HINGAR bingar politik, semakin sering terdengar dalam tahapan Pemilu 2024 yang hampir setengah jalan menuju pemungutan suara.

Di tengah perjalanan ini, ada bayang-bayang gelap yang harus disingkap demi menjaga muruah demokrasi, sekaligus menjamin kedaulatan negara dan pemerataan pembangunan.

Bayang-bayang itu bernama pencucian uang, yang menyusupi ‘uang hitam’ ke dalam mekanisme pendanaan partai politik dan kampanye calon presiden, maupun calon anggota legislatif.

Tantangan uang hitam ini, bisa berasal dari hasil kejahatan atau sumber lain yang dilarang regulasi, seperti pihak asing. Dari riset persiapan pemodalan pemilu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan bahwa saat ini risiko pencucian uang melonjak signifikan. PPATK juga mendapati aliran dana hasil tindak pidana lingkungan, mulai penambangan ilegal, pembalakan liar, hingga illegal fishing.

Uang hitam dalam jumlah besar tersebut, mengalir kepada para politikus, atau pengurus parpol untuk kebutuhan pemodalan Pemilu 2024. MI/Duta   Limit sumbangan Temuan PPATK merupakan alarm bagi pemangku kepentingan penyelenggaraan pemilu, aparat penegak hukum dan masyarakat. Sebab, regulasi pendanaan parpol maupun kampanye masih memiliki celah hukum, yang memungkinkan uang hitam merembes ke dalam pemodalan pemilu.

Baca Juga: Pemerolehan Bahasa Pada Anak Usia Dini

Menurut Pasal 35 UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, seseorang yang menjadi anggota parpol bisa memberikan sumbangan tanpa batas.

Ketiadaan limit sumbangan dapat menimbulkan risiko pemilu sebagai mesin cuci kepentingan asing atau hasil kejahatan. Barnett & Sloan (2018) mencatat, ada beberapa modus pencucian uang dalam pemilu. Misalnya dengan dalih pinjaman pribadi, membuat transaksi bisnis fiktif atau pendanaan proyek, maupun ormas yang sengaja dibuat untuk kepentingan pemilu. Modus itu, intinya pengaburan asal-usul dana ilegal.

Dana yang asal-usulnya kabur, sangat mungkin mengalir lewat orang yang sah menurut hukum.

Tahun 2017, Komisi Pemilihan Umum Inggris menyelidiki sumbangan politik seorang pengusaha, sekaligus simpatisan UK Independence Party (UKIP), Arron Banks. KPU Inggris mempertanya­kan apakah sumbangan Banks berasal dari pihak lain yang tidak sah secara hukum.

Penyelidikan dimulai setelah sebuah media Inggris melakukan investigasi terhadap struktur bisnis Banks.

Di balik penampilannya sebagai pengusaha sukses yang meyakinkan, bisnis Banks rupanya menyimpan masalah keuangan.

Investigasi media menemukan, bahwa kekayaan dan hasil usaha Banks tak sebanding dengan sumbangan politiknya yang besar. Ada indikasi keterkaitan kasus pencucian uang dan keterlibatan pihak asing.

Pihak asing Pasal 339 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang tegas melarang sumbangan dana kampanye berasal dari pihak asing, maupun hasil tindak pidana. Namun, karakteristik kejahatan pencucian uang akan selalu membuat asal-usul aliran dana yang tidak sah sulit dilacak. Sebab, selalu ada proses penyamaran melalui tahap menyembunyikan, mengubah, dan mentransfer dana yang ilegal sehingga seolah-olah dana tersebut legal.

Menurut data Center for Responsive Politics, dalam pemilu Amerika Serikat tahun 2012 perusahaan asing menyalurkan sumbangan politiknya melalui anak usaha dalam negeri ataupun karyawan

. Misalnya UBS, grup perbankan asal Swiss, menggelontorkan hingga hampir US$900 ribu. Anheuser-Busch yang terafiliasi dengan perusahaan Belgia mengalokasikan lebih dari US$800 ribu, sedangkan BAE Systems, perusahaan persenjataan asal Inggris, mengucurkan lebih dari US$700 ribu.

Di era globalisasi yang mengaburkan batas-batas negara, pengaruh pihak asing juga sangat mungkin merasupi aliran pemodalan pemilu secara tidak langsung. Regulasi pendanaan pemilu Amerika Serikat jelas melarang perusahaan asing mengarahkan, atau memengaruhi anak usaha domestiknya. Namun, di lapangan sulit memastikan anak usaha independen dari kepentingan peru­sahaan asing induk mereka.

Tam­paknya, perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia, agar uang hitam jangan sampai mengalir kepada para peserta pemilu. Harus ada an­tisipasi terkait proses penempatan, pelapisan, dan penyatuan dana melalui proses transaksi yang rumit kepada para penyumbang parpol atau dana kampanye. Terbuka kemungkinan, para penyumbang menjadi kanal yang mengalirkan uang hitam. Sebab, penyumbang tak punya kewajiban hukum men­jelaskan asal-usul dana yang disumbangkannya.

Kampanye di luar parpol Celah lain mengenai kekosongan hukum pendanaan kampanye oleh pihak di luar parpol. UU Pemilu, hanya mewajibkan pelaksana kampanye yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk melaporkan sumbangan dana kampanye.

Sementara itu, setiap pemilu akan digelar, muncul perkumpulan masyarakat bak cendawan di musim hujan. Mereka berkampanye tanpa ditunjuk langsung sebagai pelaksananya. Namun, jika ditelisik, pembentukan dan kegiatannya tak lepas dari kepentingan peserta pemilu.

Di Jerman, tahun 2016 sebuah perkumpulan bernama Rights and Freedom Club melakukan kampanye besar-besaran mendukung partai Alternative für Deutschland (AfD). Diperkirakan, total pengeluaran untuk kampanye dukungan partai AfD sekitar €20 hingga €30 juta. Padahal, total laporan dana kampanye AfD tahun 2016 hanya €15,6 juta, dan dari sumbangan hanya €6 juta.

Regulasi di Jerman juga tidak mewajibkan pihak ketiga seperti Rights and Freedom Club untuk membuat laporan dana kampanye termasuk dari mana sumbernya. Oleh karena itu, nilai pengeluaran sesungguhnya klub itu tak pernah diketahui. Siapa penyokong dananya juga tetap jadi misteri. Tidak ada kantor fisik Rights and Freedom Club. Semua korespondensi diteruskan dari sebuah kotak pos di Stuttgart ke perusahaan konsultan di Swiss.

Uniknya, perusahaan tersebut merupakan konsultan politik kelompok sayap kanan Parlemen Eropa, Europe of Nations and Freedom, dimana AfD tercatat sebagai anggotanya.

Reformasi regulasi Pendanaan parpol dan kampanye pemilu merupakan salah satu kunci kepercayaan publik terhadap lembaga eksekutif dan legislatif. Karena itu, aliran uang hitam dalam pemilu menjadi noda terhadap integritas peserta pe­milu.

Konsekuensinya, sebagai­mana hasil review OECD (2016) pihak terpilih dari proses dengan pencemaran integritas cenderung akan membuat kebijakan publik yang menguntungkan kelompok penyokong dananya. Bahkan, dalam beberapa kasus, berten­tangan dengan kepentingan publik, dan mengancam keama­nan negara. Merujuk riset Warren (2003), penyokong dana yang mendominasi pemodalan pemilu bisa membuat elite politik me­langgar norma dasar demokrasi dengan menyampingkan nilai-nilai partainya.

Dalam mengambil kebijakan, pertimbangannya hanya stabilitas hubungan yang saling mengun­tungkan dengan penyokong dana. Pada akhirnya, hal ini juga bisa menghambat pemerataan pembangunan ekonomi. Dengan demikian, perlu ada reformasi regulasi mengenai pendanaan parpol dan biaya kampanye.

Besaran sumbangan dari anggota parpol harus dibatasi undang-undang. Kemudian, pihak yang memberikan sumbangan dana parpol atau kampanye perlu menjelaskan sumber dana sum­bangannya.

Tak kalah penting mengenai keterbukaan informasi dana parpol dan kampanye capres-cawapres ataupun caleg kepada publik, bukan hanya kepada KPU. Memang, reformasi regulasi menjadi ide besar yang tak bisa direalisasikan dalam tahapan Pemilu 2024 yang sudah setengah jalan. Namun, setidak­nya, ini menjadi catatan untuk masa depan.

Pesta demokrasi selanjutnya harus lebih berintegritas, dan tidak menimbulkan ancaman pemerataan ekonomi, apalagi keamanan negara.   Antisipasi dan mitigasi Untuk tahapan pemilu kini, upaya antisipasi dan mitigasi pencucian uang tetap harus dilakukan.

Dengan regulasi saat ini, seseorang bisa membe­rikan sumbangan politik sampai Rp2,5 miliar dan sekelompok orang atau perusahaan bisa sampai Rp25 miliar. Tentu, transparansi mengenai sumber dana itu men­jadi suatu keniscayaan.

Publik berhak tahu siapa orang yang mengucurkan sumbangan besar kepada parpol ataupun kandidat dalam pemilu, dan dari mana saja sumbernya. Jika informasi dana parpol dan kampanye bisa diakses sebelum pemungutan suara, maka calon pemilih bisa tahu siapa saja yang menyum­bang para kandidat pemilu. Informasi ini, akan membuat calon pemilih memahami kepen­tingan yang mungkin dibawa penyokong dana kepada parpol dan kandidat.

Saat parpol menang dan kan­didat terpilih, masyarakat bisa aktif mengawasi agar kebijakan-kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan para penyokong modal pemilu. Kita perlu mengapresiasi langkah PPATK bersama KPU dan Ba­waslu, yang telah menandata­ngani kesepakatan tentang pengawasan dana kampanye parpol. Juga, pembentukan Sa­tuan Tugas (Satgas) Pemilu 2024 yang akan mengamati profil pendanaan caleg.

Dengan keterlibatan PPATK dan Satgas Pemilu 2024, semoga transaksi-transaksi mencuriga­kan terkait pemodalan pemilu bisa segera ditanggulangi, sehingga tidak menjadi pencucian uang hitam. Selain itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi mengawal pemilu dari bayang-bayang kelam uang hitam. Mungkin kreativitas kader NU model Ainun Najib dan Ruly Achdiat yang sukses mengawal rekapitulasi suara lewat KawalPemilu.org dapat diduplikasi. Ruang digital serupa juga dibuat untuk transparansi data pendanaan parpol dan kampanye. Secara kelembagaan, organisasi masyarakat sipil juga perlu merevitalisasi program pendidikan politiknya.

Komitmen Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf terkait pendidikan politik bagi umat seolah menjadi oase optimisme untuk meminimalisasi penyakit pemilu. Hanya, dalam proses pemilu ini masyarakat perlu tercerahkan tentang pencegahan pencucian uang; bukan hanya tentang hak pilih, kampanye hitam, politik uang, dan politik identitas.

Akhirnya, kita berharap proses demokrasi Pemilu 2024 ini berintegritas. Kebijakan publik yang nantinya diambil para pemenang pemilu bisa sesuai kebutuhan dan kepentingan rakyat. Sehingga, kohesi sosial bisa terus terjaga dan buah pembangunan ekonomi dapat dinikmati secara merata. (Kartini Laras Makmur Anggota PCINU United Kingdom, Pengurus PPI Warwick, Mahasiswi Doktoral University of Warwick)