AMBON, Siwalimanews – Pakar lingkungan Hidup Fakul­tas MIPA Unpatti, Netty Siahaya menegaskan, apapun yang men­jadi alasan Pemerintah Provinsi Maluku khususnya Dinas Lingku­ngan Hidup terkait dengan pem­bangunan fasilitas insinerator untuk pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun tidak tepat.

Penegasan ini disampaikan Siahaya merespon klarifikasi yang dilakukan Kepala Dinas Lingku­ngan Hidup atas dinamika yang terjadi akibat kebijakan Pemerintah Provinsi Maluku dalam memba­ngun fasilitas insinerator untuk pengolahan limbah bahan berba­haya dan beracun.

“Namanya saja limbah beracun metode insinerator yang oleh Pemerintah Provinsi Maluku menyatakan aman tetapi aman dari aspek mana dan menurut siapa,” ungkap Siahaya.

Menurutnya, Pemerintah Provinsi Maluku harus menggu­nakan kriteria sebelum menyata­kan metode insinerator aman bagi masyarakat, sebab yang dilepaskan ke udara itu adalah gas beracun dan berbahaya sehingga sifatnya tetap berba­haya bagi masyarakat sekitar.

Apalagi, Pulau Ambon masuk dalam kategori pulau kecil dan ketika gas-gas beracun itu dilepaskan ke udara, maka tidak dapat ditangkap oleh apapun karena Pulau Ambon tidak memiliki pepohonan dalam ukuran besar dan banyak untuk menangkap gas beracun dan berbahaya yang dilepaskan.

Baca Juga: Polda Maluku Kirim Wakil ke Bhayangkara Mural Festival

“Tidak ada pohon besar untuk menangkap gas-gas beracun yang dilepaskan tersebut, maka apapun itu namanya pasti dia melewati fasilitas publik dan akhirnya mengorbankan masyarakat di bawah. Jadi tetap keberlanjutannya tidak cocok di tempat itu,” tegasnya.

Selain itu, dari aspek jangka waktu beroperasinya insinerator pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun pun belum dapat dijelaskan oleh Pemerintah Provinsi Maluku, artinya belum ada kepastian dari Pemerintah Provinsi Maluku dan ini akan mengancam kehidupan masyarakat jika pengoprasiannya cukup lama.

Karena itu, lebih baik Peme­rintah Provinsi Maluku mengam­bil kebijakan untuk memindahkan pembangunan insinerator limbah bahan berbahaya dan beracun ke Pulau Seram, karena memiliki potensi yang aman untuk pengolahan limbah B3.

“Kalau pemerintah provinsi mau memaksakan untuk membangun proyek ini maka lebih baik dipindahkan ke Pulau Seram, karena memiliki begitu banyak tumbuhan yang bisa menyerap gas-gas beracun yang dibuang oleh hasil pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun,” jelasnya.

Siahaya berharap pemerintah Provinsi Maluku juga dapat memperhatikan keberlangsu­ngan hidup masyarakat dan dunia pendidikan yang saat ini menempati lokasi Desa Suli.

“Kasihan daya dukung dan daya tampung Kota Ambon tidak mampu lagi untuk menampung gas yang dilepaskan dan kasihan masyarakat nanti menghirup udara yang tidak lagi udara segar karena pengelolaan limbah keracunan,” cetusnya.

Jangan Paksakan

Praktisi hukum Pistos Noija mengingatkan Pemerintah Provinsi Maluku khususnya Dinas Lingkungan Hidup untuk tidak memaksakan kehendak dengan tetap membangun insinerator untuk pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Menurutnya, Pemerintah Provinsi Maluku seharusnya mempertimbangkan pendapat dan saran dari ahli lingkungan hidup sebab Pemerintah Provinsi Maluku tidak memiliki keahlian seperti ahli lingkungan dari Universitas Pattimura.

“Kalau ahli lingkungan telah menyatakan bahwa itu berdampak maka pemerintah jangan memaksakan kehendak, karena yang lebih mengetahui dampak lingkungan hanya ahli lingkungan,” ungkap Noija.

Dikatakan, Pemerintah Provinsi Maluku jangan mengorbankan keselamatan masyarakat dengan tetap membangun, karena jika pemerintah ngotot untuk membangun maka sudah pasti akan menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat Negeri Suli.

Selain itu, sebagai kuasa hukum almarhum Marcus Pattirane dirinya juga keberatan jika Pemerintah Provinsi Maluku membangun fasilitas insinerator untuk pengelolaan limbah B3 di Suli, karena tanah tersebut merupakan milik kliennya Marcus Pattirane.

“Sebagai kuasa hukum pemilik lahan itu, Marcus Pattirane saya keberatan untuk dibangun ditempat itu,” tegasnya.

Dijelaskan, pihaknya akan menyurati Gurbernur Maluku Murad Ismail untuk tidak boleh melanjutkan kegiatan apapun di tempat tersebut, sebab jika melanjutkan pekerjaan maka pihaknya akan menggugat Pemerintah Provinsi Maluku.

Tuding Warga

Seperti diberitakan sebelumnya, Warga dinilai tidak memahami mekanisme pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, yang berbeda dengan tempat pembuangan akhir.

Pemprov Maluku menuding sikap penolakan warga Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah terkait dengan rencana pembangunan insine­rator untuk pengelolaan limbah B3, tidak berdasar dan terkesan belum memahami mekanisme dan prinsip kerja  insinerator.

Demikian diungkapkan Kadis Lingkungan Hidup Roy Corneles Siauta dalam rilisnya yang diterima redaksi Siwalima, Rabu (27/10).

Kadis menyebutkan, prinsip kerja insinerator tidak dapat disamakan dengan tempat pembuangan sampah, karena memiliki perbedaan dalam pengoperasinya.

“Perlu kami jelaskan bahwa rencana pembangunan yang terlaksana di Desa Suli, adalah pembangunan fasilitas pengelo­laan Limbah B3 medis berupa insinerator, bukan pembangunan tempat pembuangan akhir sampah,” jelas kadis.

Kata dia, Insinerator adalah alat pembakaran untuk mengolah limbah padat yang mengkonversi materi padat menjadi materi gas dan abu (botton ash dan fly ash).

Prinsip kerja insinerator katanya, adalah sebagai tempat pembakaran tertutup dengan suhu tinggi (> 800R” C) sehingga bahan yang dibakar tidak dapat didaur ulang lagi.

Dia menjelaskan, proses pengelolaan limbah B3 medis dengan insinerator limbah adalah dikemas dan ditutup/diikat rapat sejak dari sumber untuk kemudian dilakukan permus­nahan melalu tahapan proses incinerasi pembakaran pada insinerator yaitu, satu mula-mula membuat kandungan air yang masih ada dalam limbahmenjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering yang akan siap terbakar pada suhu 105R” C.

Dua, selanjutnya terjadi proses pirolisis yaitu pembakaran tidak sempuran. Dimana temperatur belum terlalu tinggi 105R”C-300R”C.

“Dengan demikian pemberi­taan tentang adanya pencemaran sumber air di lokasi kegiatan adalah tidak benar. Fasilitas yang dibangun adalah insinerator bukan TPA sampah dan sistem pengelolaan insinerator sebagai TPA limbah B3 adalah keliru. Dan tidak berdasar secara ilmiah,” ujar kadis.

Dilanjutnya, pembangunan fasilitas pengelolaan limbah menggunakan insinerator yang berlokasi di Desa Suli diperuntukan untuk pembangunan limbah B3 medis dari fasilitas pelayanan kesehatan di Provinsi Maluku.

Pembangunan ini merupakan kebijakan pemerintah sebagai upaya penanggulangan keadaan kedaruratan masa pandemi Covid-19 yang telah ditetapkan sebagai bencana non alam.

Ditetapkan dalam Keppres No. 12 tahun 2020 tentang  penetapan Bencana Non Alam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional.

“Mengingat tingginya tingkat penyebaran Covid-19 yang mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah limbah B3 medis termasuk limbah Covid-19 yang harus dikelola, sehingga tidak memperpanjang mata rantai virus Covid-19, dan mengingat pula Provinsi Maluku tidak memiliki insinerator dengan kapasitas memadai untuk pengelolaan limbah dimaksud, serta kondisi wilayahnya yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang rentan terhadap pencemaran dan jauh dari pusat pengelolaan yang berada di Pulau Jawa, maka Pemerintah Pusat memprioritaskan Provinsi Maluku untuk membangun fasilitas dimaksud,” jelas dia.

Menurutnya, limbah B3 medis dari fasilitas pelayanan kesehatan yang diproses dalam insinerator adalah barang atau sisa hasil yang tidak digunakan kembali. Informasi yang beredar di masyarakat bahwa lokasi tersebut akan dijadikan TPA sampah yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan adalah tidak benar.

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup sebagaimana telah diubah dengan UU No 11 Tahun 2019 tentang Cipta Kerja, setiap usaha dan atau kegiatan yang bermpak penting bagi lingkungan wajib memiliki dokumen lingkungan. dengan demikian terhadap rencana pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 medis di Negeri Suli, wajib dilengkapi dengan dokumen lingkungan.

Dalam konteks ini terkait dengan pembangunan tersebut, maka Provinsi Maluku telah dilakukan sesuai dengan amanat lampiran 1 PemneLHK 04 tahun 2021 yang mana untuk kegiatan pembangunan fasilitas pengeloaan limbah B3 medis termasuk dalam jenis kegiatan konstruksi bangunan yang wajib UKL-UPL.

Sedangkan untuk operasional fasilitas pengelolaan limbah B3 medis dengan menggunakan insenerator termasuk kegiatan yang wajib AMDAL. Sehingga sebelum pengoperasian fasilitas tersebut akan didahului dengan penyusunan dokumen AMDAL.

Kadis Siauta juga menuding kajian akademik yang dibuat oleh Majelis Pekerjaan Harian Sinode GPM, sangat tidak didasari pada kajian ilmiah. Hal ini terbukti dengan objek yang dikaji maupun pendapat ahli dan teori-teori yang dipakai adalah dalam konteks untuk pembangunan TPA sampah. (S-50)