Bukti Penetapan Tanaya Tersangka Cacat Diungkap
AMBON, Siwalimanews – Sidang praperadilan Ferry Tanaya terhadap Kejati Maluku atas penetapannya sebagai tersangka dugaan korupsi pembelian lahan PLTG Namlea, Kabupaten Buru, Rabu (16/9) digelar.
Dalam sidang perdana itu, tim pengacara mengungkap bukti-bukti penetapan Tanaya sebagai tersangka oleh Kejati Maluku tidak sah.
Ketua Tim Pengacara Tanaya, Herman Koedoebon mengungkapkan tiga alasan mendasar yang membuat pihaknya mengajukan praperadilan.
Pertama, penetapan Ferry Tanaya sebagai tersangka tidak sah. Alat bukti yang digunakan penyidik tidak cukup. Pasahal sesuai KUHAP, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan dua alat bukti.
“Kita menganggap dua bukti permulaan yang cukup itu tidak terpenuhi dalam penetapan Ferry sebagai tersangka,” ujar Koedoebon.
Baca Juga: Jaksa Jangan Main-main di Korupsi Tugu Trikora dan Air BersihKedua, tanah yang dibeli UIP PLN Maluku untuk pembangunan PLTG Namlea adalah tanah milik Ferry Tanaya sejak tahun 1985 berdasarkan akta jual beli Nomor 14/PPAT/1985 yang ditandatangani oleh pejabat PPAT Namlea Drs. U. Rada. Selain itu, tanah pembangunan bukanlah milik negara.
Pernyataan jaksa tidak benar. Hal tersebut telah dikualitisir sebagai persengketaan hak milik atau hak kekuasaan yang dilepaskan, sehingga menimbulkan kesimpulan hukum yang dipakai penyidik untuk menjerat Ferry.
Alasan ketiga, penetapan Ferry sebagai tersangka dilakukan tanpa mengeluarkan surat perintah penyidikan. Seharusnya, surat itu menjadi dasar penetapan seseorang sebagai tersangka.
“Surat penyidikan itu sebagai sarana sebagai bukti, lalu ditemukan tersangka. Tapi ini malah sebaliknya. Pertanyaannya alat bukti apa yang dijadikan untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka. Kalau pun ada alat bukti, alat bukti tersebut diperoleh secara hukum dengan media apa?,” tandas Koedoeboen.
Selain itu, surat perintah penyidikan juga tidak disebutkan dalam surat pemanggilan. Pihaknya baru mengetahui surat tersebut telah diterbitkan sejak 30 April 2019, saat pemeriksaan dilakukan pada 31 Agustus lalu.
“Kenapa tidak disebutkan dalam pemanggilan? Suratnya hanya disebutkan saat pemeriksaan. Berarti ini ada kejanggalan administrasi penyelidikan. Pasalnya, penyidik butuh waktu yang cukup panjang untuk penetapan tersangka,” tandas Koedoeboen lagi.
Tiga hal tersebut pun menjadi alasan praperadilan diajukan. Proses selanjutnya, diserahkan pada pengadilan untuk menetapkan sah atau tidaknya proses penetapan tersangka, penyitaan bukti maupun penahanan Ferry.
Sidang praperadilan itu dipimpin hakim Ismail Wael. Pemohon diwakili kuasa hukumnya, Herman Koedoeboen, Henry Lusikooy, dan Firel Sahetapy. Sedangkan, pihak Kejati Maluku selaku termohon dihadiri Y. E. Oceng Almahdaly, M. Rudi, Novita Tatipikalawan.
Setelah mendengar pembacaan gugatan, hakim menunda sidang hari ini untuk mendengar jawaban termohon.
Untuk diketahui, Kejati Maluku menahan Ferry Tanaya dan mantan Kasi Pengadaan Tanah BPN Buru, Abdul Gafur Laitupa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan PLTG di Namlea, Senin (31/8).
Tanaya dan Laitupa ditahan di Rutan Polda Maluku Tantui. Penahanan dilakukan selama 20 hari sejak 31 Agustus 2020 sampai 19 September 2020.
Jawab Tantangan Kajati
Setelah sempat diam, Ferry Tanaya akhirnya bersuara menanggapi tuduhan-tuduhan yang disampaikan pihak Kejati Maluku.
Dalam rilisnya kepada Siwalima Rabu (16/9), Tanaya mengaku dirinya tidak pernah mengembalikan uang kepada pihak PLN. “Dalam hidup saya, satu rupiah pun saya tidak pernah berikan atau kembalikan ke PLN,” kata Tanaya.
Ia mengatakan, tidak etis berpolemik di media massa, namun karena Kajati menantangnya, maka mau tidak mau yang bersangkutan harus terbuka ke publik persoalan yang sesungguhnya.
“Saya diminta untuk buka-bukaan dan hal tersebut telah menyangkut nama baik saya walaupun memang sudah dicemarkan. Maka perlu saya menanggapi apa yang dimintakan bapak Kajati melalui media. Namun sebelum saya menanggapi tantangan bapak, selaku orang beragama terlebih dahulu saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kepada saya perasaan takut akan Tuhan bila melakukan suatu kebohongan terhadap sesama manusia,” ungkapnya.
Dikatakan, dengan tidak berbohong hal tersebut merupakan pegangan dan pedoman baginya dalam menjalani hidup kedepan. Ia juga bersyukur kepada Tuhan karena terlahir dari keluarga yang sangat takut untuk berbohong.
“Telinga saya masih tergiang-ngiang akan petuah almarhum ayah saya yaitu kalau kamu berbohong di pasar (maksudnya orang banyak), nilai hidupmu tidak lebih dari sampah busuk. Bahkan sampah busuk pun masih berguna bila dijadikan humus untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu saya menjawab tantangan bapak Kajati Maluku dengan selalu mengedepankan prinsip kejujuran tersebut yang akan saya pertanggungjawabkannya, baik dihadapan manusia maupun di hadapan Tuhan,” tandas Tanaya.
Menurutnya, jangankan Kajati Maluku penjarakan yang bersangkutan seperti saat ini, tapi Tanaya yakini suatu saat Tuhan pasti memberikan petunjuk kepada orang-orang benar, sekalipun moncong meriam diletakan dimulutnya.
“Saya tetap akan berkata jujur bahwa tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi satu rupiah pun yang saya kembalikan kepada pihak PLN ,” ujarnya.
Akhlak dan moral tambah Tanaya tidak akan mau berdusta sekalipun nyawa taruhannya. “Dalam kasus yang tengah menggorogoti saya, sebaliknya pihak PLN melalui Kepala PLN Wilayah IX Maluku yang berterima kasih kepada saya karena saya sudah bersedia untuk melepaskan hak milik saya (areal dusun kelapa saya) demi kepentingan umum. Bukan sebaliknya seperti yang bapak tudingkan kepada saya,” ungkap Tanaya.
Tanaya menegaskan, jangankan ada unsur kongkalikong, kenal saja dengan pihak PLN tidak dikenalnya. Kecuali pada saat penyerahan biaya ganti rugi dan setelah permasalahan ini mulai terekspos di media masa,.
“Saat itu saya pernah dijemput dari kediaman saya di Jakarta oleh bagian hukum PLN pusat untuk menghadiri rapat dengan pihak mereka yang mana saat itu mereka (pihak PLN) dalam kondisi sangat ketakutan atas informasi bahwa pihak meraka mau ditersangkakan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku. Dan setelah mendengar perbincangan dalam rapat tersebut, saya mengusulkan kalau memang benar adanya informasi seperti itu, maka saya bersedia mengembalikan biaya ganti rugi yang telah saya terima dari pihak PLN dan pihak PLN kembalikan lahan saya. Tetapi usulan saya tersebut tidak disetujui oleh pihak PLN dengan alasan bahwa ini proyek strategis untuk kepentingan rakyat banyak. Disinilah saya menilai bahwa pihak PLN benar-benar bekerja demi kepentingan masyarakat walaupun mereka dalam posisi yang dilematis karena tertekan,” beber Tanaya.
Dijelaskan, pihak PLN sadar bahwa mereka digaji oleh rakyat untuk itu mereka juga harus bekerja untuk kepentingan rakyat dan bukan sebaliknya.
“Saya bersyukur ternyata ada abdi negara yang berintegritas dan ini harus diapresiasi. Jangan sebaliknya kekuasaan dipakai untuk mencari-cari kesalahan orang. Media digunakan untuk pembentukan opini seakan-akan ada unsur korupsi dengan mark up harga ganti rugi yang sama sekali tidak mendasar,” urai Tanaya.
Tanaya mempertanyakan jabatan seorang Kepala Kejaksaan Tinggi bukan jabatan yang sembarangan yang sudah tentu seorang Kajati dalam memberikan suatu pernyataan melalui media masa itu pasti terukur dan tertanggungjawab serta sudah punya bukti yang akurat.
“Nah kalau memang bapak Kajati sudah punya bukti bahwa antara saya dengan pihak PLN terdapat unsur kongkalikong, dimana saya ada mengembalikan sejumlah uang kepada pihak PLN dari biaya ganti rugi yang saya terima, kenapa pihak PLN sebagai penerima tidak ditetapkan juga sebagai tersangka agar kemudian kami bisa dikonfrontir apakah benar hal tersebut terjadi. Ini memang aneh!! ataukah penegakan hukum di negara tercinta ini hanya diperuntukan kepada orang-orang yang berlatar belakang seperti saya, ataukah ada motif lain. Fitnah itu kejam bapak Kajati apalagi fitnah untuk mencari pembenaran,” cetus Tanaya.
Ia menambahkan, ingin menyikapi sejumlah pernyataan Kejati Maluku melalui media massa sejak tahun 2017 yang mana itu merupakan suatu perbuatan fitnah dan tuduhan yang sangat keji bahwa antara saya dan Didik Sarmadi pihak PLN ada kongkalikong menggelembungkan harga ganti rugi diatas NJOP.
“Untuk diketahui saya sama sekali tidak mengenal yang namanya Didik Sarmadi. Bagaimana mungkin orang yang saling tidak mengenal bisa bekerja sama melakukan suatu kegiatan yang begitu sensitif. Apakah sudah pernah Kejati memintai keterangan dari yang namanya Didik Sarmadi menyangkut apa yang saudara tudingkan. Benar-benar membingungkan saya, karena semua cara dan semua jurus digunakan dengan begitu hebatnya untuk pembentukan opini yang bertujuan mendiskreditkan saya,” beber Tanaya.
Tuduhan ini lanjutnya berulang kali dan disampaikan ke sejumlah media di Kota Ambon. Tanaya yakin pihak-pihak di Kejaksaan Tinggi Maluku yang terlibat dalam proyek pembangunan PLTGM di Kabupaten Buru tahu persis bahwa harga ganti rugi tanah oleh pihak PLN untuk kepentingan PLTGM adalah Rp. 125.000/M2 karena penentuan harga tersebut disosialisasikan oleh pihak Kejaksaan Tinggi Maluku terhadap puluhan pemilik lahan yang lahannya juga dibebaskan oleh pihak PLN untuk proyek yang sama.
Yang mengherankan juga ada pihak Kejaksaan Tinggi Maluku yang melakukan sosialisi secara umum bahwa harga ganti rugi adalah Rp. 125.000/M2 yang katanya adalah harga pasar yang ditentukan pihak PLN berdasarkan perhitungan dari apraisal.
“Saat yang sama pula pihak Kejaksaan Tinggi Maluku melakukan penyelidikan adanya dugaan mark up biaya ganti rugi yang diterima Fefry Tanaya yaitu Rp. 125.000/M2 yang katanya terdapat unsur kongkalikong antara saya dengan Didik Sarmadi dalam bentuk mark up. Kenapa Kejaksaan Tinggi Maluku tidak melakukan pemeriksaan terhadap apraisal dan tersangkakan mereka. Apa karena takut atau tidak ada manfaat atau faedahnya. Dan setelah saya ditahan baru Kajati Maluku menantang di media massa agar Ferry Tanaya buka- bukaan berapa jumlah uang yang dikembalikan kepada pihak PLN,” ungkap Tanaya.
Tanaya heran bagaimana mungkin begitu banyak pihak yang menerima ganti rugi dengan harga yang sama dengan yang yang ia terima, namun dirinya yang ditetapkan sebagai tersangka.
“Atau mungkin karena saya berlatar belakang pengusaha sehingga harus jadi tersangka? Ini catatan sejarah penegakan hukum di negeri tercinta ini,” ujarnya.
Secara pribadi kata Tanaya, ia sangat mendambakan keberadaan kejaksaan sebagai salah satu institusi penegak hukum di negara ini, karena tugas yang diemban institusi tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dan hal ini juga terlihat dari sejumlah penegasan Jaksa Agung diantaranya pada acara pelantikan Kajati Maluku di Aula Baharuddin Lopa Kejaksaan Agung pada tanggal 5 Agustus 2020 lalu.
Saat itu Jaksa Agung berpesan hindari kriminalisasi atau mencari-cari kesalahan para pembuat kebijakan serta penanganan perkara tindak pidana korupsi harus cermat, teliti dan menggunakan hati nurani.
“Apakah Bapak Kajati Maluku tidak mendengar atau lupa himbauan Jaksa Agung tersebut. Biarlah para penguasa dunia berbuat sesuka hati atas kekuasaan yang Tuhan titipkan kepada mereka, tetapi Tuhan juga yang akan menilainya,” pungkas Tanaya.(Cr-1/S-32)
Tinggalkan Balasan