AMBON, Siwalimanews – Polimik  pembongkaran dan pembangunan kembali sejumlah lapak dalam kawasan Terminal Mardika yang dikeluhkan para supir angkot, mendapat perhatian dari sejumlah pihak, termasuk DPRD Kota Ambon yang mempertanyakan kewenangan dari PT Bumi Perkasa Timur dalam mengelola pasar dan Terminal Mardika.

Untuk mengetahui hal itu, maka Komisi III DPRD Kota Ambon, menggelar rapat dengar pendapat dengan menghadirkan pihak Disperindag Kota Ambon, Satpol PP, Dinas Perhubungan Kota Ambon maupun Dinas Perhubungan Provinsi Maluku.

Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi III DPRD Margaretha Siahaya didampingi Wakil Ketua Komisi, Mouretz Tamaela dan dihadiri sejumlah anggota komisi yang berlangsung di ruang paripurna utama DPRD Baileo Rakyat Belakang Soya, Kamis (23/2) itu, mayoritas anggota komisi mempertanyakan keabsahan dari PT Bumi Perkasa Timur.

Pasalnya, komisi menilai, perusahaan itu terlalu seenaknya bertindak di kota ini, tanpa berkoordinasi dengan pemkot sebagai tuan rumah untuk kawasan yang saat ini dibongkar .

“Emang siapa itu PT Bumi Perkasa Timur, seenaknya bertindak dalam kota ini tanpa berkoordinasi dengan pemkot yang punya rumah dan punya kewenangan dalam kawasan itu. Kalau memang ada pengalihan kewenangan soal pengelolaan dalam terminal, bagaimana bisa selaku mitra pemerintah kami di DPRD tidak tahu. Kita juga harus lihat isi kesepakatan itu seperti apa,” tegas anggota Komisi III Lucky Upulattu Nikijuluw dalam rapat itu.

Baca Juga: Komisi I: Pejabat Tersangkut Kasus Korupsi Harus Diganti

Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, itu menjadi kewenangan Pemerintah Kota, bahwa, jika kemudian ada lahan seluas 6,6 hektar berdasarkan MoU tahun 1987, pengelolaan ruko itu adalah milik pemprov itu tidak menjadi persoalan, tetapi sepanjang terminal itu menjadi kewenangan Kota Ambon, maka ini harusnya dibicarakan secara baik.

“Anehnya adalah, kalau ini mau ditata supaya ruko ini lebih baik, lalu kenapa ada pembangunan lapak lagi. Ada apa ini? Untuk itu, ini harus dibicarakan secara baik antara pemprov dan pemkot, supaya kita tidak tabrak regulasi, bagi saya intinya disitu, sebab tidak ada lain kalau amanat yang didelegasikan kepada pemkot, maka itu harus menjadi kewenangan kami, walaupun itu milik pemprov, karena ini amanat aturan,” tegasnya.

Disisi lain, para pedagang ini adalah warga kota, sehingga tidak semestinya ada perlakuan-perlakuan yang menyengsarakan mereka. Untuk itu, harus ada kolaborasi antara Komisi III dan II, dengan menghadirkan seluruh pihak terkait, termasuk OPD untuk membicarakan persoalan ini, demi menghindari adanya aksi-aksi lanjutan, bahkan kontak fisik antar pedagang, supir dan pihak lain.

Hal senada juga disampaikan anggota komisi lainnya Hary Putra Far Far, bahwa ini murni ada kepentingan kelompok-kelompok tertentu, kemudian membenturkan pemerintah dalam persoalan ini.

Pasalnya, jika bicara menyangkut pasar dan terminal, itu berarti bicara tentang hajat hidup orang banyak, yang tentunya beraktivitas didalamnya, untuk itu, dalam kebijakan dan keputusan yang diambil harusnya juga mencakup kepentingan mereka yang ada didalamnya, yakni para pedagang dan supir angkot.

“Ada juga pedagang yang miliki ruko didalamnya, tidak boleh dikesampingkan. Kebijakan yang diambil juga tidak boleh menyeleweng. Kita mau kebijakan dan keputusan yang diambil benar-benar muaranya untuk kepentingan banyak orang, sehingga terlepas dari segala perjanjian dengan pihak ke tiga itu, tapi juga harus menghargai keberadaan pemkot,” tandasnya.

Menurutnya, ini hanya soal miskomunikasi serta kurangnya koordinasi antara pemprov dan pemkot, sehingga kedepan harus lebih dibijaki demi kebaikan bersama.(S-25)