Penyerapan dana desa yang terus meningkat setiap tahun menjadi catatan emas bagi pemerintah. Pasalnya, muncul anggapan serapan anggaran yang tinggi tentunya menumbuhkan kesejahteraan dan perekonomian pedesaan.

Namun demikian, ada catatan merah perihal dana desa akibat tingginya angka korupsi. Yang semakin membuat miris, anggaran desa menempati peringkat korupsi terbanyak dari 9 sektor lainnya pada 2018. Indonesia Corruption Watch (ICW) baru saja merilis laporan bertajuk Tren Penindakan Korupsi 2018. Jumlah kasus mencapai 454 kejadian dengan kerugian negara Rp5,6 triliun. Kasus itu melibatkan 1.087 tersangka.

Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Sofyan Sjaf menilai dana desa ini ibarat ‘kepala di lepas, ekor diikat’. Perumpamaan itu mengacu pada fakta bahwa dana ditransfer cash ke rekening desa, namun penggunaan diatur melalui Peraturan Pemerintah Desa (Permendes).

Anggaran desa yang paling rawan dikorupsi mencakup tiga sub sektor, yakni Anggaran Dana Desa (ADD), Dana Desa (DD), dan Pen­dapatan Asli Desa (PAdes). Selain itu, sektor sosial kemasyarakatan, seperti dana bencana alam, juga rentan disalahgunakan.

Minim keterlibatan warga ini berdampak terhadap longgarnya pengawasan dari warga terhadap penggunaan dana desa. Adapun, hal itu membuat RPJMdes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) sebagai basis perencanaan desa seringkali berbeda dengan RKP (Rencana Kerja Pemerintah desa.

Baca Juga: Menunggu Sikap Berani DPRD Maluku

Mengapa? Selain karena pengaturan yang top Down (Permendes) juga dikarenakan persoalan data yang tidak akurat. Sehingga indikator pencapaian pembangunan desa tidak bisa terukur.

Di Provinsi Maluku sendiri, beberapa tahun terakhir ini baik penyidik kejaksaan maupun kepolisian telah menetapkan Kepala Desa/Raja dan perangkat negeri/desa lainnya sebagai tersangka korupsi dana desa dan alokasi dana desa.

Mereka telah diproses hukum dan menjalani hukumannya yang bervariasi. Tapi ada juga yang masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan penyidik.

Beberapa hari terakhir ini, publik disuguhkan dengan pemberitaan terkait penyalahgunaan dana desa oleh aparatur pemerintah negeri/desa di Provinsi Maluku, baik itu kepala desa/raja maupun staf pemerintah desa/negeri lainnya.

Sebut saja Kepala Pemerintahan Negeri Administrasi Tobo, Kecamatan Werinama, Kabupaten SBT, Nizar Alkatiri.

Ia harus menekam dibalik jeruji besi karena divonis 9 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Maluku. Alkatiri terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dana desa tahun 2016-2018, yang merugikan negara sebanyak Rp 1.341.655.610.

Putusan Pengadilan Tinggi Maluku itu lebih tinggi dari vonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Ambon yang sebelumnya hanya memvonisnya 6 tahun penjara.

Adanya kasus yang menyeret oknum aparatur desa, menjadikan pengelolaan keuangan dana desa benar-benar sangat perlu dikawal, dan diawasi oleh semua lapisan.

Tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan desa merupakan segala tindakan yang dapat merugikan keuangan maupun perekonomian negara maupun desa.

Banyak fenomena yang menjerat aparatur desa khususnya kepala desa, dalam pengelolaan keuangan dan dana desa. Korupsi me­nyebabkan kerugian bagi negara dan masyarakat, menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan, dan korupsi berdampak pada psikologis orang terdekat.

Pemberantasan tipikor dapat dilakukan dengan upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa, upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Untuk memerangi kasus korupsi di pedesaan maka pertama, warga dan perangkat desa harus kritis serta aktif memantau aliran dana desa. Jangan sampai anggaran itu diselewengkan oleh pemerintah daerah, ataupun pemerintah pusat.

Kedua, Inspektorat Daerah harus mengetatkan pengawasan anggaran desa. Independensi di Inspektorat Daerah juga diperlukan agar tidak ada intervensi yang dilakukan Kepala Daerah terkait fungsi pengawasan.(*)