PUTUSAN PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang meminta KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 jelas merupakan tindakan inkonstitusional. Hakim yang memutus perkara a quo jelas-jelas telah melampaui wewenang yang diberikan konstitusi dan UU. Putusan hakim tersebut tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga patut diduga hakim pada perkara a quo telah melakukan pelanggaran kode etik. Pelanggaran atas konstitusi didasarkan pada ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan penyelenggaraan pemilu lima tahun sekali. Sebaliknya hakim justru memerintahkan untuk menghentikan tahapan pemilu yang sedang berjalan. Hakim memerintahkan KPU untuk memulai dari awal tahapan selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari, padahal hari pemungutan suara lebih kurang tinggal 11 bulan.

Putusan tersebut juga melanggar Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang telah membagi wewenang mengadili empat badan peradilan. Konstitusi telah menentukan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu telah diatur sedemikian rupa baik dalam UU Pemilu. Terhadap sengketa proses sebagaimana yang diajukan penggugat (Partai Prima), Bawaslu dan PTUN-lah yang diberi wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Pun jika hendak dibawa ke ranah perdata berupa perbuatan melawan hukum oleh penguasa, tetap tidak menjadi wewenang dari pengadilan negeri (PN). Hakim PN Jakpus mengesampingkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perma No 2/2019 yang menyatakan perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara.

Hal itu jelas berimplikasi pada batalnya putusan atau setidaknya dapat dibatalkan. Atas dugaan pelanggaran tersebut, mekanisme banding yang diajukan KPU diharapkan dapat memberikan koreksi atas putusan a quo. Hakim pada tingkat banding dapat mengoreksi putusan PN Jakpus terutama menyangkut komptensi mengadili. Terhadap kerugian yang diderita Partai Prima, harus dikembalikan pada upaya pemenuhan hak keperdataan mereka sebagai partai politik.   Dugaan pelanggaran etik Terhadap hakim yang mengadili, haruslah dilakukan pemeriksaan karena patut diduga telah melanggar pedoman kode etik yang tertuang dalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Setidaknya terdapat tiga dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim PN Jakarta Pusat. Pertama, hakim diduga telah melanggar Pasal 12 ayat (1), yakni hakim harus bersikap disiplin yang bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Hakim jelas meyakini hal yang bertentangan dengan UU karena tetap mengadili perkara yang bukan menjadi wewenangnya. Kedua, hakim telah melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b yang mana wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

Putusan itu jelas telah meruntuhkan kepercayaan publik karena telah menimbulkan kegaduhan dan gangguan atas tahapan pemilihan umum. Ketiga, hakim tidak bersikap profesional sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1). Hakim semestinya memiliki sikap moral yang dilandasi tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas. Putusan menunda pemilu oleh hakim perdata patut diduga tidak didasarkan pada keahlian, dasar pengetahuan dan keterampilan di bidang kepemiluan atau setidaknya tata usaha negara yang menjadi ranah PTUN. Selain dugaan melanggar etik, hakim secara terang benderang patut diduga melanggar ketentuan Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, yang mengharuskan suatu putusan pengadilan memuat alasan dan dasar putusan, pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Dalam hal itu hakim jelas keliru menggunakan dasar hukum, baik terkait dengan wewenang mengadili maupun perintah untuk menghentikan tahapan yang bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, terhadap hakim yang ber­sangkutan haruslah dimintakan pertangg­ungjawaban secara etik. Merujuk pada Pasal 53 UU Kekuasaan Kehakiman, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. Per­tanggungjawaban dimaksud terutama menyangkut pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. Baik Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial harus segera bertindak meskipun tanpa adanya laporan dari masyarakat atas dugaan pelanggaran etik tersebut.

Baca Juga: Media Sosial dan Tindak Kekerasan Remaja

Penegakan etik akan berimplikasi pada pengembalian kepercayaan publik terhadap proses peradilan. Selain itu, menjadi pengingat bagi para hakim untuk tidak bertindak di luar kompetensi peradilan masing-masing. Jika itu dibiarkan, justru akan menimbulkan kegaduhan dan rawan dipolitisasi mengingat dampak yang timbul.

Sesuai dengan Pasal 18 Peraturan Bersama MA dan KY terhadap hakim yang memutus, dapat diberikan sanksi berat karena telah menimbulkan kegaduhan ketatanegaraan. Selain itu, bukan tidak mungkin hasil pemeriksaan akan berujung pada proses pidana manakala terbukti putusan diambil atas pengaruh hal-hal di luar hukum. Untuk itu, publik perlu mendorong dan mengawal MA atau KY untuk segera bertindak dan memasti­kan proses yang dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hasil pemeriksaan penting dibuka kepada publik sebagai pembuktian bahwa putusan PN Jakpus bukanlah bagian dari konspirasi penundaan pemilu yang digaungkan sebagian pihak.Oleh: Charles Simabura Dosen HTN dan peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas.