung GPM, Urusi saja dan PEN jangan urusi suksesi rektor, kampus bukan ladang politik Bos serta Rekomendasi salah alamat boss” dan masih banyak lagi.

Dunia kampus memang merupakan dunia yang heterogen dan penuh dengan dinamika. Dilihat dari sudut manapun, kampus memang menyajikan berbagai keanekaragaman dan perbedaan. Dari mulai perbedaan pola pikir, perbedaan pandangan, perbedaan gaya hidup, dan lain-lain.

Semua itu pasti menyeliputi seluruh civitas akademika, baik itu mahasiswa, dosen maupun staf pegawai. Perbedaan itu kadang menjadi sebuah keunikan, yang bisa memperkaya khasanah pemikiran dan tradisi kampus, jika bisa dimanfaatkan dengan baik dan benar.

Semua aturan-aturan yang telah dirumuskan oleh senat universitas, rektorat serta fakultas tersebut, menjadi tidak berarti bila tidak dikerjakan sungguh-sungguh oleh seluruh civitas akademika, dan bila tidak adanya kesadaran dari masing-masing pihak.

Maka, disinilah peran penting rektor, sebagai pimpinan universitas, yaitu berusaha memberikan motivasi dan contoh yang baik pada seluruh civitas akademika, agar selalu taat dan mamatuhi peraturan yang ada, serta memerintahkan pada semua pihak agar saling tolong-menolong, bantu-membantu, saling menghargai diantara mahasiswa dan dosen serta staf pegawai.

Apalagi ada jaminan dari Ketua MPH Sinode GPM Pendeta Elifas Maspaitella bahwa proses pemilihan rektor tetap akan berlangsung mengikuti ketentuan dan mekanisme yang ada.

Semoga permasalahan ini cepat diselesaikan dan siapapun yang diberi amanah sebagai Rektor UKIM nanti harus tetap bekerja sama dengan baik termasuk dengan pemerintah daerah. (**)