AMBON, Siwalimanews – Penghentian penyelidikan kasus dugaan korupsi pe­nyalahgunaan anggaran Rp5,3 miliar di Sekretariat DPRD Kota Ambon justru bisa membuka ruang publik mempraperadilan Kejak­saan Negeri Ambon.

Alasan praperadilan ini karena, tidak ada bukti hu­kum yang memenuhi unsur dihentikannya kasus dugaan tindak pidana korupsi.

Padahal temuan BPK Rp 5,3 miliar sudah menjadi pe­tunjuk kuat bagi tim penyidik Kejari Ambon untuk mene­tapkan pelaku tindak pidana korupsi tersebut, apalagi indikasi perbuatan melawan hukum sudah ditemukan.

Demikian diungkapkan, akademisi hukum Unpatti, Sherlock Lekipiouw saat diwawancarai Siwalima me­lalui telepon selulernya, Selasa (8/2).

“kasus ini dari mula sudah menjadi sorotan publik dan energi publik yang cukup besar, tiba-tiba kemudian dihentikan dengan alasan subjektifitas dari tim penyidik kejaksaan dengan dalil bahwa telah terjadi pengem­balian kerugian negara,” katanya.

Baca Juga: KPK Periksa Sekda dan Istri Kim Fui

Sesuai dengan pasal 4 UU Tipikor pengembalian keru­gian keuangan negara atau perekonomian negara itu tidak menghapus tindak pidana yang dilakukan. Dari proses pe­nye­lidikan itu bukan soal aspek hukum yang diterapkan, atau norma hu­kum, tetapi ini menyang­kut pene­rapan hukum yang bermasalah.

“Jadi ini soal interpretasi dimana dalil argumentasi penyidik itu subjektif menurut penyidik, karena sudah ada pengembalian keru­gian negara, maka asas keman­faatan hukum, kerugian negara sudah dipulihkan,” ujarnya.

Tetapi pada sisi yang lain, katanya,  jika ditelusuri soal delik perbuatan hukumnya maka masih patut dipertanyakan, dan keputusan penghentian ini rawan digugat kembali melalui pra peradilan.

“Kalau dalil kejaksaan telah memenuhi asas kemanfaatan dan keadilan hukum, kemanfaat hukum yang bagaimana dan keadilan hukum seperti apa,” tanyakan.

Secara hukum, ungkap Sherlock, jika menggunakan argumentum  kontrario  maka kerugian negara yang dimaksudkan sekaligus menjadi bukti bahwa perbuatan pidana itu telah selesai.

“Nah kejaksaan harus berhati-hati, karena Mahkamah telah menyatakan konstruksi perbuatan korupsi itu adalah perbuatan hukum yang selesai. Jadi percobaan dalam korupsi itu dianggap selesai,” katanya.

Diungkapkan, Kejari Ambon menggunakan hak subjektifitas itu untuk menentukan bahwa kerugian negara sudah dikembalikan maka sudah selesai kasusnya, tetapi perbuatan hukumnya adalah bagaimana perbuatan hukum yang sudah terjadi.

“jadi kalau tidak ada temuan BPK berarti masalah ini biasa-biasa saja,” ujarnya.

Kata dia, penggunaan hak subjektifitas jaksa itu sebenarnya tidak harus mencederai rasa keadilan msyarakat, karena korupsi sudah ditetapkan sebagai kejahatan yang kuar biasa, sehingga penanganannya harus ekstra, padahal waktu sudah habis diproses penyelidikan dengan memeriksa begitu banyak saksi.

“Waktu habis dengan drama yang begitu delematisnya, endingnya selesai,” tuturnya.

Seharusnya, kata Sherlock, temuan BPK dalam  konstruksi KUHAP harus dijadikan sebagai bukti petunjuk, dan jika dilihat dari fakta hukum yang terjadi beradasarkan temuan BPK itu, ada rangkaian perbuatan yang dimainkan oleh oknum-oknum di DPRD.

“Kalau beta pendapat bukan soal uang negara dikembalikan, tetapi mereka (jaksa-red) juga harus menjelaskan, bagaimana kemudian dalam proses penyelidikan rangkaian perbuatan dalam satu rangkaian perbuatan hukum itu jaksa jelaskan ke publik,” tegasnya.

Ia menegaskan lagi, pengembalian uang negara bisa dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum karena tindakan pengambilan uang negara tersebut salah dan bertentangan dengan hukum, sehingga sudah seharusnya kasus ini ditingkatkan ke penyidikan.

“Kalau seperti ini sudah pasti spekulasi-spekulasi dan opini liar, tetapi dari sisi penegakan hukum sangat disayangkan ya. Dan ada peluang praperadilan. Karena SP3 ini adalah salah satu instrument dalam proses praperadilan,” ujarnya.

Yang bisa mengajukan praperadilan, tambahnya adalah kelompok masyarakat, orang per orang bisa melakukan praperadilan terhadap penghentian perkara tersebut.

Ia melihat kasus ini berbeda jauh dengan kasus dugaan korupsi pengadaan speedboat MBD yang diduga melibatkan mantan Kadishub MBD, Odie Orno, dimana yang bersangkutan telah mengembalikan kerugian negara, tetapi jaksa tetap proses hukum bahkan ketika diajukan praperadilan juga Odie menang tetapi tetap jaksa ajukan sampai ke pengadilan dan akhirnya dihukum.

Mestinya tim penyidk Kejari Ambon juga melakukan hal yang sama karena ada tindakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan, dimana pengembaliamn kerugian negara itu sudah membuktikan tindakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan, sehingga kasusnya tidak boleh dihentikan.

Kasi Intel Kejari Ambon, Djino Talakua yang dikonfirmasi terkait dengan berbagai pendapatan publik tentang penghentian kasus ini melalui telepon selulernya, namun tidak direspon.

MAki akan Lapor

MAKI segera melayang­kan laporan kepada Jaksa Agung, terkait langkah Kajari Ambon Dian Fris Nalle, yang salah kaprah dan kelewat batas.

Laporan kepada Jaksa Agung itu akan dibuat langsung oleh Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Sai­man, menyusul penghentian proses hukum kasus dugaan korupsi penyalahgunaan ang­ga­ran di Sekretariat DPRD Kota Ambon senilai Rp5,3 miliar.

Kajari Nalle beralasan peng­hentian proses hukum terhadap temuan BPK tahun 2020 itu karena seluruh kerugian negara telah dikembalikan. Padahal, pengembalian kerugian negara tersebut tidak serta merta menghapus proses pidana yang telah terjadi.

“Sesuai pasal 4 UU Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 dan pe­rubahannya berbunyi pengem­balian kerugian negara itu tidak menghapus pidana. Artinya pidana korupsi berapapun kalau itu ditemukan unsur korupsi, sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan pasal 3, pasal 5 suap misalnya, pasal 12 soal pemerasan atau perse­kongkolan jahat pasal 15, maka nilai Rp 1 juta pun tetap harus diproses hukum, apalagi ini nilainya Rp5,3 miliar. Yang masih jauh dari diwa­canakan Jaksa Agung kalau nilai Rp50 juta tidak boleh diproses,” jelas Boyamin kepada Siwalima me­lalui voice Whats App, Senin (7/2) siang.

Semestinya urai Boyamin, pe­ng­embalian kerugian negara oleh oknum-oknum DPRD Ambon men­jadi faktor pemberat, karena fungsi legislasi yaitu mengawasi penggu­naan angga­ran yang dilakukan oleh eksekutif dan tidak boleh menyim­pang.

“Ini mestinya menjadi faktor pem­berat karena apa, mereka seharusnya mengawasi penggunaan tetapi di­duga ada penyimpangan atau ada du­gaan korupsi maka segera dipro­ses, ibarat kata pagar makan tana­man,” ujarnya.

Meskipun telah ada pengembalian kerugian negara, lanjutnya, tetapi Kejaksaan Negeri Ambon tetap harus melanjutkan proses hukum kasus tersebut.

“Justru pengembalian itu uangnya harus disita menjadi barang bukti. Jadi kalau kemudian tidak dilanjutkan penyelidikannya, maka adalah salah kaprah,” tegasnya.

Ia mengungkapkan, Kejari Ambon telah keliru jika tidak melanjutkan proses hukum kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran di Sek­wan Kota Ambon, karena pengem­ba­lian keuangan negara bisa men­jadi bukti meringankan di penga­dilan.

“Kejaksaan Negeri Ambon keliru, Nah inilah yang harusnya diterus­kan dan biarkan pengadilan yang memutuskan, karena akan menjadi faktor yang meringankan di penga­dilan, karena sudah ada pengem­balian uang negara,” ujarnya.

Jika dalam proses penyelidikan itu, lanjut Bonyamin telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum maka seharusnya kasus ini tetap diproses hukum dan tidak boleh dihentikan.

“Jadi kalau duit Rp5,3 miliar ini terpenuhi unsur, terpenuhi cukup bukti ini biasanya oknum DPRD dalam beberapa proyek diduga biaya digelembungkan atau fiktif, misalnya kunjungan kerja 5 kali dilaporkan 7 kali, atau kegiatan-kegiatan fiktif lainnya, atau misalnya  oknum DPRD yang seharusnya me­ngawasi tetapi diduga menyimpang harusnya menjadi faktor pemberat untuk diproses hukum sesuai de­ngan ketentuan yang berlaku,” tegas­nya.

Lagi-lagi Bonyamin memastikan akan melaporkan kepada Jaksa Agung Bidang Pengawasan dan Komisi Kejaksaan, untuk menegur atau memberikan sanksi bagi Kajari Ambon yang tidak memproses kasus ini, dengan alasan uang sudah dikembalikan.

“Harusnya ditegur dan diberikan sanksi. Kita akan lihat apa tindakan dari atasannya, kalau menurut pro­ses hukum kita bisa ajukan gugutan praperadilan, tetapi nanti kita lihat dulu apa tindakan atasannya,” tegas Bonyamin. (S-05)