Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku telah menetapkan, Ferry Tanaya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea, Kabupaten Buru.

Selain Ferry, mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa juga ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-750/Q.1/Fd.1/05/2020, tanggal 08 Mei 2020.

Ferry Tanaya dan Abdul ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Maluku dalam kasus yang merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar itu, dan diancam dengan Pasal  2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan UU Nomor  20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa, Kecamatan Namlea yang dibeli oleh PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara untuk pembangunan PLTG 10 megawatt tahun 2016 adalah milik Ferry Tanaya.

Sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2, namun diduga ada kongkalikong  antara Ferry, PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan pihak BPN Kabupaten Buru untuk melakukan mark up.

Baca Juga: Pembatasan Kegiatan Masyarakat

Jika transaksi antara Ferry Tanaya dan PT PLN didasarkan pada NJOP, harga lahan yang harus dibayar PLN hanya sebesar Rp.1.751.238.000. Namun NJOP diabaikan. PLN menggelontorkan Rp.6.401. 813.600 sesuai kesepakatan dengan Ferry Tanaya.

Kita tentu saja memberikan apresiasi bagi tim penyidik Kejati Maluku yang sudah menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea, Kabupaten Buru, tetapi desakan untuk juga mengejar tersangka lain yang diduga terlibat dan memiliki peranan penting dalam kasus tersebut, yang pada akhirnya terjadinya dugaan mark up yang merugikan negara Rp 6 miliar lebih menjadi harapan masyarakat.

Pihak PLN yang diduga memiliki peranan penting mengabaikan NJOP sebesar Rp 1,7 miliar lebih dan menggelontarkan Rp 6,4 miliar lebih sesuai dengan kesepakatan pengusaha kayu ternama, Ferry Tanaya.

Tim penyidik Kejati Maluku diharapkan untuk tidak mengabaikan pembelian lahan yang mengabaikan NJOP, yang menjadi penyebab terjadinya kerugian negara, tetapi juga berupaya maksimal untuk mencari bukti-bukti yang kuat atas dugaan keterlibatan pihak.

Hal ini penting agar penyidik Kejati Maluku tidak dinilai melindungi pihak-pihak tertentu dan hanya mengejar Ferry Tanaya sebagai pemilik lahan dan Abdul Gafur Laitupa, mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah sebagai tersangka saja.

Jika memang ada bukti-bukti dugaan keterlibatan pihak lain, dalam hal ini PLN yang mengabaikan NJOP dalam pembelian lahan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea, Kabupaten Buru maka harus juga dikejar, dan bukan dilindungi atau diloloskan dalam kasus tersebut.

Dugaan mark up atas pembelian lahan tersebut yang mengabaikan NJOP tentu saja bertentangan dengan hukum. karena itu semua orang oknum-oknum yang diduga terlibat dalam pembelian lahan untuk  pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea, Kabupaten Buru harus juga dijerat, dan bukan Ferry dan Abdul.

Publik tentu saja berharap, kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea, Kabupaten Buru bisa tuntas, dan tim penyidik Kejati Maluku mengejar tersangka lain jika bukti-bukti adanya keterlibatan pihak lain itu kuat. Maka harus juga ditetapkan sebagai tersangka. Apakah ada tersangka lain ataukah tidak? itu semua tergantung tim Kejati Maluku sendiri. Tetapi yang sangat diharapkan, tidak ada upaya untuk melindungi siapapun, karena semua orang sama didepan hukum. (*)