AMBON, Siwalimanews – Terdakwa kasus pela­nggaran UU ITE, Hen­drik Salmon akhirnya mengakui kesalahan­nya di hadapan majelis hakim Pengadilan Ne­geri Ambon. Salmon mengakui kesalahannya saat memberikan keterangan seba­gai terdakwa.

Kepada hakim, ter­dakwa Salmon meng­akui memposting kata-kata menghina di akun facebook miliknya pa­da 26 Agustus 2020, karena tersulut emosi. Dalam keterangannya ter­dakwa mengakui menulis per­nyataan kelakuan sama de­ngan binatang ditujukan ke­pada korban John Pasalbessy dosen Fakultas Hukum Un­patti.

Salmon yang adalah Wakil Dekan Bidang Adminstrasi Umum dan Keuangan Fakultas Hukum Unpatti itu sadar kalau perbua­tannya tidak pantas. “Ya benar,  saya yang menulis dan memposting kata-kata menghina di status  facebook tanggal 26 Agustus 2020, karena tersulut emos,” akui Salmon kepada makelis hakim pekan lalu.

Ketika ditanya hakim, menurut saudara apakah pernyataan kela­kuan sama dengan binatang itu pantas atau tidak, Salmon menja­wab, “sebagai dosen, saya menga­kui perbuatan itu memang tidak pantas, dan saya mengaku ber­salah,” pungkasnya.

Pengakuan terdakwa ini membe­narkan keterangan ahli bahasa Indonesia, Olivia Kumbangsila dalam sidang sebelumnya bahwa “menga­ta-ngatai manusia sama dengan binatang atau kelakuan manusia sama dengan binatang adalah kata-kata sangat tak pantas, tidak santun dalam budaya orang Maluku se­kaligus adalah perbuatan menghina korban John D.Pasalbessy.

Baca Juga: Jaksa-Polisi Diminta Usut Dugaan Korupsi DPRD Ambon

Penghinaan yang dilakukan ter­dakwa di facebook miliknya itu mengakibatkan semua orang dapat melihat status penghinaan tersebut, setidaknya semua orang yang ber­komentar di status tersebut telah mengakses dan mengetahui peng­hinaan tersebut. Mengakses berarti jalan masuk”, beber ahli bahasa Indonesia itu.

Begitupun ahli ITE, Ronny. Me­nurut Ronny, sepanjang informasi elektronik sudah diposting ter­dakwa, berarti terdakwa sudah membuat orang atau publik dapat mengakses informasi elektronik yang diposting. Kalau orang sudah komentar sebuah postingan infor­masi berarti postingan itu sudah dibaca, dan sudah diakses, meski tanpa ada emoji atau komentar.

Advokad Buce Hahury mene­gaskan, pengakuan terdakwa Hen­drik Salmon telah membuktikan unsur pidana. Dimana “membuat dapat diakses oleh pihak lain/publik, artinya, dapat dilihat, dibuka juga dapat dicopy, seperti screen shoot lalu dikirim ke pihak lain.

Dikatakan, pengakuan Salmon juga dibenarkan saksi fakta Semuel Yunus Uniplaita dan Desy Masombe bahwa postingan yang bersang­kutan mengandung konten penghi­naan. Hal ini karena ketika hakim menanyakan keterangan saksi Yu­nus Uniplaita dan Dessy Masombe, terdakwa Salmon tidak mengelak, yang bersangkutan malah membe­narkan keterangan kedua saksi itu.

Hahury yang juga kuasa hukum John Pasalbessy ini menjelaskan, penghinaan terjadi apabila suatu pernyataan tidak berdasarkan fakta dan bernada menista mengenai seseorang yang teridentifikasi dipublikasikan kepada pihak ketiga, sehingga menimbulkan kerugian terhadap reputasinya.

Menghina katanya berarti meru­sak, menodai reputasi atau nama baik seseorang atau sekelompok orang dengan cara-cara unfair seperti menyebarluaskan pernyataan yang tidak berdasarkan fakta. Sedangkan reputasi atau nama baik lebih banyak berbicara tentang karakter atau kepribadian seseorang.

“Mengidentikan kelakuan manu­sia sama dengan binatang sebagai­mana postingan terdakwa tanggal 26 Agustus 2020 pada profil facebook­nya menandakan terdakwa justru tidak menghormati harkat dan martabat korban sebagai makluk manusia,” tandas Hahury.

Meski begitu, Hahury menyesali keterangan terdakwa yang beralibi kepada hakim  kalau saat mem­posting tuduhan tersebut karena kelakuan korban John Pasalbessy saat menyatakan terdakwa covid itu sama dengan insting binatang.  “Ini keterangan palsu terdakwa, dan tuduhan liar tak faktual”, kata Hahury.

Demikian juga pernyataan ter­dakwa bahwa jika korban tidak diklarifikasi, kaki korban yang satu­nya akan dia patahkan. “Postingan ini tentu sangat menghina korban, apalagi korban adalah salah satu penyandang disabilitas, sehingga dengan seenaknya dan arogan tidak mengganggap korban sebagai seniornya,” tegas Hahury.

Berbohong

Meski terdakwa sudah mengaku bersalah, dan pengakuannya didu­kung dengan alat-alat bukti yang dihadirkan JPU, sehingga penga­kuan terdakwa telah membuktikan kesalahan perbuatan yang didakwa­kan JPU kepadanya, sehingga berlaku postulat “kejahatan meng­gambarkan kualitas yang buruk pada seseorang-malitia est acida, est mali animi affectus, namun terdakwa masih mau berkelit dengan membuat karangan bebas dan menyangkal dua keterangan saksi korban dan saksi fakta Zyano Pasalbessy.

“Bagaimana mungkin atau logika macam apa sehingga terdakwa dapat menyangkali suatu peristiwa pidana yang dialami korban, akibat per­buatan terdakwa?” Demikian pula halnya terhadap keterangan saksi Zyano Pasalbessy yang mendengar perbicangan dari karyawan Unpatti bahwa terdakwa terkonfirmasi Covid-19, namun terdakwa menuduh tanpa bukti seolah-olah korban dan saksi Zyano Pasalbessy yang se­barkan isu bahwa terdakwa positif Covid.  Karangan bebas terdakwa ini bukan saja tanpa bukti, me­lainkan bertentangan dengan kete­rangan saksi Johanis Talaperu. Dalam sidang pekan lalu, saksi Johanis Talaperu mengaku bahwa korban saat itu hanya bertanya kepada saksi sudah baca salah satu media online atau belum, karena ada insial nama HS, jangan-jangan itu Hendrik Salmon” dan itupun hanya dalam bentuk dugaan saja, serta tidak ada niat menyebarkan,” jelas Hahury.

Dikatakan, pertanyaan korban ini hendak mengkonfirmasi pemberi­taan media on line yang beritakan keterangan Gustu bahwa HS terkena covid. Sedangkan terdakwa tahu isu dirinya positif covid melalui telepon dari saksi Hikmah Madun dan Rosa Madun bekas bawahannya, yang keterangan kedua saksi ini sangat mungkin adalah keterangan bohong. Karena saksi korban tidak pernah bertemu langsung dengan kedua saksi ini.

Bukan itu saja, Hahury membe­berkan, terdakwa juga terkesan membuat banyak sekali karangan bebas untuk kelabui hakim dengan tujuan meringankan hukuman. Namun sayang karangan bebasnya kontradiksi dengan fakta-fakta hukum sidang sebelumnya.

Misalnya tentang empat kali me­diasi damai yang menurut terdakwa sudah empat kali mediasi. Padahal tidak benar. “Secara formil, sebe­tulnya hanya terjadi satu kali mediasi antara terdakwa dengan Pasalbessy yang adalah korban hate speech yakni pada tanggal 27 Mei 2021 bertempat di ruangan Warek II Unpatti Ambon, yang dimediasi oleh penyidik Reskrimsus Polda Maluku. Namun gagal”, ujar Hahury.

Menurut Hahury, pada saat me­diasi, terdakwa sempat menyatakan bersama kelurga siap lahir batin hadapi kasus pelanggaran ITE ini sampai di pengadilan.

“Saya dan keluarga sudah siap lahir batin menghadapi kasus ini di pengadilan nanti. Pak John Pasal­bessy itu pimpinan, saya juga pimpinan, sama-sama pimpinan, apalagi dia kan bukan Tuhan Yesus yang saya harus kejar kemana-mana minta ampun”, ungkap Hahury menirukan pernyataan terdakwa saat mediasi di hadapan mediator dan  Warek II Unpatti.

Setelah mediasi tanggal 27 Mei 2021 gagal, Hendrik Salmon resmi melaporkan dua rekannya Marciano Pasalbessy dan John Pasalbessy ke Krimum Polda Maluku, Kamis (24/6).

“Mana ada orang  berniat damai, tapi malah melapor lawannya yang mau diajak damai ke polisi?. Jadi  yang dikatakan terdakwa lakukan mediasi dengan korban sampai 4 kali hanya halusinasi terdakwa yang menunjukkan bahwa baik terdakwa maupun penasihat hukumnya, tak pahami syarat dan prosedur mediasi (restorative justice)”, tambah Ha­hury heran.

Masih kata Hahury, setiap kali mediasi di tingkat penyidikan dan pra penuntutan di kejaksaan, harus didahului adanya niat baik disertai perbuatan serius dan nyata dari pihak yang merasa bersalah dan melanggar hukum datangi korban dan keluarga apapun resikonya.

Sedangkan korban harus diberi hak penuh untuk menentukan dalam keadaan sadar dan bebas dari intimidasi siapapun untuk berdamai atau tidak. Selain itu, makna korban tak bisa dibatasi hanya kepada korban langsung/aktif, melainkan korban dalam arti luas yang meliputi keluarga kecil dan keluarga besar, apalagi korban hate speech berupa penistaan bisa mencakup peng­hinaan dan pencemaran nama baik fam atau marga.

Mediasi lanjut Hahury, harus dituangkan dalam berita acara mediasi, apapun hasilnya. Dari parameter hukum, pertanyaannya ada­lah, apakah mediasi di Krimsus Polda Maluku yang katanya terdakwa dimediasi oleh Kompol Lorens Werluka dengan acara doa dan berpelukan ala “teletubis” segala itu, bisa terdakwa buktikan. Sedangkan berita acara mediasi yang dikatakan terdakwa tidak ada dalam berkas perkara. Demikian pula tak ada mediasi di Kejati. Bila ada mediasi di tahap pra penuntutan, maka ter­dakwa harus buktikan adanya surat undangan dari kejaksaan kepada terdakwa dan korban lebih dulu, dan berita acara mediasi yang ditanda­tangani mediator dan kedua pihak yang berperkara.

“Bila kedua bukti ini tidak ada dalam berkas perkara, maka ketera­ngan terdakwa tentang adanya mediasi pada tahap pra penuntutan di Kejaksaan sebagaimana dikatakan terdakwa dalam sidang selasa kema­rin (09/11), hanyalah keterangan palsu di bawah sumpah, dan ter­dakwa sudah perangkapkan dirinya sendiri dan penasihat hukumnya dalam ketakpahaman mengenai syarat dan prosedur restorative justice sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Kapolri No.SE.6/X/2015, dan peraturan Jaksa Agung RI No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” pungkas Hahury.

Di bagian lain Hahury menyi­nggung sidang Kode Etik yang menurut terdakwa hasilnya tidak disimpulkan karena anak korban terlibat, hanyalah khayalan berle­bihan, irasional dan tidak benar.

“Bagaimana mungkin terdakwa sebagai terlapor dan terperiksa bisa tahu hasil sidang kode etik, se­dang­kan korban sebagai pelapor sendiri belum pernah diberitahu hasil pe­meriksaan sidang kode etik terse­but. Yang benar, hasil pemeriksaan sidang kode etik di Universitras Pattimura dengan terperiksa Hen­drik Salmon, tak ada hasilnya sampai sekarang dan pantas dipertanya­kan,” tegas Hahury. (S-32)