KEHADIRAN Peraturan Pemerintah (PP) No 13 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia, dan Peraturan Presiden No 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia 2021-2025, harus dicermati dengan saksama dalam penatakelolaan pembangunan kelautan Indonesia. Dua kelompok domain utama dalam penatakelolaan kelautan Indonesia yang harus disinkronkan satu sama lain ialah aspek ekonomi kelautan dan aspek keamanan laut. Dalam rencana aksi kebijakan kelautan Indonesia dari tujuh pilar yang dipedomani, ekonomi kelautan tampak mengakar pada sumber daya alam (baca: perikanan), wisata bahari, bioteknologi laut berbasis inovasi, pengolahan dan daya saing produk perikanan, transportasi laut, industri jasa kelautan, pengelolaan ruang laut dan konservasi, dan energi baru terbarukan serta budaya bahari.

Perikanan ditekankan pada pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dalam wilayah pengelolaan perikanan. Sementara itu, wisata bahari masih belum terdiferensiasi antara natural based tourism atau artificial based trourism. Ketika sistem infrastruktur dan pelayanan didorong kepada Kementerian Pariwisata, seharusnya Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan komponen daya tariknya tetap terpelihara dengan baik. Begitu juga soal bioteknologi kelautan, yang sampai saat ini belum mendapat tempat dalam pembangunan perikanan dan kelautan. Momentum covid-19 seharusnya diambil sebagai saat untuk mendorong berbagai produk bioteknologi kelautan sebagai imunostimulan dalam memperkuat daya tahan tubuh. Banyak biota laut laut yang mengandung immunostimulan seperti microalgae dari spirulina, teripang, sponge, sea mollusk, sea star, kuda laut, sea slug dan ikan lainnya. Namun, sangat sedikit yang kemudian dikembangkan dan menjelma sebagai produk ekstraksi dan siap pakai.

Riset eksplorasi dari jenis-jenis di atas menyebutkan beberapa kandungan seperti omega 3, 6, asam lemak, vitamin A, B, B12, probiotik, dan carragenan adalah kandungan yang dapat memperkuat imunostimulan. Potensi yang dapat menghasilkan ekonomi besar tersebut sampai saat ini belum dilirik Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai sumber ekonomi baru dari laut. Industri pengolahan belum mampu mendorong daya saing yang lebih baik dari produk perikanan. Target pencapaian IKU masih pada peningkatan volume bahan baku dan produk olah serta konsumsi ikan. Industri pengolahan sudah harus bergerak pada sistem branding product untuk ekspor, kualitas produk olahan, dan standar kualitas mutu yang layak ekspor. Transportasi laut, yang sudah berkembang cukup lama, harus diperkuat mekanisme dan sistem pengelolaan standar pelabuhan yang berkualitas. Adaptasi teknologi 4.0 pada pengelolaan pelabuhan baik pelabuhan umum maupun pelabuhan kargo diperlukan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan pelabuhan dan menurunkan harga logistik yang masih sangat tinggi. Dalam hal industri jasa kelautan saat ini yang belum kita lihat secara maksimal ialah produk dari jasa ekosistem kelautan. Ketika jasa wisata sudah dikalkulasi kegiatan wisata, jasa dalam pengelolaan iklim dan industri sains harus kita bangun.

Keberadaan ekosistem mangrove, lamun, rumput laut, dan fitoplakton ialah sistem produksi primer yang sangat potensial menyerap karbon di udara. Jasa ekosistem dalam mereduksi karbon ialah nilai ekonomi jasa kelautan yang belum digarap sama sekali. Industri-industri yang berpotensi sebagai pelepas karbon dapat berkontribusi secara ekonomi dalam perlindungan ekosistem atau distribusi pendapatan untuk memastikan keberlanjutan ekosistem dan lingkungan. Dalam konteks industri sains kelautan, sampai saat ini kita belum memperhitungkan potensi ekosistem sebagai sumber sain dan iptek. Indonesia ialah negara yang kaya ekosistem terumbu karang, mangrove, biota laut termasuk ikan, budaya bahari, serta potensi kebencanaan sebagai sumber sains. Pengalaman penulis ketika menghadiri konferensi internasional, seorang ahli gunung api dari negara yang tidak ada gunung apinya menjelaskan secara detail gunung api di Indonesia. Kemudian secara fasih juga menjelaskan data-data yang dimiliki termasuk program keilmuan yang dikembangkan terkait dengan gunung api. Menyedihkan lagi, kemudian banyak orang Indonesia yang notabene memiliki gunung api belajar gunung api ke negara dan universitas tersebut. Keunggulan universitas dalam mengelola data dalam waktu lain menjadi big data akan berbuah pada sebuah sistem bisnis berbasis data seperti gunung api tersebut. Bayangkan jika kemudian kampus-kampus kita tumbuh dengan ilmu terumbu karang, inovasi karang, bioteknologi karang, lamun, dan mangrove, sains dan teknologi ekosistem tropis menjadi milik Indonesia. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi seharusnya dapat menangkap itu sebagai sebuah potensi industri sains yang kemudian dapat membesarkan pendidikan Indonesia dari potensi sumber daya hayati lautnya. Jadi, kalau ada profesor terumbu karang, wisuda dan orasinya dilakukan di Raja Ampat atau Wakatobi. Ada profesor mangrove, orasinya dilakukan di wilayah mangrove Papua. Itu ialah potret dari industri sains kelautan dan perikanan yang harus dikembangkan sebagai ekonomi baru kelautan dari basis konservasi laut.

Luas wilayah konservasi laut yang lebih dari 20 juta ha akan bermakna jika dikembangkan sebagai pusat industri pengetahuan daripada menjadi monumen yang tercatat, tapi tidak memberikan manfaat lebih. Dalam konteks budaya bahari, kita masih berpotensi mendorong keanekaragaman budaya bahari sebagai pendorong ekonomi kelautan. Kearifan lokal masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, tradisi masyarakat, serta local wisdom lainnya masih banyak untuk digali, termasuk juga energi baru terbarukan. Ketika kita mendorong EBT dari kelautan, selalu dibenturkan pada soal efisiensi dan nilai ekonomisnya. Pada tahap awal mungkin belum akan ekonomis, tetapi setelah berkembang kita akan mampu menentukan titik optimal dari industri EBT ini, baik yang berbasis algae maupun dari energi laut lainya.

Baca Juga: Hutan untuk Kemakmuran Rakyat

Keamanan laut Kehadiran PP No 13 Tahun 2022 harus diikuti dengan penguatan atau rencana revisi UU 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Semangat yang diusung PP 13 Tahun 2022 itu ialah semangat persatuan, koordinasi dan efektivitas, dan efisiensi. Lebih jauh dijelaskan dalam PP tersebut bahwa keberadaan sistem informasi terpadu, perencanaan anggaran terpadu, serta sistem patroli yang akan dilakukan juga disiapkan secara sinergi. Ketika patroli bersama dilakukan, Badan Keamanan Laut (Bakamla) dapat berperan sebagai pusat koordinasi dengan melibatkan instansi teknis dan instansi terkait. Lebih jauh dijelaskan bahwa patroli bersama dilakukan melalui operasi keamanan dan keselamatan laut yang diatur dengan aturan kepala badan. Ketika kita berbicara soal efisiensi, kemudahan koordinasi dan pengelolaan anggaran dari PP No 13 itu, perlu banyak reposisi tata kelola pengawasan, penegakan hukum, dan penindakan di laut. Tanpa mengubah peran, reposisi kelembagaan menjadi diperlukan agar tercipta koordinasi, pelaksanaan, dan evaluasi yang lebih baik.

Dalam konteks internasional dinamika yang terjadi juga dapat direspons dengan cepat di bawah satu komando yang melalui diplomasi maritim yang baik. Jangan sampai kejadian tumpahan minyak di Montara 2015 terulang dan penyelesaiannya menjadi penyakit kronis yang menahun. Arah baru pembangunan kelautan Indonesia sesungguhnya ialah penguatan kelembagaan ekonomi kelautan secara utuh sehingga sektor ekonomi perikanan dan kelautan dapat tumbuh lebih kuat dan berdaya saing. Kontribusi PNBP nasional tidak lagi hanya bertumbuh pada penangkapan dan budi daya, tapi harus lebih berkembang dengan bioteknologi dan pengolahan, energi terbarukan, wisata dan budaya bahari, jasa ekosistem dan lingkungan, serta industri sains kelautan dan perikanan. Kesuksesan itu tentu akan lebih mudah terkawal dengan adanya sistem keamanan laut yang lebih kondusif dan integratif. Oleh  Yonvitner  Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB, dosen MSP FPIK IPB