AMBON, Siwalimanews – Kejaksaan Agung harus meninjau ulang keputusannya mendukung langkah Kejari Ambon, yang bertentangan dengan aturan hukum.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman akan meminta Kejaksaan Agung untuk meninjau ulang penghentian kasus dugaan penyalahgunaan anggaran di Sekretariat DPRD Kota Ambon Rp5,5 miliar sesuai temuan BPK.

Boyamin menyayangkan sikap Keja­gung yang mestinya mengoreksi dan memerintah Kejaksaan Negeri Ambon menindaklanjuti kasus dugaan korupsi di DPRD Kota Ambon ke penyidikan dan bukan menghentikan dengan alasan uang negara telah dikembalikan.

“Saya menyayangkan sikap Kejaksaan Agung yang mestinya mengoreksi sikap dari Kejari Ambon dalam penanganan perkara korupsi di DPRD Ambon. Mesti­nya Kejagung memerintahkan untuk meneruskan penyelidikan, ternyata mengamini dan menyetujui apa yang dilakukan Kejari Ambon,” jelas Saiman melalui voice Whatsappnya kepada Siwalima, Sabtu (19/2).

Menurutnya, langkah kejaksaan yang demikian justru akan memper­buruk penegakan hukum di Indonesia dan kedepannya penanganan ka­sus DPRD Kota Ambon ini men­jadi contoh buruk suburnya korupsi di Indonesia.

Baca Juga: DPRD Minta Oknum PNS Terlibat Narkoba Dihukum Berat

“Ini adalah sikap yang kurang baik bagi penegakan hukum kedepannya. Orang bisa berpikir kalau korupsi cepat-cepat saja, karena tidak me­nuntut, karena akan berpikir yang sama dengan Kejari Ambon ini, bahwa kalau mereka cepat-cepat mengembalikan uang negara, ya minta ditutup dan tidak diproses lanjut,” kesalnya.

Sikap kejaksaan yang demikian, lanjut Saiman, akan membuat orang berani korupsi, padahal pasal 4 UU Tipikor sudah sangat jelas menye­butkan bahwa, pengembalian uang tidak menghapus pidana yang dilakukan. Pidana dimaksudkan adalah tindakan korupsi itu.

“Karena kenapa nanti kalau ketahuan cepat-cepat dikembalikan aman dan bebas. Padahal, amanat pasal 4 UU Korupsi kan pengemba­lian kerugian negara tidak meng­hapus pidana, artinya tidak mengha­pus korupsi. ini kan juga sama de­ngan yang terjadi di masyarakat luas, pencuri TV saja ketahuan meskipun dikembalikan dia masih dikebuki orang sekampung, dan tetap diproses hukum oleh polisi,” tegasnya.

Proses pengembalian ini pun, lanjut dia, kalau dalam hukum itu dibedakan atas kemauan sendiri atau bukan kemauan sendiri. Jika itu  atas kemauan sendiri bisa saja tidak dituntut. Artinya sebelum ketahuan oleh penegak hukum mengem­balikan. Sedangkan pada kasus dugaan  korupsi di DPRD Kota Ambon ujarnya, proses pengembalian boleh dibilang terpaksa, karena jaksa sudah melakukan pemeriksaan dan dipanggil barulah dikembalikan.

“Itulah kalau dalam korupsi me­ringankan, yang di Ambon ini sete­lah dilakukan  penyelidikan dan se­telah dipanggil-panggil oleh Kejak­saan Negeri Ambon jadi mereka itu mengembalikan bukan karena keihk­lasan karena kemauan sendiri tetapi karena terpaksa, sehingga mestinya diproses lebih lanjut soal uang sudah kembali itu hanya unsur meringankan. Nampaknya kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Negeri itu memahami putusan yang keliru dari dari putusan Mahkamah Kons­titusi itu, nah keputusan MK itu kan kalau kemudian ada kesalahan admi­nistrasi yang sifatnya bisa ditolerir, tetapi kalau sudah terbukti ada per­buatan pidananya maka harus tetap diproses lebih lanjut,” tegasnya.

Menurutnya, penghentian kasus dugaan korupsi di DPRD Kota Ambon adalah kepentingan sepihak dan tidak membela kepentingan masya­rakat sebagai korban dari korupsi.

“Menurut saya ini memahami secara salah, ini hanya kepentingan sepihak tidak membela kepentingan masyarakat sebagai korban korupsi. Jadi mestinya kejaksaan Agung meralat sikapnya untuk tetap memerintahkan dilakukan proses lebih lanjut dari kasus DPRD ini.

Ia janji akan tetap melakukan upaya yang bias dimungkinkan oleh hukum, dan bisa saja mendorong mas­ya­rakat Ambon melakukan praperadilan. “Saya mencoba meriview ke Kejagung supaya merubah sikapnya dan memerintahkan untuk meneruskan penyelidikan,” tegasnya.

Keliru Terapkan Aturan

Sementara itum akademisi Hukum Pidana Unpatti, Raymond Supusepa berpendapat, diihentikannya pena­nganan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejak­saan Negeri Ambon yang diduga me­libat­kan anggota DPRD dan meng­aki­batkan kerugian keuangan nega­ra Rp5,5 miliar dengan alasan keru­gian negara telah dikembalikan ada­lah penerapan hukum yang keluru.

“Menurut pendapat saya, keru­gian keuangan negara itu kemudian tidak bisa mengesampingkan pasal 4, dimana pasal 4 ini berkaitan erat dengan mengembalikan kerugian negara tidak menghapus pidana., Jika dihubungkan dengan kewena­ngan jaksa dalam menghentikan perkara dalam tahap penyelidikan, menurut pendapat beta bahwa, itu ada suatu hal yang salah  dalam sistim penerapan hukum di Indonesia, khususnya tindak pidana ko­rupsi,” ujar dia.

Pasalnya,  Kejari Ambon lanjut­nya, telah keliru dalam menerapakan aturan, kejaksaan berpatokan pada aturan teknis kejaksaan dan bukan Pasal 4 UU Tipikor yang dala hirakhi peraturan perundang-undangan mem­punyai kedudukan yang terti­ng­gi dari aturan teknis kejaksaan.

“Karena kalau aturan-aturan tek­nis yang dilakukan oleh kejaksaan sehubungan dengan penghentian ini, itu dia bersifat aturan teknis dan bukan bersifat teknis undang-undangan, Sedangkan pasal 4 itu merupakan norma yang harus diikuti oleh aparat penegak hukum, apabila ada terjadi pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana,” tegasnya.

Kata Supusepa, seharusnya unsur tindak pidana ini sudah terpenuhi, dan seharusnya jaksa meningkatkan ke tahap penyidikan.

Aturan teknis dimaksudkan yaitu kejaksaan berpatokan pada peratu­ran teknis yang diatur oleh jaksa., yakni surat edaran Jampidus  No B.1113 tahun 2010, berkaitan erat de­ngan perioritas dan pencapaian da­lam perkara tindak pidana korupsi. Aturan teknis itu juga dikuatkan de­ngan  petunjuk teknis penanga­nan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan surat Jampidsus Nomor 765 tahun 2018, berkaitan erat dengan tahap penyelidikan tindak pidana korupsi,

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Sabtu (19/2), Supusepa mengatakan kewenangan yang di­lakukan oleh jaksa dalam tahap penyelidikan tindak pidana korupsi itu hanya kepada kasus-kasus di­mana jumlah kerugian relatif kecil, dalam hal pelaku tindakan pidana telah mengembalikan kerugian ke­uangan negara, kemudian bisa di­terbitkan laporan hasil penyelidikan dan kemudian perkara itu bisa dihentikan ditahap penyelidikan.

“Harus digaris bawahi bahwa perkara untuk kasus-kasus dimana jumlah keuangan negaranya kecil. Jadi kalau mengaju pada pasal yang diajukan itu menurut saya kerangka berpikir dari kejaksaan itu mengaju pada aturan tahun 2010 dan 2018 dan mengaju pada dan UU Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004, pasal 35 (a) yang berkaitan erat dengan pengen­dalian kebijakan penegakan hukum keadilan dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan kejaksaan,” jelas­nya.

Dan karena bertolak pada dua aturan teknis kejaksaan itulah, maka sampai di Kejagung pun akan ber­pendapat yang sama. Tetapi harus­nya diingat dan digaris bawahi bahwa, aturan-aturan teknis yang disampaikan itu hanya untuk kasus-kasus dimana jumlah kerugian keuangan negara dalam jumlah kecil, sehingga tanggung jawab jaksa untuk melakukan penyelidikan itu bisa berkoordinasi dengan lembaga-lembaga seperti Inspektorat dan bisa dihentikan, ketika jumlah ke­rugian keuangan negara itu yang sangat kecil bisa dikembalikan dan terjadi penyetoran dana kerugian keuangan negara dari pelaku ini boleh dihentikan.

Tetapi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi di DPRD Kota Ambon sangatlah berbeda sehingga penangganannya tidak bisa meng­gunakan aturan teknis kejaksaan, karena jumlah kerugian negaranya sangat besar, dan harusnya meng­gunakan aturan Pasal 4 UU Tipikor.

Jika kemudian dihubungkan de­ngan kasus ini, lajutnya, maka seharusnya dilihat dari sistim hirakhi peraturan Perundang-Undangan. Dimana Peraturan Teknis itu hanya berlaku untuk kejaksaan.  Namun ketika norma dalam pasal 4 itu sudah ada sebagian  bagian dari Undang-Undang, maka yang digunakan adalah Undang-undang

“Berdasarkan Lex superior dego­gat legi inferiori Oleh karena itu Pa­sal 4 mengatakan bahwa mengem­bali­kan kerugian negara itu tidak menghapus, pidana korupsinya. Dan juga dijelaskan dalam pasal 4 ber­kaitan erat dengan kerugian keua­ngan negara itu, harus diproses dalam proses peradilan, sehingga dengan alasan aturan-aturan teknis itu, menurut pendapat saya, bahwa seharusnya ditingkatkan ke tahap penyidikan,” tegasnya.

Argumentasinya, ungkap Supu­sepa, pertama  pada Undang Un­dang Tipikor pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 dihubungkan dengan keru­gian keuangan Negara, maka yang harus dicari oleh penyelidikan adalah apakah ini merupakan peristiwa pidana ataukah tidak dalam tahap penyelidikan.

Kedua, apakah unsur-unsur mela­wan hukum, unsur memperkaya diri sendiri itu  memiliki benang merah. atau memiliki hubungan, apakah ada perbuatan melawan hukum. Pasal 2 ayat (1) dihubungkan dengan nilai kekayaan dari pejabat negara itu, apa­kah berdasarkan itu ada transak­si keuangan yang beredar ke para pe­laku tindak pidana korupsi atau­kah tidak dalam transaksi perban­kan.

Selanjutnya, dikaitkan dengan pasal 3, berkaitan erat dengan pe­nyalahgunaan kewenangan sarana yang ada padanya sebagai seorang pejabat atau seorang pegawai ne­geri. Disitulah dihubungkan dengan menguntungkan diri sendiri, apakah ada peristiwa dimana berpindahnya harta kekayaan dari keuangan ne­gara kepada pejabat-pejabat ter­tentu. Itu bisa ditindaklanjuti oleh OJK dalam transaksi perbankan, bisa juga ditindaklanjuti dengan melihat laporan LHKPN untuk melihat kekayaan keuangan negara itu naik. Karena peristiwa pidana ini sudah dianggap selesai.

“Jadi perbuatan ini sudah selesai ditahap penyelidikan walaupun telah mengembalikan kerugian ke­uangan negara, maka perbuatan pi­dananya telah selesai jika dihubu­ngan dengan hukum administrasi negara, maka adanya maal admi­nistrasi,” katanya.

Menurut Prof Philipus Harjon kata Supusepa, mall administrasi itu merupakan rangkaian perbuatan dari pada pejabat negara, atau penyalahgunaan kewenangan itu masih merupakan rana dari hukum administrasi. Penegakan tindak pi­dana korupsi itu jika ada laporan temuan dari BPK, dan kemudian temuan berjumlah Rp5 miliar dan ditindaklanjuti untuk mengembali­kan kerugian keuangan negara berdasarkan laporan itu, maka dalam jangka waktu 60 hari harus segera dikembalikan, kalau sudah melewati dari jangka waktu dan tidak ada etikat baik untuk mengembalikan, maka itu merupakan pintu masuk hukum pidana, berkaitan erat dengan pe­nya­lahgunaan kewenangan yang mengakibatkan atau mengun-tung­kan diri sendiri atau orang lain.

Dikatakan lagi, soal kerugian ke­uangan negara disitu ada penge­cualiannya didalam Pasal 4 bahwa pengembalian keuangan negara itu terjadi tahap penyelidikan, itu perbuatannya telah selesai sehi­ngga norma hukumna walaupun mengembalikan kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana.

Seharusnya, kata Supusepa, apa­rat penegak hukum dalam pena­nganan perkara ini, harus melihat tentang unsur pasal 2 ayat (1), dan tidak ada etikat baik dari tahap administrasi tadi, dan jika anggota dewan mau mengembalikan keru­gian negara maka itu harus terjadi pada saat ada temuan atau laporan BPK dimana dan dikembalikan tepat waktu maka pasti dari pihak BPK akan menerbitkan surat bahwa tidak ada lagi kerugian keuangan negara, sehingga bagi aparat penegak hukum tidak bisa lagi untuk untuk memproses dalam proses pidana, karena kerugian keuangan negara menurut hukum administrasi atau mekanisme administrasi tidak pernah ada.

Namun kalau tidak ditindaklanjuti oleh pelaku tindak pidana korupsi dan kerugian keuangan negara itu pin­dah kepada rekening atau keka­yaan dari pada pelaku, otomatis per­buatan itu telah selesai, dan tahap penyelidikan adalah merupa­kan se­rangkaian tindakan dari penyelidik untuk menemukan suatu perbuatan pidana, perbuatan tindak pidana korupsi itu telah ada dan seharusnya ditingkatkan ke penyidikan.

Langkah Keliru

Sementara itu, praktisi Hukum Fileo Pistos Noija menyayangkan Kejagung menyetujui penghentan kasus dugaan korupsi di DPRD Kota Ambon yang dihentikan prosesnya oleh Kejari Ambon dengan alas an telah mengembalikan kerugian Negara.

Kata pengacara senior ini saat dhubungi Siwalima melalui telepon selulernya, Sabtu (19/2) Kejari harusnya mengacu pada unsur pasal 4 UU Tipikor, dimana proses pengembalian kerugian keuangan Negara itu tidak menghapus perbuatan pidana.

Kata Noija, pengembalian tersebut terjadi saat penyelidikan dan bukan saat sebelum penyelidikan sehingga proses pidananya telah terbukti dimana tindakan pengembalian itu bukti korupsi, dan itu akan dijadikan sebagai pertimbangan hukum di pengadilan oleh hakim.

Dia menyayangkan langkah kejaksaan karena dengan demikian, membuka ruang siapa saja bisa melakukan tindakan korupsi, dan ini buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.

Buka Peluang Korupsi

Seperti diberitakan sebelumnya, citra penegakan hukum di Indonesia diperburuk dengan penghentian kasus dugaan korupsi di DPRD Ambon.

Tindakan Kejaksaan Negeri Ambon menghentikan kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran di DPRD Kota Ambon Rp5,5 miliar sesuai dengan temuan BPK justru memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia.

Proses penghentian dengan ala­san telah mengembalikan kerugian negara dan menyam-pingkan tinda­kan perbuatan melawan hukum yang sudah dilakukan oknum-oknum ang­gota DPRD sesuai pasal 4 UU Tipikor, justru membuka ruang terjadinya korupsi.

“Demikian diungkapkan, akade-misi hukum Unpatti, Diba Wadjo kepada Siwalima, melalui telepon selulernya, Kamis (17/2) lalu.

Menurutnya, pemberantasan tindak pidana korupsi selain dikejar pengembalian kerugian negara, tetapi juga tidak menyampingkan tindakan hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Siman­juntak, mengatakan bahwa  proses penghentian kasus korupsi di DPRD Ambon itu sesuai prosedur.

“Ya terkait itu kan tahap penye­lidikan, di mana Kajari Ambon su­dah terlebih dahulu melakukan pe­ngumpulan terhadap keterangan-keterangan. Kemudian berdasarkan fakta-fakta, mereka itu penghen-tiannya juga sudah dilakukan de­ngan ekspos di kejaksaan tinggi,” kata Simanjuntak, kepada wartawan, Rabu, (16/2), sebagaimana dilansir detiknews.

Leonard menyebutkan hasil eks­pos membuktikan kerugian keua­ngan negara senilai Rp 5,5 miliar su­dah dikembalikan, sehingga tidak ada lagi kerugian negara di kasus tersebut.

Dan hasil pemeriksaan ekspose di kejaksaan tinggi sebagaimana mu­ng­kin sudah disampaikan tadi bah­wa kerugian negaranya itu sudah dikembalikan,” jelas Leonard.

Kendati Kejagung bersikukuh kalau penghentian kasus tersebut sudah sesuai prosedur, namun me­nu­rut Wadjo, jika proses penghen­tian sudah sesuai prosedur, lalu ba­gaimanakah dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum di DPRD itu, karena hal ini justru tidak memberikan efek jera, tetapi korupsi akan semakin mudah tum­buh, dan penegakan hukum dalam upaya memberantas korupsi juga akan sulit dilakukan.

Sesalkan

Terpisah, akademisi Hukum Unidar, Rauf Pelu juga menyesalkan langkah Kejaksaan Agung yang tidak memerintahkan Kejari Ambon melanjutkan kasus itu, tetapi menghentikan kasus tersebut.

Menurutnya, sikap penghentian kasus ini justru membuka ruang tidak ada efek jera karena siapa saja bisa dengan mudahnya melakukan korupsi.

Penegakan hukum di Indonesia justru akan semakin buruk, dan proses penegakan hukum hanya berlaku bagi rakyat jelata, semen­tara para pejabat yang melakukan korupsi ketika dikembalikan kerugian negara, maka otomatis pasti akan dibebaskan karena kejaksaan telah menerapkan contoh yang demikian.

Potret penegakan hukum seperti apa yang musti ditegakan oleh kejaksaan jika tindakan praktek dugaan korupsi dengan gampang­nya dihentikan, dasar hukum apa yang digunakan untuk menghen­tikan kasus tersebut, dan begitu mudahkan aparat kejaksaan me­-nyam­pingkan pasal 4 UU Tipikor.

Selain itu, bagaimana memberikan efek jera bagi para penyelenggara negara dan pengelola keuangan yang melakukan penyelewenangan keuangan negara.

Tak Rasional

Pernyataan Kajari Ambon soal dugaan korupsi DPRD Kota, sangat tidak rasional dimana proses pengembalian kerugian negara juga cacat prosedur. Berdasarkan pasal 4 UU Tipikor No 31 Tahun 1999 pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara oleh oknum-oknum anggota DPRD Kota Ambon, tidak menghapus tindakan pidana yang dilakukan, apakah proses pengembalian tersebut pada saat penyelidikan ataupun penyidikan, tetapi pengembalian keuangan itu sudah membuktikan adanya tindak pidana perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum DPRD Maluku.

Demikian diungkapkan, akademisi Hukum Unpatti, George Leasa kepada Siwalima, Kamis (10/2) sore

Menurut mantan Dekan Fakultas Hukum Unpatti, George Leasa, pernyataan Kajari tidak rasional menurut hukum, karena pengem-balian keuangan negara telah membuktikan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oknum-oknum DPRD Kota Ambon.

Dikatakan, Kejari melakukan penyelidikan untuk mencari dan menemukan bukti  tentang sesuatu yang diduga terjadi tindak pidana, itu berarti bahwa ada dugaan kuat terhadap suatu terhadap mekanisme penggunaan anggaran yang tidak benar.

Dalam kasus ini, lanjut Leasa, Kejari seharusnya tidak saja fokus pada pengembalian kerugian negara, tetapi sesuai pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor, maka perbuatan pidana penggunaan anggaran itu yang dititik beratkan.

Prinsipnya, tegas Leasa, mengembalikan keuangan negara tidak menghapus pidana yang telah dilakukan oleh oknum-oknum di DPRD Kota Ambon, sehingga sebagai Kajari harus memberikan penjelasan tentang perbuatan pidana terhadap penggunaan anggaran apakah sudah sesuai dengan prosedur hukum ataukah tidak. (S-05)