AMBON, Siwalimnews – Akademisi Hukum Pidana Unpatti, Remon Supusepa mengungkapkan, Kejaksaan Negeri Ambon tidak memiliki dasar yang kuat untuk meng­hen­tikan proses pidana kasus dugaan korup­si di Sekretariat DP­RD Kota Ambon se­suai temuan BPK Rp5,3 miliar.

Menurut Supu­sepa, berdasarkan pasal 4 Undang-Un­dang Tindak Pidana Korupsi mengisya­ratkan bahwa, meng­em­balikan keuangan negara itu tidak menghapus pidana,

“Pasal ini jelas bahwa mengembalikan keuangan negara itu tidak menghapus pidananya. Arti­nya kalaupun ada yang mengem­balikan keuangan negara maka itu dianggap sebagai hal yang meri­ngankan dalam putusan hakim,” jelas Supusepa saat diwawancarai Siwalima melalui telepon seluler­nya, Rabu (2/2), merespon informasi Kejari Ambon tidak melanjutkan proses hukum kasus ini.

Disisi lain, lanjut Supusepa, sudah ada temuan BPK dan sudah ada indikasi perbuatan melawan hukum maka tidak ada alasan yang kuat jaksa tidak memproses pidana kasus di Sekretariat DPRD Kota Ambon.

“Jika temuan BPK itu sudah nyata dan tahap penyelidikan atau tahap penyidikan, dan ada pergantian ke­uangan negara, maka menurut beta,  perbuatan tindak pidana korupsi itu sudah selesai sehingga harus dipro­ses,” tegasnya.

Baca Juga: Pangdam Himbau Prajurit Siapkan Diri dengan Baik

Dia melihat ada kehati-hatian dari pihak kejaksaan karena berpikir bahwa kerugian keuangan negara itu tidak ada, tetapi harus diketahui bahwa aturan pasal 4 UU Tipikor itu tidak bisa dianggap sebagai kasus dihentikan, tetapi harus dilanjutnya.

“Jaksa harusnya biarkan saja hakim yang menilai berdasarkan fakta persidangan bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa, karena itu memang itu sudah nyata bahwa ada kerugian keuangan negara,” ucapnya.

Jika jaksa tidak berani  dengan alasan kerugian negara sudah di­kem­balikan, maka itu menjadi terbukti, karena akan bertentangan dengan pasal 4, karena kerugian negara sudah nyata.

“Kerugian negara itu nyata ketika BPK sudah menghitung kerugian, lalu kemudian bahwa kerugian negara dikembalikan dan dianggap tidak ada kerugian negara maka ini menjadi problem dalam penegakan hukum korupsi,” jelasnya.

Didalam peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2021 Pedoman Pemindaan bagi Tindak PIdana Korupsi, kalaupun mengembalikan kerugian keuangan negara tetap akan dihukum tetapi hukumannya ringan.

“Karena jika mau menghentikan perkara itu tidak cukup bukti, atau tidak cukup bukti. Tetapi dalam ka­sus ini kerugian negara sudah ada, sudah nyata kerugian keuangan negara sudah nyata karena sudah ditemukan oleh BPK maka seha­rus­nya diproses para pelaku,” katanya.

Yang dilihat beradasarkan pasal 2 ayat (1) dan Pasal (3) maka yang harus dinilai oleh jaksa atau mencari bukti-bukti langkah penyelidikan.

“Misalnya pasal 2 ayat (1) unsur melawan hukum itu ada hubungannya dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain ataukah tidak,” ujarnya.

Supusepa menegaskan, pengembalian keuangan negara itu tidak menghilangkan proses pidana  kalau unsur melawan hukum dan memperkaya diri da nada aliran dana yang masuk ke anggota dewan dan itu dikembalikan oleh anggota dewan atau pihak manapun, maka itu sudah menjadi bukti untuk menjadikan sebagai tersangka.

“Begitu juga pasal (3) yang berkaitan erat dengan penyalahgunaan kewenangan atau jabatan yang berkaitan dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Unsur ini yang harus dibuktikan oleh jaksa untuk mencari bukti-bukti, apakah ada menguntungkan diri atau orang lain ataukah tidak. Karena ini berkaitan dengan transaksi perbanka atau LKHPN dimana seorang pejabat apakah ada kenaikan harta kekayaannya itu,” tuturnya.

Menurut Supusepa, jika jaksa mengatakan indikasi perbuatan melawan hukum sudah ada, maka itu berkaitan salah pengelola keuangan negara dan memperkaya diri itu sudah menjadi dasar untuk proses pidananya.

Dimana, lanjut Supusepa, pasal 4 UU Tipikor tidak bisa diabaikan oleh jaksa karena normanya mengembalikan kerugian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi yang dilakukan.

Tak Serta Merta

Hal yang sama juga diungkapkan, praktisi hukum Djidon Batmomilin dan Fileo Pistos Noija.

Menurut Batmamolin, pengembalian uang negara yang telah dilakukan oleh DPRD Kota Ambon tidak serta merta menghapus  pidana.

Kejaksaan Negeri Ambon, kata Batmomolin tidak boleh melindungi orang-orang tertentu atau pejabat  dalam persoalan korupsi seperti ini.

“DPRD Kota Ambon mengembalikan uang sebelum temuan BPK maka bisa dikatakan mereka tidak bersalah, namun jika dikembalikan setelah adanya temuan BPK itu berarti mereka telah melakukan kasus korupsi,” jelas Batmomolin saat di wawancarai Siwalima, Rabu(2/2) melalui telepon seluler.

Tentu dalam kasus ini perkaranya tetap berjalan, namun ada keringanan-keringan yang nantinya diperhitungkan tetapi bukan menghapus perbuatan yang korupsi yang dilakukan.

“Yang menjadi pertanyaan uangnya dikembalikan ke mana.

Kalau ke kas daerah maka harus juga dibuktikan jangan asal bicara saja bahwa sudah dikembalikan,”ujar Batmomolin.

Harus ada buktinya pengembalian yang dilakukan karena ini bukan satu atau dua orang yang melakukan indikasi korupsi namun lebih dari satu orang.

Karena itu Batmomolin meminta, Kejaksaan jangan mendiamkan kasus ini sudah  jelas ditemukan dua alat bukti karena sudah ada temuan BPK dan termasuk  perbuatan pidana.

Olehnya itu diriny meminta Kejari harus transparan kalau memang dikembalikan ke kas daerah mana buktinya ,siapa sajakah yang mengembalikan uang tersebut dan  berapa besar yang dikembalikan .

“Kita minta transparansi jangan asal bicara kembalikan tanpa ada bukti ontentik karena semua perlu bukti jangan hanya bicara saja,”Jelasnya.

Sementara itu pengacara senior, Fileo Tos Noija menilai Kejaksaaan Negeri Ambon agak keliru dengan pernyataan yang dikeluarkan saat audiensi bersama PMII. Mengembalikan uang negara tidak serta merta  menghapus tindak pidana.

“Dibandingkan dengan kasus spead boad Orno sudah di kembalikan 3 milyar dan atas anjuran BPK . Anehnya dikembalikan 2014 kalau tidak salah 2019 di proses hukum dan Odie Orno tetap diproses hukum. Kalau jaksa mengatakan negara tidak mengalaminya kerugian uang itu kalau diperuntukan kepada hal yang baik, maka ada terjadi pembangunan disana sini,” tuturnya.

Untuk Kasus DPRD ini, Noija menilai, ada  tebang pilih  yang dilakukan Kejari kepada DPRD Kota Ambon.

“Masyarakat bisa berkesimpulan sebenarnya ada apa dengan pihak kejaksaan.Kita semua belajar hukum, dong bukan bapa jaksa saja yang belajar hukum tetapi banyak orang yang belajar hukum jadi kita tahu aturan hukumnya ,”tegasnya.

Menurutnya sikap yang dilakukan oleh jaksa seolah-olah membuat penegakan  hukum semakin buram.

“Sangat kelihatan keberpihakan kejaksaan terhadap Kasus ini  Ada apa bapa jaksa .

Sangat keliru secara hukum jika kasus tidak bisa dilanjutkan,”ujarnya.

Demo PMII

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ambon, mengelar demonstrasi di Kantor Kejari Ambon, Rabu (2/2).

Tujuan mereka ke lembaga adhyaksa tersebut mempertanyakan penanganan kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran di Sekretariat DPRD Kota Ambon sesuai temuan BPK Rp5,3 miliar.

Para aktifis mahasiswa ini mencium ada indikasi ketidakberasan dalam penanganan kasus tersebut oleh Kejaksaan Negeri Ambon yang dipimpin Kajari, Dian Frits Nalle

Alasannya PMII ini, karena sampai dengan saat ini penanganan kasus dugaan korupsi yang diduga melibatkan anggota DPRD Kota Ambon itu jalan tempat.

Padahal sudah 34 anggota DPRD Kota Ambon diperiksa, 40 ASN dan 4 pengusaha namun sampai dengan saat ini, tidak ada pengembangan penyelidikan dari Kejari Ambon.

Karena itu dalam orasi yang berlangsung sejak pukul 11.00 WIT PMII minta agar Kejari harus bekerja Independen, jangan memihak kepada wakil rakyat yang telah melakukan korupsi.

PMII juga menegaskan, meskipun para wakil rakyat yang diduga terlibat korupsi ini telah mengembalikan kerugian negara, namun itu tidak bisa menghilangkan atau menghapus pidana yang telah dilakukan mereka.

“Kejari harus bekerja independen jangan memihak kepada Wakil Rakyat yang telah melakukan kasus korupsi,” ungkap Ketua PMII  Cabang Ambon, Abdul Gafur Sonrey dalam orasinya didepan Kantor Kejari Maluku.

Ia mengancam, jika kasus ini tidak diselesaikan oleh pihak Kejari, maka PMII Cabang Ambon akan melaporkan hal ini kepada pengurus besar PMII pusat untuk memberikan atensi kepada KPK, dan meminta KPK mengambil alih kasus ini.

“Kami juga mendesak Kejati Maluku untuk mencopot Dian Frits Nalle dari jabatannya sebagai Kejari Ambon, karena tidak becus dalam menjalankan perintah negara,” tandasnya.

Selama ini kata Sonrey, PMII melihat secara kasat mata, kasus ini tidak diusut lagi hanya diam ditempat, sepertinya, ada alasan yang kuat, apakah ada dugaan kongkalikong dari DPRD bersama Kejari Ambon.

“Kami menduga jangan sampai ada kongkalikong yang dilakukan sehingga kasus ini sengaja ditutupi,” tegasnya.

Untuk itu, ia minta Kejaksaan Negeri Ambon tidak lembek dalam mengusut kasus ini, agar tidak ada pemikiran masyarakat bahwa ada konkalikong dalam penyelidikan kasus ini.

“Pihak Kejari jangan lembek karena masyarakat butuh kepastian kasus ini sejauhmana langkah yang diambil Kejari, kalau diam saja ditempat kapan kasus ini bisa terungkap,” tutur Sonrey.

Ditegaskan, para pelaku kejahatan harus bisa bertanggungjawab atas perbuatannya,jangan sudah korupsi tetapi tidak mau bertanggung jawab.

Usai berorasi kurang lebih 1 jam, salah satu staff pada Kejari Ambon menemui para pendemo dan meminta mereka kembali pada pukul 15.00 WIT untuk mendengar penjelasan langsung dari Kejari Ambon terkait kasus ini. Setelah mendengar penjelasan staf kejari tersebut, massa PMII kemudian membubarkan diri.

Kembalikan Uang Negara

Saat melakukan audiensi bersama PMII, Kepala Kejaksaan Negeri Ambon Dian Frist Nalle mengungkapkan, proses pemeriksaan saat ini sementara dilakukan dan masih dalam penyilidikan.

Kata Kajari, pengembalian keuangan negara telah dikembalikan saat proses penyelidikan sebanyak Rp4 miliar., dan disetor ke kas daerah sebesar Rp1,5 miliar. Sehingga total Rp5,5 miliar.

“Sekarang sudah ada seluruhnya ,tidak ada satu sen pun kerugian negara yang tidak dikembalikan. Dikembalikan di proses penyilidikan sebanyak total Rp 4 milyar rupiah sudah di setor Ke kas daerah sementara 1,5  sebelumnya sudah di stor ke kas daerah jadi total 5,5 sudah dikembalikan oleh DPRD Kota Ambon,”kata Nalle saat melakukan audiensi bersama PMII Cabang Ambon.

Menurutnya saat ini  Kejaksaan Negeri Ambon sudah melakukan ekspos di Kejaksaan Tinggi Maluku.

Kajari juga menegaskan, tujuan penegakan hukum ada 3 hal yaitu,  kepastian, keadilan dan kemanfaatan.

Terhadap hal itu,Kata Nalle hari ini untuk kemanfaatan kerugian negara sudah dikembalikan. Prinsip penyelamatan uang negara telah dikembalikan.

“Disitulah sikap kita dalam tahap penyilidikan.Saya sudah melaksanakan sesuai prosedur,”tegasnya.

Dirinya memberikan apresiasi terhadap tuntutan dari PMII untuk meminta pihak Kejati mencopot jabatan Kejari. Dirinya mengaku siap jika hal ini tidak berkenan oleh pimpinan.

“Saya apresiasi tuntutan Anda

hari ini kalau tidak berkenan oleh pimpinan saya siap di copot. Kalau memang saya menyalahi aturan yang berlaku ,”ucapnya.

Menurutnya pihak Kejari Ambon dalam menegakkan  hukum di Kota Ambon tidak pandang bulu.

“Untuk Proses hukum tetap berjalan namun ada prosedur-prosedur yang harus ditaati .Saya petik kebijakan hukum keadilan  subtansi hukum berjalan dengan baik ,azas kemanfaatan,asas keadilan dan kepastian hukum bisa berjalan,”katanya.

Nalle juga menegaskan atas tuntutan PMII untuk meminta kPK untuk mengusut kasus ini Kejari mengaku siap, jika ini ranah dari KPK untuk melakukan pemeriksaan.

“Silahkan laporkan kalau memang merasa tidak benar.Kalau satu unsur pidana tidak ada apakah bisa untuk dipidanakan,” pungkasya.

Sementara Ketua umum PMII  Cabang Ambon Abdul Gafur Sonrei mengungkapkan meskipun pihak DPRD sudah mengembalikan uang Negara, namun mereka sudah melakukan korupsi dan seharusnya mereka dihukum.

“Jangan karena mereka sudah mengembalikan uang negara lalu mereka tidak dipidanakan seharusnya mereka dihukum sesuai aturan yang berlaku ,”tegasnya. (S-05/S-21)